• ,
  • - +

Artikel

Perlunya Pengawasan Pelayanan Publik di Lapas dan Rutan
ARTIKEL • Selasa, 18/06/2019 • Ratna Sari Dewi
 
Ratna Sari Dewi (foto by Anoname)

Ombudsman RI melakukan Inspeksi Mendadak (Sidak) Pelayanan Publik ke sejumlah lokasi pada Jumat (7/6), salah satunya ke Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I KPK, namun ketika Ombudsman datang petugas Rutan menolak sidak Ombudsman dan Ombudsman diminta datang kembali setelah 4 jam kemudian. Tetapi Ombudsman tidak datang karena sedang melakukan Sidak ke tempat lain. Pertimbangan lain adalah sidak bersifat mendadak, bukan berdasarkan pengaturan waktu oleh instansi yang didatangi. (sumber :  https://ombudsman.go.id/news/r/libur-lebaran-ombudsman-lakukan-pemantauan-pelayanan-publik)

Menyimak pemberitaan tersebut, masyarakat umum perlu memahami esensi pengawasan yang dilakukan Ombudsman kepada instansi penyelenggara negara/penyelenggara pelayanan publik. Ombudsman dalam melakukan pengawasan, salah satu bentuknya adalah mengunjungi tempat tempat terisolasi, seperti Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Rutan, penampungan TKI, detensi imigrasi dan tempat terisolasi lainnya. Hal ini telah dilakukan Ombudsman RI sejak tahun 2000 hingga saat ini, sebagai pelaksanaan amanat Pasal 7 UU Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI, yang memberi tugas kepada Ombudsman RI antara lain menyelesaikan laporan masyarakat, melakukan upaya inisiatif/prakarsa sendiri dan melakukan upaya pencegahan maladministrasi. Kemudian, pasal 4 UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik berazaskan antara lain azas keterbukaan. Sehingga, Ombudsman RI sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik perlu melakukan kunjungan/inspeksi mendadak kepada instansi penyelenggara pelayanan publik untuk mengetahui penerapan azas keterbukaan serta pelaksanaan tugas sebagaimana pasal 7 UU Nomor 37 tahun 2008.

Sistem Pemasyarakatan 

Sistem pemasyarakat saat ini, dulunya disebut pemenjaraan. Dari aspek sejarah pemenjaraan, ada banyak nama untuk tempat penahanan pelaku tindak kejahatan. Australia, Selandia Baru dan Inggris menyebut tempat penahanan sebagai correctional facility (fasilitas pemasyarakatan), detention center (pusat penahanan),atau gaol (penjara)sementara Kanada dan Amerika Serikat menamainya sebagai jail (penjara). Nama-nama tersebut merujuk pada fasilitas tempat para tahanan dikurung dan dibatasi kebebasannya sebagai bentuk hukuman.Michael Welch, dalam bukunya Corrections: A Critical Approach, menyebutkan praktik penahanan ini bisa dilacak asal muasalnya dari The Code of Hammurabi yang ditulis di Babilonia pada 1750 SM. Kitab ini merupakan salah satu dokumen hukum tertulis pertama yang memuat frasa aneye for an eye, and a tooth for a tooth. Kitab The Code of Hammurabi memuat konsep lex talionis yang berartithe law of retaliation (hukum balas dendam). Konsep balas dendam ini terus berlaku dari waktu ke waktu sebagai bentuk hukuman bagi pelaku tindak kejahatan yang mendasarkan hukumannya pada konsep pembalasan dendam. Praktik yang sama juga termuat dalam Kitab Sumeria Kuno dan Mesir Kuno.

Kemudian dalam perkembangannya, beberapa filsuf klasik Yunani seperti Plato berpendapat, hukuman ditujukan sebagai upaya perbaikan ketimbang konsep balas dendam. Hukuman penjara dijatuhkan bilamana seseorang tidak mampu membayar denda. Dalam kondisi ini orang dapat dipenjara dalam kurun waktu tertentu. Penjara, pada Yunani Kuno, sebagaimana dituliskan dalam buku Prisons and Prison Systems karya Michael P. Roth, dikenal dengan sebutan desmoterion atau rumah belenggu.

