Terkait Reklamasi Ilegal di Teluk Tering, Ombudsman Sindir Pemerintah dan Aparat Pasif

Batam (BP) - Proyek reklamasi ilegal di kawasan Teluk Tering, Batam Center, akhirnya dihentikan setelah inspeksi mendadak (sidak) oleh Wakil Wali Kota Batam sekaligus Wakil Kepala BP Batam, Li Claudia Chandra, pada Juli lalu. Di lokasi, ditemukan aktivitas penimbunan lahan yang telah berlangsung sejak 2021 dengan luas sekitar 15 hektare.
Penghentian itu ditansai dengan pemasangan plang segel oleh BP Batam. Ini bukan kali pertama kawasan tersebut mendapat perhatian. Pada 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga pernah menyegel lokasi yang sama.
Dari informasi yang dihimpun, setidaknya ada tiga perusahaan yang diduga terlibat dalam reklamasi tanpa izin tersebut. Belum diketahui pasti tujuan akhir proyek ini, namun besar kemungkinan akan dijadikan kawasan permukiman atau perumahan elite.
Material penimbunan disebut-sebut diangkut dari wilayah Kabil. Praktik ini menimbulkan kekhawatiran dampak ekologis seperti abrasi dan pencemaran laut.
Kawasan Teluk Tering tempat reklamasi berlangsung ternyata tidak termasuk dalam zona pemanfaatan umum sesuai Perda Provinsi Kpri tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Tahun 2018-20238. Artinya, reklamasi di lokasi tersebuttidak hanya tak berizin, tetapi juga melanggar tata ruang daerah.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kepri, Lagat Parroha Patar Siadari, menyebut Pemerintah sejatinya sudah memiliki cukup bukti untuk menindak pelanggaran yang terjadi. Menurutnya, pernyataan Li Claudia bahwa reklamasi di Teluk Tering tidak memiliki izin merupakan pintu masuk kuat untuk penindakan hukum.
"Temuannya sudah ada. Maka itu sudah bisa diambil tindakan," kata Lagat.
Pelanggaran terhadap UU Pencemaran Lingkungan Hidup dan UU Izin Reklamasi seharusnya cukup kuat untuk membawa kasus ini ke ranah pidana. Aktivitas tersebut berpotensi menimbulkan abrasi dan pencemaran laut yang merugikan ekosistem serta masyarakat pesisir.
Ia mendesak BP Batam, DLH Batam dan aparat penegak hukum segera berkoordinasi untuk membawa kasus ini ke proses hukum. "DLH Batam bisa menjadi pintu masuk untuk menganalisis dan membantu polisi dalam menemukan unsur-unsur kerusakan lingkungannya," tambah Lagat.
Menurutnya, tindakan reklamasi dan penimbunan tanpa izin sudah memenuhi unsur pelanggaran pidana. Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas, bukan sebatas wacana di media. Lagat juga menyinggung sikap pasif penegak hukum, khususnya Polda Kepri, yang terkesan lamban menanggapi laporan-laporan terkait aktivitas ini sejak awal.
"Sudah sejak lama dikeluhkan, tapi terkesan Polsa diam. BP Batam juga pasif. Pemko Batam juga pasif," katanya.
Ia mempertanyakan, apakah ada pengaruh kekuatan dari pihak-pihak dibalik perusahaan yang terlibat dalam reklamasi ini. "Apakah karena tiga perusahaan itu "orang besar"? Kenapa baru sekarang ribut? Jangan hanya ribut dong," tanyanya.
Ia juga mendesak Li Claudia untuk bertindak lebih konkret. Menurutnya, posisi politik Li Claudia yang kuat semestinya bisa digunakan untuk menekan aparat agar segera bertindak.
"Kalau 'memble' di sini, bisa langsung lewat orang Mabes dong. Sekarang peguasanya Gerindra. Langsung saja dari Mabes turunkan Polisi. Police Line lokasi itu," ujarnya.
