Ombudsman RI Sampaikan Sejumlah Catatan Pada Industri Kelapa di Gorontalo

Siaran Pers
Nomor : 013/HM.02.07-24/IX/2025
Jumat, 12 September 2025
Gorontalo - Ombudsman Republik Indonesia memberikan catatan mengenai industri kelapa di Provinsi Gorontalo. Hal ini sebagai bentuk pengawasan Ombudsman RI pada pelayanan publik sektor perekonomian, perdagangan dan pertanian pangan. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengatakan, jika dilihat dari nilai, industri kelapa di Gorontalo sangat membantu Pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja, baik bagi pegawai di pabrik pengolahan, maupun dalam memberdayakan petani kelapa sebagai pemasok bahan baku kelapa di Gorontalo.
"Industri kelapa di Gorontalo menyumbang pendapatan bagi negara melalui aktivitas ekspor ke negara-negara di Eropa dan Timur Tengah," ucap Yeka, Kamis (11/9/2025).
Produk hilirisasi kelapa di Gorontalo sangat beragam, di antaranya tepung kelapa, santan kelapa, air kelapa, VCO, industri serbuk kelapa dan lainnya. Industri Kelapa juga memiliki nilai investasi cukup besar, salah satu perusahaan pengolahan kelapa di Gorontalo saja telah memiliki nilai investasi sebesar Rp 250 miliar.
Untuk kondisi komoditas kelapa, Provinsi Gorontalo memiliki luas lahan perkebunan kelapa total sebesar 21.000 hektare, dengan jumlah 100 pohon per hektare. Produktifitas pohon kelapa di Gorontalo cukup produktif, satu pohon rata-rata dapat menghasilkan 50-60 butir kelapa, paling rendah 27 butir dan paling tinggi 108 butir per pohon, dengan musim panen empat kali dalam satu tahun.
Untuk harga beli kelapa lokal kepada petani senilai Rp 3.400/butir dan tertinggi bisa mencapai Rp 3.900/butir. Harga jual ke pabrik Rp 4.100/kg kelapa yang sudah dikupas, dan Rp 4.700/butir kelapa utuh, sedangkan harga kelapa hibrida lebih murah, hanya Rp 1.500/butir.
"Biaya modal kelapa pada pengepul tercatat untuk ongkos panen Rp 200/butir, ongkos pecah Rp 125/butir dan ongkos transportasi Rp100/butir," ucap Yeka.
Potensi dan hambatan industri kelapa di Provinsi Gorontalo menurut Ombudsman RI yaitu keterbatasan bahan baku kelapa, rendahnya kualitas benih kelapa, terbatasnya akses permodalan bagi para petani dan pelaku usaha pengepul kelapa. Industri itu juga memiliki ketidaknyamanan dalam berusaha, karena ada potensi penyimpangan dan/atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh oknum penyelenggara layanan dalam penanganan perselisihan hubungan industrial antara pegawai yang bersatatus "borongan" melalui serikat pegawai dengan pihak perusahaan.
Untuk itu, Ombudsman memberikan saran di antaranya pemerintah perlu memberikan dukungan dan bantuan bagi para petani kelapa, khususnya terhadap perbaikan industri benih kelapa yang memiliki varietas bagus.
"Pemerintah perlu melakukan ekstensifikasi perkebunan kelapa di Gorontalo dan mendukung dan membuka akses permodalan bagi para petani dan pelaku usaha pengepul kelapa melalui Himpunan Bank Negara (Himbara)," kata Yeka.
Saran terakhir yaitu Pemerintah perlu melakukan evaluasi dan pencegahan maladministrasi terhadap potensi penyimpangan yang dilakukan oleh oknum yang dapat berdampak terhadap keberlangsungan usaha yang nyaman, aman dan sehat pada industri kelapa. (FK)