Terapkan Sekolah Unggulan dan Ubah Mekanisme Penerimaan Siswa, Ombudsman Soroti Potensi SPMB 2025 di Sulsel

Makassar, Mapress.co.id - Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Selatan menyoroti potensi maladministrasi dalam pelaksanaan Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun Ajaran 2025, menyusul kebijakan Pemerintah Provinsi Sulsel yang menetapkan sejumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai persiapan sekolah unggulan dan mengubah secara signifikan mekanisme penerimaan siswa.
Keempat SMAN unggulan di Kota Makassar, yaitu SMAN 1, SMAN 2, SMAN 5, dan SMAN 17, resmi berstatus sekolah unggulan, dan hanya akan menerima siswa baru melalui jalur prestasi.
Kebijakan serupa juga diterapkan pada beberapa SMA berasrama, termasuk SMAN 5 Gowa dan SMAN 13 Pangkep.
Sebagaimana dilansir sebelumnya, Pemerintah Provinsi Sulsel sendiri berencana menerapkan sistem sekolah unggulan ini di seluruh kabupaten/kota, dengan SMA yang memiliki jumlah peminat tinggi akan dikategorikan sebagai unggulan dan mengikuti skema penerimaan serupa.
Kepala Dinas Pendidikan Sulsel, Iqbal Nadjamuddin menjelaskan bahwa seluruh proses seleksi akan didasarkan pada hasil Tes Potensi Akademik (TPA) dan nilai prestasi siswa.
Namun, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sulsel, Ismu Iskandar, mengungkapkan kekhawatiran terhadap proses regulasi dan pelaksanaan teknis yang dinilai tidak konsisten serta berpotensi melanggar prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Ia menyebut bahwa terdapat inkonsistensi antara petunjuk teknis (juknis) yang telah ditetapkan melalui Keputusan Kepala Daerah Nomor 400.3/2847/DISDIK dengan sejumlah Surat Edaran (SE) turunan yang substansinya justru mengubah isi juknis tersebut.
"Setidaknya kami menemukan enam surat edaran yang dikeluarkan setelah penetapan juknis, yang beberapa di antaranya secara substantif mengubah ketentuan pokok, termasuk mekanisme seleksi jalur domisili," ujar Ismu, Senin (20/05/2025).
Salah satu SE yang disorot adalah SE Kepala Dinas Pendidikan Sulsel Nomor 100.3.4/2059/DISDIK, yang mengubah indikator jarak tempat tinggal sebagai faktor utama penentuan kelulusan, dan menggantinya dengan TPA serta urutan usia siswa.
Ketentuan ini, menurut Ismu, membuat anak-anak dari keluarga non-DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) terperangkap dalam ruang tengah, tidak cukup miskin untuk afirmasi, tidak cukup berprestasi untuk jalur prestasi, dan bisa kalah bersaing di jalur domisili yang kini memperhitungkan kemampuan akademik.
Pasal 43 ayat (3) Permendikdasmen menyatakan bahwa jika jumlah pendaftar jalur domisili melebihi kuota, maka seleksi dilakukan berdasarkan urutan, kemampuan akademik, jarak tempat tinggal, dan usia. Namun, melalui SE Nomor 400.3.8/5631/DISDIK, kini pembobotan dilakukan dengan mengakumulasi nilai rata-rata rapor semester 1-5 dan mengalikan hasilnya dengan skor TPA dalam bentuk persentase.
"Kebijakan ini tampak progresif, namun menjadi problematik. Karena satu, tidak ada pengaturan teknis atau standar nasional mengenai TPA dalam Permendiknasmen. Dua, akses terhadap persiapan TPA tidak merata, menimbulkan ketimpangan baru. Tiga, penggunaan TPA bertentangan dengan semangat zonasi yang semestinya menghapus seleksi berbasis tes," ujar Ismu.
Selain itu, pada jalur afirmasi, Permendikdasmen telah menetapkan bahwa prioritas seleksi dilakukan berdasarkan jarak tempat tinggal, bukan hasil tes. Namun, di Sulsel misalnya tetap memasukkan TPA sebagai mekanisme seleksi tambahan ketika terjadi jarak sama.
"Ini menunjukkan inkonsistensi antara kebijakan nasional dan pelaksanaan daerah, serta lemahnya kontrol vertikal terhadap interpretasi aturan oleh pemerintah daerah," jelasnya.
Pengawasan Lebih Lanjut Ombudsman RI Perwakilan Sulsel menyatakan akan terus mengawasi proses SPMB 2025 dan membuka posko pengaduan publik untuk memastikan hak-hak pendidikan masyarakat, khususnya kelompok rentan, tidak terabaikan akibat perubahan kebijakan yang tidak transparan.
"Untuk mendapatkan informasi lebih komprehensif, dalam minggu ini tim kami juga akan segera melakukan Pemeriksaan Atas Prakarsa Sendiri dengan PJ asisten Ombudsman atas irawa untuk memberikan penguatan atas indikasi maladministrasi yang muncul, terutama terkait ketidaksesuaian antara peraturan pelaksana dan norma hukum yang lebih tinggi," ungkap Ismu Iskandar, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sulsel.
Ia juga menghimbau kepada Dinas Pendidikan untuk segera melakukan sosialisasi secara masif dan terbuka terhadap masyarakat terkait perubahan ketentuan ini, termasuk transparansi dalam penyelenggaraan Tes Potensi Akademik dan penjaminan integritas sistem digital yang digunakan dalam proses seleksi.
Ismu menekankan pentingnya partisipasi publik dalam setiap tahapan pelaksanaan SPMB, serta meminta sekolah dan pemerintah daerah mengedepankan prinsip nondiskriminasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan.
"Tujuan dari kebijakan zonasi dan afirmasi dalam PPDB adalah pemerataan akses, bukan penyeragaman input berdasarkan prestasi semata. Kami berharap agar pihak terkait bisa memberi justifikasi yang memadai dan sistem SPMB tahun ini bisa berjalan lebih baik dari tahun sebelumnya," pungkasnya.(*)