Potret Malaadministrasi Penanganan Kasus KDRT, Ombudsman RI Beri Saran
Siaran Pers - Ombudsman RI
Senin, 19 Juni 2017
“Potret Maladministrasi Penanganan Kasus KDRT, Ombudsman RI Beri Saran"
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak No 1 Tahun 2010 sebagai dasar dalam penanganan kasus KDRT melalui Standar Pelayanan minimal (SPM), belum efektif. Diskriminasi pengadu, terabaikannya jaminan keselamatan bagi korban dan saksi korban, terbatasnya waktu dalam mengadukan kasus KDRT, hingga lemahnya koordinasi penyelesaian kasus KDRT pada lembaga terkait yaitu P2TP2A, unit PPA Kepolisian, Kemensos, KPPPA dan Peradilan Agama.
Jakarta – Ombudsman Republik Indonesia mencatat jumlah laporan masyarakat tentang perempuan dan anak pada tahun 2015 menerima sebanyak 32 laporan, 5 diantaranya kasus KDRT. Hingga Mei tahun 2016 tercatat 14 jumlah laporan terkait KDRT. Ombudsman RI sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik menilai penanganan kekerasan pada perempuan dan anak baik sebagai korban secara langsung atau tidak secara merupakan salah satu bentuk maladministrasi.
Berangkat dari banyaknya permasalahan mengenai KDRT Ombudsman RI berinisiatif melakukan investigasi atas prakarsa sendiri yang telah dilaksanakan mulai pada tahun 2016 di beberapa kota antara lain di Jawa Barat (Bogor, Bandung dan Cimahi, Sumatera Utara (Medan, Tanah Karo), Sulawesi Selatan (Makasar dan Pare-pare) serta Kalimantan Timur (Balikpapan dan Kutai barat). Selain berasal dari data laporan masyarakat tersebut, dalam menggali permasalahan kasus KDRT bagi perempuan dan anak , Ombudsman RI melakukan gelar Ombudsman Mendengar dengan mengahadirkan pihak-pihak terkait, imbuh Ninik Rahayu (Ombudsman Bid. Penyelesaian Laporan).
Hasil investigasi Ombudsman, diketemukan adanya maladministrasi dalam penanganan kasus KDRT diantaranya :
- Lemahnya koordinasi diantara P2TP2A dan unit PPA, petugas yang tidak punya latar belakang psikolog, seperti di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan sehingga tidak terfasilitasinya layanan lanjutan.
- Kurangnya waktu pelayanan yang disediakan oleh P2TP2A.
- Ditemukan beberapa kantor yang belum mempunyai rumah aman rumah singgah, ruang tindakan, rawat inap. Bahkan masih ada juga yang belum mempunyai Gedung Kantor/ruangan, sehingga selama kegiatan masih menumpang di Kantor Pemerintah Daerah
- Rasa keengganan masyarakat untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya dikarenakan kondisi kantor instansi yang kurang menjamin kenyamanan dan kemamana dalam melaporkan kasus KDRT.
- Koordinasi antar lembaga terkait yaitu P2TP2A dengan Unit PPA dan Rumah sakit (Pemda setempat) h kurang optimal, di beberapa daerah
Atas beberapa temuan maladministrasi tersebut, Ombudsman RI menerbitkan SARAN perbaikan kepada :
- Pemerintah/Presiden melalui Kementerian terkait membuat peraturan-perundangan mengenai P2TP2A dengan tugas dan kewenangan serta sumber dana, karena kondisi pada saat Ini, P2TP2A diserahkan kepada Pemerintah daerah masing-masing dan tidak terdapat ketersediaan anggaran yang jelas untuk P2TP2A.
- Kepolisian RI membentuk unit PPA di seluruh POLDA dan Polres dan dilakukan monitoring penanganan pengaduan pada unit PPA tersebut.
- Pemerintah/Presiden melalui Kementerian terkait membuat mekanisme koordinasi dengan pihak terkait dalam menangani permasalahan KDRT, yaitu Kepolisian, P2TP2A, dan Rumah sakit.
- Kementerian KPPA melakukan penguatan fungsi forum/pok/satgas & konsisten melaksanakan rencana aksi nasional, serta segera disusun SOP yang mengatur mekanisme/birokrasi, sistem rujukan, lembaga layanan, standarisasi layanan & model pelaksanaan pencegahan & penanganan kasus-kasus yang terkait dengan penanganan kasus KTP/KTA yang harus dilaksanakan dari tingkat pusat sampai dengan kewilayahan.
- Kementerian KPPA perlu dilakukan penyamaan persepsi, perumusan variable data & pemuktahiran sistem pendataan kasus yang berhubungan dengan Tindak Pidana KDRT pada seluruh K/L yang menanganinya di tingkat pusat s.d. kewilayahan dalam rangka upaya pencegahan, memberikan perlindungan & penanganan kasus KDRT berbasis IT untuk memudahkan pengolahan dan evaluasi serta tindak lanjut penanganannya.
Ninik Rahayu kembali menegaskan dan mengingatkan bahwa dalam pencegahan KDRT, khususnya meningkatkan upaya sosialisasi, Kementerian KPPA perlu mengupayakan kerjasama secara terus menerus & berkesinambungan dalam rangka penyamaan persepsi yang melibatkan para APH dan pihak-pihak yang tupoksinya berkaitan dengan penanganan KDRT.
Kembali Ninik menegaskan pentingya perbaikan pola koordinasi oleh beberapa Instansi yang terkait penanganan KDRT agar para korban tidak lagi taku atau ragu dalam menyampaikan laporan KDRT yang dialaminya dan laporan tersebut lebih jelas penangannya dan jaminan kenyaman serta keamanannya bagi korban KDRT khususnya anak dan perempuan.
Ombudsman RI
Bidang Komunikasi Strategis, Bid. Pencegahan
komstrat@ombudsman.go.id
Tags: Ombudsman Republik Indonesia ninik rahayu kajian