• ,
  • - +

Artikel

Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
• Senin, 31/08/2020 • Maya Septiani
 
Calon Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Bangka Belitung, Maya Septiani

Negara memiliki tujuan dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya (welfare state). Sehingga negara perlu melakukan berbagai hal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Agar pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat berjalan dengan baik, maka urgensitas terkait kualitas pelayanan publik sangatlah besar. Adapun yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik menurut Agus Dwiyanto (2009) adalah salah satunya faktor internal, yaitu kewenangan diskresi.

Diskresi dalam Pelayanan Publik

Diskresi dalam kaitannya dengan pelayanan publik dilatarbelakangi dengan paradigma administrasi publik yang pada mulanya diatur secara terbatas pada paradigma Old Public Administration (OPA). Kemudian, pada New Public Management (NPM) diskresi mulai diberikan secara luas. Namun, terdapat penyalahgunaan akibat adanya diskresi yang diberikan secara luas tersebut sehingga pada paradigma New Public Service (NPS) diskresi tetap dibutuhkan, akan tetapi dibatasi dan harus dilakukan secara bertanggung jawab (Denhardt & Denhardt, 2003). Sehingga apabila diskresi dilakukan secara tidak bertanggung jawab atau "kebablasan" maka akan berakibat pada menurunnya kualitas pelayanan publik.

Secara istilah, diskresi berasal dari kata discretion (Inggris), discretionair (Perancis), freies ermessen (Jerman) yang notabene mutlak dibutuhkan oleh pemerintah dan melekatnya suatu wewenang (inherent aan het bestuur) karena sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan pemerintah terhadap kehidupan sosial dan ekonomi para warga yang semakin komplek. Sedangkan secara definisi, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan (UU Nomor 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan).

Berdasarkan hal tersebut sejatinya diskresi sangat dibutuhkan pada pelayanan publik terutama dalam percepatan pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Namun, hal tersebut menjadi dilema bagi penyelenggara pelayanan publik terlebih dalam mengambil keputusan yang notabene kebijakannya belum diatur. Sehingga menurut Benyamin Hoessen (2011) diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat dalam mengambil keputusan berdasarkan pertimbangannya sendiri. Selanjutnya, Gayus T. Lumbuun (2008) mendefinisikan diskresi dalam memperbolehkan kebijakan yang diambil oleh pejabat baik pusat maupun daerah meskipun melanggar undang-undang dengan tiga syarat, yaitu demi kepentingan umum, dalam batas kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB). Oleh karena itu, munculnya UU Nomor 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan merupakan jawaban dari adanya kepastian hukum dalam diskresi. Diskresi pada pelayanan publik dibutuhkan untuk mewujudkan pelayanan publik yang efektif dan efisien.

Adapun contoh diskresi yang notabene sangat dibutuhkan pada masa genting, misalnya pada pandemi Covid-19 bahwa pemerintah perlu untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat dengan memperhatikan anggaran yang telah direncanakan. Meskipun pada dasarnya situasi dan kondisi masa pandemi Covid-19 seperti memberikan shock therapy bagi pemerintah.

Diskresi Rentan Maladministrasi pada Pelayanan Publik

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada dasarnya diskresi sangat baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sehingga diskresi dan pelayanan publik tidak dapat terlepas satu sama lain. Namun, hal tersebut perlu menjadi perhatian bagi penyelenggara pelayanan publik untuk memperhatikan aturan-aturan sehingga tidak merujuk pada terjadinya maladministrasi.

Adapun maladministrasi yang cenderung dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik dalam konteks diskresi adalah adanya penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan wewenang yang merujuk pada tidak diindahkannya kepentingan publik atau menyimpang terhadap kepentingan umum. Adapun contohnya adalah penggunaan diskresi yang diduga melampaui wewenang dan dilakukan pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) baru-baru ini. Keputusan yang 'dianggap' diskresi tersebut menimbulkan beberapa implikasi. Adapun implikasi-implikasi tersebut antara lain berubahnya anggaran daerah namun tidak melampirkan persetujuan tertulis dari Atasan Pejabat atas diskresi yang telah dilakukan. Selain itu, menimbulkan kerugian bagi pihak terkait. Adapun contoh diskresi lainnya yang merujuk pada penyalahgunaan wewenang adalah kasus Bulog dengan merugikan negara sebesar 40 miliar rupiah.

Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa terdapat prosedur yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara pelayanan publik dalam melakukan diskresi, yaitu mendapat persetujuan tertulis dari Atasan Pejabat. Terlebih untuk diskresi yang dapat mempengaruhi perubahan alokasi anggaran, menimbulkan keresahan masyarakat, dan untuk keadaan darurat serta mendesak seperti pada bencana alam maupun non alam.

Pada dasarnya UU Nomor 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan telah mengatur persyaratan diskresi, yaitu sesuai dengan tujuan diskresi pada Pasal 22 (melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, serta mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum), tidak bertentangan dengan aturan, sesuai dengan AUPB, berdasarkan alasan-alasan objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan itikad baik. Sehingga dalam pelaksanaan diskresi perlu memperhatikan prosedur penggunaan diskresi yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral dan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU Nomor 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Apabila diskresi tidak dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku akan menimbulkan konsekuensi hukum pada diskresi yang menjadi tidak sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 UU Nomor 30/2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Peran Ombudsman dalam Mengawasi Diskresi

Berdasarkan latar belakang dibentuknya Ombudsman yang memiliki tugas pokok dalam melakukan pengawasan pada penyelenggaraan pelayanan publik demi mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Selain itu, penegakan prinsip-prinsip good governance akan lebih menjamin penyelenggaraan pelayanan publik yang bersih, transparan, jujur, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kemudian, mendorong adanya partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan sebagai wujud demokratisasi untuk mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan, jabatan, maupun wewenang yang notabene rentan terjadi pada diskresi. Oleh karena itu, pada dasarnya Ombudsman memiliki kewenangan penuh dalam hal mengawasi pelaksanaan diskresi. Adapun bentuk pengawasan tersebut adalah memastikan melalui pemeriksaan apakah dikresi yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik sudah sesuai dengan aturan atau sebaliknya memberikan bukti konkrit terjadinya maladministrasi.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...