Kemudian akhirnya, perkembangan sistem pemenjaraan di negara-negara maju dan negara-negara dunia pada umumnya bertujuan melaksanakan rehabilitasi, re-edukasi, resosialisasi dan perlindungan baik terhadap narapidana maupun masyarakat. Ditandai dengan Resolusi PBB No. 2200 A (XXI) mengenai pengesahan International Covenant to Civil and Political Right (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dan Optional Protocol to the International Covenan to Civil and Political Rights (Protokol Tambahan Terhadap Kovenan Internasional Mengenai Hak Sipil dan Politik) secara bersama-sama pada 16 Desember 1966. Resolusi tersebut berlaku pada 23 Maret 1976, yang diratifikasi Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2005 melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang UU Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Deklarasi terhadap Pasal 1 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Konvensi Hak Sipil dan Politik (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik) tersebut, menentukan bahwa; a) setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia; b) tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, harus dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana; c) terdakwa dibawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan; dan d) sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana dan terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa.

Indonesia kemudian menyebutnya dengan istilah "Sistem pemasyarakatan" dan kata Penjara di ganti dengan "Lembaga Pemasyarakatan". Pola pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakataan (WBP) di lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat berhasil mencapai tujuan resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana/WBP, sehingga setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakat membawa pengaruh yang baik bagi individu dan juga masyarakat di sekitarnya.  Ide "Pemasyarakatan" bagi terpidana, menurut Dr. Sahardjo yang dikenal sebagai tokoh pembaharu dalam dunia kepenjaraan, pada dasarnya memperlakukan narapidana WBP sebagai: a) tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia; 2) tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang diluar masyarakat; 3). WBP hanya dijatuhi hukuman hilang kemerdekaan bergerak.

Pengawasan Pelayanan Publik di Lapas dan Rutan

Pelayanan publik menurut UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik dalam pasal 1 adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 5, ruang lingkup pelayanan publik dibagi menjadi 3 (layanan administrasi, jasa dan barang publik). Dari definisi pelayanan publik, terlihat bahwa kegiatan pengaturan pelayanan di Lapas dan Rutan merupakan bagian dari pelayanan publik, karena dilakukan kepada warga dan penduduk, melakukan penyelenggaraan administratif, serta pelayanan barang dan jasa. Kemudian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, bahwa Ombudsman RI perlu memberikan saran perbaikan dan pengawasan terhadap pelayanan yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau instansi terkait sebagai bentuk akuntabilitas kepada negara dan masyarakat.

Sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menyatakan bahwa penyelenggara pelayanan publik memberikan pelayanan sesuai dengan asas-asas pelayanan publik antara lain, kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan, maka penerapan azas ini juga memerlukan pengawasan.

Untuk Pelayanan di Lapas dan Rutan cukup banyak ketentuan yang mengaturnya, untuk berbagai aspek pelayanan, mulai dari undang-undang, peraturan presiden dan peraturan menteri. Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pada Pasal 14, disebutkan sejumlah hak orang atau warga binaan pemasyarakat (WBP), sebagai berikut:

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

b. mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani;

c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak;

e. menyampaikan keluhan;

f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;

i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. mendapatkan pembebasan bersyarat;

l. mendapatkan cuti menjelang bebas;

m. mendapatkan hak-hak narapidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk mengetahui pemenuhan dan juga kesamaan hak/keadilan serta upaya pencegahan maladministrasi dan prilaku koruptif terhadap komponen hak sesuai pasal 14 UU Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan tersebut, maka Ombudsman RI perlu melakukan beberapa upaya, antara lain menerima dan menyelesaikan pengaduan/laporan dari masyarakat mengenai pelayanan Lapas, selain itu juga melakukan upaya inisiatif berupa kunjungan tanpa pemberitahuan (inspeksi mendadak) yang bertujuan memberikan masukan perbaikan pelayanan publik serta menyelesaikan laporan/pengaduan. Upaya inisiatif berupa inspeksi mendadak yang selama ini dilakukan sedikit banyaknya membantu perbaikan pelayanan publik dan pencegahan perilaku maladministrasi ataupun korupsi, contohnya: Lapas berupaya menerapkan standar pelayanan publik dalam menerima kunjungan berupa adanya tempat kunjungan, waktu berkunjung yang ditaati dan petugas tidak menerima uang tip dari masyarakat yang berkunjung. Hal ini merupakan salah satu bentuk perbaikan pelayanan publik yang dilakukan Lapas dan Rutan.

