Ombudsman Aceh Terus Awasi Layanan Kesehatan dan Pendidikan Ramah Anak

Siaran Pers
Nomor: 009/PW.01/VI/2025
Jumat, 13 Juni 2025
Banda Aceh - Penyelenggaraan pelayanan publik guna memenuhi berbagai kebutuhan anak merupakan hak-hak anak di Indonesia, yang dijamin konstitusi. Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Aceh menegaskan komitmennya untuk mengawasi dan terus mendorong penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas, khususnya pada sektor layanan kesehatan dan pendidikan dengan menekankan pentingnya prinsip ramah anak sebagai bagian dari pemenuhan hak-hak dasar warga negara.
Dalam berbagai pemantauan dan investigasi yang dilakukan, Ombudsman Aceh masih menemukan sejumlah permasalahan dalam penyelenggaraan layanan kesehatan dan pendidikan. Permasalahan tersebut berdampak langsung pada kualitas tumbuh-kembang anak-anak Indonesia. Fasilitas maupun akses kesehatan yang ramah anak di daerah terpencil, misalnya, serta lingkungan pendidikan yang layak belum sepenuhnya aman dan inklusif.
Kepala Keasistenan Bidang Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Ayu Parmawati Putri menyampaikan bahwa pendidikan merupakan rangkaian proses pembelajaran yang sifatnya tidak hanya formal namun juga non formal, pendidikan tidak hanya didapat dari sekolah akan tetapi juga dari lingkungan luar sekolah pada acara Halo RRI Melaboh, Jumat (13/6/2025).
"Memang (pendidikan) merupakan hak dasar yang sudah melekat sejak lahir. Pada kenyataannya, pendidikan di lapangan masih banyak kendala," ungkap Ayu.
Hal ini masih belum sejalan dengan SDGs ketiga yaitu Kehidupan Sehat dan Sejahtera (Good Health and Well-being), dan juga program Presiden Asta Cita keempat yang bertujuan untuk memperkuat pembangunan SDM.
Dalam sektor pendidikan, Ombudsman Aceh menyoroti praktik perundungan, kekerasan fisik maupun verbal, serta fasilitas sekolah yang tidak memenuhi standar ramah anak hingga pungutan.
Ayu menjelaskan pentingnya menjadikan lingkungan sekolah menjadi tempat yang aman, nyaman, dan mendukung tumbuh kembang anak.
"Kami mendorong adanya kolaborasi sekolah dengan Puskesmas dalam pemanfaatan layanan Kesehatan Mental di Puskesmas," lanjutnya.
Keterbatasan akses terhadap layanan publik yang berkualitas, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan, berkontribusi besar terhadap siklus kemiskinan yang dialami anak-anak. Ketika anak tidak mendapatkan hak dasarnya secara optimal, mereka menjadi lebih rentan terhadap eksploitasi, putus sekolah, masalah kesehatan, hingga anak berhadapan dengan hukum.
Oleh karena itu, perbaikan layanan publik harus dipandang tidak hanya sebagai isu administratif, tetapi juga sebagai bagian dari strategi jangka panjang dalam memutus mata rantai kemiskinan antar-generasi.
Pada kesempatan ini, Pemerhati Perlindungan Anak Aceh Firdaus D. Nyak Idin, yang hadir sebagai narasumber, turut menekankan bahwa pemutusan mata rantai kemiskinan harus dilakukan melalui pendekatan lintas sektor.
"Pengentasan kemiskinan jangan hanya terpaku pada satu bidang saja." Demikian Firdaus menyoroti peningkatan kasus kesehatan mental pada anak yang harus menjadi perhatian bersama.
Firdaus menambahkan bahwa kemiskinan dan perlindungan anak harus dilihat sebagai isu yang saling terhubung.
"Sangat dibutuhkan kolaborasi antar instansi dalam membentuk program yang memahami perkembangan dan kebutuhan anak, khususnya terkait kesehatan mental," ujarnya.
Selanjutnya narasumber dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh Amrina Hasbi menyatakan bahwa pemerintah telah memiliki landasan hukum kuat dalam melindungi hak-hak anak melalui Undang-Undang Perlindungan Anak beserta kebijakan turunannya. Namun, pelaksanaannya masih menghadapi tantangan, terutama di tingkat kabupaten/kota yang mengalami keterbatasan anggaran.
"Perlu peningkatan kapasitas SDM agar lebih responsif terhadap isu anak," tegas Amrina.
Selain itu, Amrina juga menekankan peran penting partisipasi masyarakat juga penting dalam mengawasi dan mendukung pemenuhan hak anak.
Amrina mengingatkan pentingnya peran orang tua dalam memberikan pola asuh yang relevan dengan zaman, serta pentingnya segera melaporkan bila mendengar, melihat, mengetahui atau menyaksikan kekerasan terhadap anak.
Di bidang inklusi, Amrina mengakui bahwa fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Aceh sudah mulai tersedia namun masih belum sepenuhnya menjangkau seluruh jenis disabilitas.
Para narasumber sepakat bahwa perbaikan layanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan harus dilakukan secara berkelanjutan dengan melibatkan berbagai pihak: pemerintah, masyarakat, institusi pendidikan, serta tenaga kesehatan. Ombudsman RI Perwakilan Aceh berkomitmen untuk terus mengawasi dan mendorong peningkatan kualitas layanan publik yang ramah anak dan inklusif.
"Anak-anak Aceh akan mampu menjaga Aceh terus mulia, jika jiwa dan raganya dibangun melalui penyelenggaraan layanan publik berkualiatas yang ramah anak," tutup Ayu.