Ia mengingatkan pemerintah agar tidak sekedar bermain retorika di media. Pernyataan soal tidak adanya izin harus dibarengi dengan tindakan nyata berupa penegakan hukum.
"Kita dukung Pemko Batam dan BP Batam selama berada di jalan yang benar. Tapi kalau sudah menyimpang, kita juga akan bicara terus terang bahwa itu salah. Jangan hanya sesumbar tapi tak ada langkah nyata," ujarnya.
Pihaknya juga menyatakan kesiapan untuk mendukung langkah Polda Kepri jika benar-benar bergerak menindak pelanggaran ini. Semua pihak, termasuk penegak hukum pusat seperti Gakkum KLHK, harus bersinergi menjaga pesisir Batam dari kerusakan lebih lanjut.
Kasus Lahan Mandek Bertahun-Tahun
Sementara itu, Pengadilan Negeri (PN) Batam kembali menyidangkan perkara dugaan penipuan lahan yang melibatkan seorang oknum pegawai Badan Pengusahaan (BP) Batam sebagai tergugat.
Sidang yang digelar Rabu (16/7) itu mengupas sengketa perdata lahan di kawasan Kaveling Gundaling, Batuaji, yang kini memasuki tahap pembuktian.
Dalam persidangan yang dipimpin majelis hakim Irvan Lubis, pihak penggugat diwakili kuasa hukumnya, Niko Nixon Situmorang. Ia menjelaskan bahwa kliennya, HEM, telah menjadi korban dugaan penipuan sejak 2018 oleh oknum pegawai BP Batam yang menjanjikan pengurusan lahan untuk pengembangan sekolah di kawasan Putri Tujuh, Batuaji.
"Klien kami bertemu dengan tergugat yang mengaku bisa mengurus lahan tersebut. Karena kebutuhan untuk pengembangan sekolah, disepakati biaya pengurusan lahan sebesar satu dolar Singapura (SGD) per meter. Total dana yang telah dibayarkan mencapai Rp 116 juta," ujar Niko di hadapan majelis hakim.
Namun, setelah seluruh pembayaran dilakukan secara bertahap, tidak ada realisasi dari pihak tergugat. Berbagai upaya mediasi dan komunikasi telah dilakukan oleh kliennya, namun selalu berujung pada janji tanpa kepastian. Bahkan, laporan yang sempat diajukan ke Polsek Batam Kota Pada 2019 hingga 2020 pun tak menunjukkan perkembangan.
"Kami sudah mengirimkan surat sebanyak tiga kali ke Polsek Batam Kota, tapi tidak ada tanggapan," ungkap Niko.
Berdasarkan kondisi tersebut, pihak penggugat akhirnya mengajukan gugatan perdata ke PN Batam. Perkara ini telah terdaftar dalam register Nomor 222/Pdt.G/2025/PN Btm dan kini memasuki tahap pemeriksaan saksi dan bukti.
Dalam persidangan, disebutkan pula bahwa pihak Polsek Batam Kota tidak pernah hadir sebagai pihak yang dimintai keterangan, meski diduga memiliki informasi penting terkait pelaporan awal kasus ini. Sementara pihak tergugat dari BP Batam hanya sekali menghadiri sidang dan belum memberikan keterangan substantif.
"Sampai saat ini tidak ada klarifikasi atau penjelasan resmi dari Polsek Batam Kota. Padahal, mereka punya kewajiban menindaklanjuti laporan dugaan tindak pidana. Kami menduga kuat adanya perbuatan melawan hukum dari pihak tergugat," tambah Niko.
Sementara itu, HEM menyampaikan kekecewaannya terhadap proses penegakan hukum yang mandek. Ia berharap mejelis hakim dapat memutus perkara ini dengan adil, mengingat dana yang digunakan merupakan investasi penting bagi pembangunan fasilitas pendidikan.
"Saya sudah melapor sejak lama, tapi tidak pernah ada tindak lanjut. Ini demi pembangunan sekolah. Saya hanya ingin keadilan di tegakkan," uajrnya usai persidangan.