Dalam rangka menjalankan amanat pengawasan pelayanan publik kepada Ombudsman RI sesuai Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dalam beberapa kesempatan, Ombudsman RI melakukan pengawasan terhadap pelayanan Lapas dan Rutan dengan cara mendengarkan keluhan Warga Binaan Pemasyarakatan, pengamatan standar layanan dan koordinasi dengan petugas di Lapas dan Rutan. Saran perbaikan disampaikan secara langsung kepada Lapas dan Rutan yang dikunjungi atau melalui Ditjen Pemasyarakatan cq. Kementerian Hukum dan HAM RI.

Sebagai gambaran pengawasan Ombudsman RI terhadap pelayanan Lapas dan Rutan, telah dilakukan beberapa bentuk pengawasan : a) kajian mengenai pelayanan Lapas terhadap hak-hak WBN, khususnya mengenai hak atas remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan hak lainnya mengenai masa hukuman guna menemukan solusi yang dapat diimplementasikan oleh instansi terkait; b) pengawasan Ombudsman RI terhadap pelayanan publik di Lapas/Rutan juga dilakukan oleh Perwakilan Ombudsman RI diseluruh Provinsi guna mengetahui pelayanan publik di; c) penyelesaian laporan dan inspeksi mendadak guna penyelesaian permasalahan pelayanan dan memberikan saran perbaikan dari temuan langsung di objek. Acuan yang dipakai, selain UU Ombudsman  dan UU Pelayanan Publik adalah UU Nomor 12 tahun 1995 tentang, kemudian juga menggunakan aturan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS 14.OT.02.02 Tahun 2014 tentang Standar Layanan Pemasyarakatan terkait standar makan, minum dan pelayanan pembebasan bersyarat, Cuti Bersyarat dan lainnya sesuai ketentuan tersebut. Selain itu, Ombudsman RI juga mencermati tata tertib Lapas/Rutan (Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas/Rutan) yang memuat tata tertib Lapas/Rutan dan juga mencermati kondisi fasilitas di kamar hunian/sel di Lapas dan Rutan serta ketentuan lainnya yang relevan.

Proses pengawasan Ombudsman RI terhadap pelayanan publik di Lapas dan Rutan, perlu dilakukan, karena potensi maladministrasi di Lapas dan Rutan masih sangat penting untuk dicermati dan diperbaiki. Salah satu aspek penyebab potensi maladministrasi adalah Over Capasity (kelebihan daya tampung) yang masih terjadi di Lapas dan Rutan. Berdasarkan informasi dalam sistem database pemasyarakatan (ditjenpas.go.id di lihat update tanggal 10 Juni 2019), saat ini Narapidana di seluruh Lapas di Indonesia berjumlah 192.763 orang dan Tahanan di seluruh Rutan berjumlah 71.908 orang, sehingga total Narapidana dan tahanan di Lapas dan Rutan berjumlah 264.671 orang, sementara kapasitas Lapas/Rutan daya tampungnya hanya sebanyak 126.914 orang, sehingga jumlah masyarakat yang berada di Lapas/Rutan saat ini dua kali lipat melebihi kapasitas. Informasi dari sistem database pemasyarakatan tersebut juga diketahui, hanya ada dua Kantor Wilayah (Kanwil) yang tidakover load/over capacity yaitu Kanwil DI.Yogyakarta dan Kanwil Maluku Utara.

Proses pengawasan Ombudsman juga perlu dipahami dengan sikap terbuka oleh instansi penyelenggara layanan, hendaknya menerima pengawasan Ombudsman sebagai bentuk kepatuhan kepada UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik, sehingga upaya perbaikan tersebut dapat dilakukan dengan bersinergi untuk memperoleh hasil yang efektif bagi kemajuan bangsa.




Loading...

Loading...
Loading...
Loading...