• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Ombudsman DIY: Terdapat Jurang Kebijakan dan Kesenjangan Kapasitas Pengelolaan Sampah Kota Yogyakarta
PERWAKILAN: D I YOGYAKARTA • Rabu, 29/10/2025 •
 
Penyerahan Laporan Hasil Kajian (LHK)

SIARAN PERS

Nomor : 02/HM.01/X/2025

Selasa, 28 Oktober 2025


YOGYAKARTA - Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dipimpin oleh Kepala Perwakilan, Muflihul Hadi, menyerahkan Laporan Hasil Kajian (LHK) "Problematika Tata Kelola Sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta (Pasca Penutupan TPA Piyungan)" kepada Pemerintah Kota Yogyakarta pada Selasa (28/10/2025).

Penyerahan laporan kajian dilaksanakan di Bappeda Kota Yogyakarta dan dihadiri oleh perwakilan dari Bappeda Kota Yogyakarta, Inspektorat Daerah, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum, serta Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kota Yogyakarta.

Laporan hasil kajian tersebut memuat temuan lapangan mendalam serta saran tindakan korektif yang ditujukan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta guna mengatasi krisis pengelolaan sampah yang tengah terjadi.

Muflihul Hadi menyampaikan bahwa kajian Ombudsman DIY menyimpulkan krisis sampah di DIY, termasuk di Kota Yogyakarta, bukan disebabkan oleh ketiadaan regulasi. Menurutnya, regulasi yang ada sudah cukup lengkap.

"Akar permasalahan utamanya adalah krisis tata kelola atau governance. Kami menemukan adanya jurang implementasi (implementation gap) yang besar antara aturan formal yang ideal dengan praktik di lapangan. Penutupan TPA Piyungan pada tahun 2024 hanya menjadi akselerator yang membongkar kegagalan sistemik ini," ujar Muflihul Hadi.

Secara khusus untuk wilayah Kota Yogyakarta, Ombudsman DIY menyoroti beberapa temuan krusial yang memerlukan penanganan segera. Kajian ini menemukan adanya kesenjangan kapasitas yang sangat besar antara timbulan sampah harian yang mencapai hampir 300 ton dengan total kapasitas olah efektif seluruh Unit Pengolahan Sampah (UPS) yang hanya sekitar 150 ton per hari. Kondisi tersebut mengakibatkan penumpukan sampah di berbagai depo dan meningkatkan risiko gangguan lingkungan.

Selain itu, di seluruh lokasi UPS yang dikunjungi, seperti UPS Nitikan 1, Nitikan 2, dan Sitimulyo 1, masih ditemukan kegagalan sistemik dalam pemilahan sampah di sumber. Mayoritas sampah yang masuk ke UPS dalam kondisi tercampur antara organik dan anorganik. Hal ini memperberat beban kerja petugas, mempercepat kerusakan mesin, serta menurunkan kualitas produk olahan.

Kelembagaan pengelolaan sampah berbasis komunitas juga masih rapuh. Kota Yogyakarta memiliki lebih dari 700 bank sampah, namun tidak semuanya aktif. Keberlanjutan bank sampah sangat bergantung pada kerja sosial (volunterisme) tanpa dukungan profitabilitas yang jelas, sehingga banyak yang berhenti beroperasi setelah beberapa waktu berjalan.

Dari sisi teknis, kinerja UPS juga terhambat oleh keterbatasan peralatan pendukung penting, seperti rotary dryer (mesin pengering). Ketiadaan alat ini membuat proses pengolahan, terutama pembakaran sampah basah, menjadi lebih lama. Akibatnya, produk olahan seperti Refuse-Derived Fuel (RDF) memiliki kadar air tinggi dan kualitasnya menurun.

Menurut Muflihul Hadi, temuan-temuan tersebut menimbulkan potensi terjadinya maladministrasi. "Potensi maladministrasi yang kami identifikasi di Kota Yogyakarta mencakup penundaan berlarut (undue delay), yang terlihat dari antrean residu di insinerator dan penumpukan sampah di depo akibat kapasitas yang tidak sebanding. Selain itu, terdapat indikasi pengabaian kewajiban hukum (neglect of legal obligations), yaitu lemahnya penegakan aturan pemilahan di sumber serta minimnya pembinaan terhadap bank sampah," tegasnya.

Berdasarkan hasil kajian tersebut, Ombudsman RI DIY memberikan empat saran tindakan korektif utama kepada Wali Kota Yogyakarta. Pertama, Pemerintah Kota Yogyakarta diharapkan segera menerbitkan Peraturan Wali Kota yang mengatur skema retribusi diferensial, di mana warga yang taat memilah sampah diberikan insentif berupa potongan retribusi, sementara yang tidak memilah dikenakan tarif normal atau lebih tinggi.

Kedua, optimalisasi dan peningkatan kapasitas UPS perlu dilakukan melalui audit teknis dan alokasi anggaran yang memadai untuk melengkapi UPS dengan peralatan penting seperti rotary dryer, serta menambah kapasitas insinerator guna menjembatani kesenjangan kapasitas harian.

Ketiga, perlu dilakukan revitalisasi bank sampah, terutama dengan mengaktifkan kembali Bank Sampah Unit (BSU) yang tidak aktif. Upaya ini dapat dilakukan dengan melibatkan kader Dasawisma atau PKK sebagai Agen Edukasi dan Verifikasi Sampah yang diberi insentif operasional agar program berjalan berkelanjutan.

Keempat, Pemerintah Kota Yogyakarta diharapkan memperkuat penegakan aturan plastik sekali pakai melalui pengawasan rutin dan penegakan sanksi terhadap Peraturan Wali Kota Nomor 40 Tahun 2024 tentang Pengurangan Plastik Sekali Pakai, terutama pada sektor usaha seperti hotel, restoran, dan ritel.

"Kami berharap hasil kajian ini dapat menjadi dasar bagi Wali Kota Yogyakarta untuk mengambil langkah korektif yang tegas dan terukur. Penanganan sampah ke depan membutuhkan pemaksaan perilaku melalui penegakan aturan, bukan sekadar sosialisasi," tutup Muflihul Hadi.


Narahubung:

Chasidin

Kepala Keasistenan Pencegahan Ombudsman RI Perwakilan DIY

0811 120 3737





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...