Tantangan Mewujudkan Layanan Tanpa Pamrih

PEMENUHAN hak dasar masyarakat melalui pelayanan publik yang maksimal adalah tugas fundamental negara dalam mewujudkan kesejahteraan. Namun, Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, realitas menunjukkan pelayanan publik masih kerap dipahami sebagai bentuk pemberian negara yang harus dibalas ucapan terima kasih oleh masyarakat, alih-alih sebagai hak konstitusional warga negara yang wajib dipenuhi.
Paradigma ini harus segera diubah karena sesungguhnya ketika masyarakat mengajukan permohonan layanan, mereka hanya meminta hak yang sudah seharusnya mereka dapatkan.
Permasalahan yang terjadi saat ini adalah masih lemahnya kesadaran aparatur penyelenggara pelayanan publik terhadap prinsip bahwa pelayanan tersebut adalah hak masyarakat. Tidak jarang masyarakat dihadapkan dengan birokrasi proses yang rumit, informasi yang tidak jelas, hingga aparatur yang sering kali mengabaikan prosedur pelayanan yang seharusnya.
Fenomena lambatnya layanan, diskriminasi terhadap kelompok tertentu, dan panjangnya proses yang harus dilalui masih sangat sering ditemukan, hal tersebut tampak jelas menciptakan perbedaan antara regulasi dan realita di lapangan.
//Memahami Pelayanan Publik
Definisi pelayanan publik sejatinya telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam Pasal 1 ayat (1), dijelaskan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi setiap warga negara dan penduduk lainnya atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Artinya, pelayanan publik merupakan bentuk kewajiban negara dalam memenuhi hak warga negara secara setara dan adil.
Sayangnya, ketika dibandingkan dengan kondisi riil di lapangan, masih banyak penyelenggara pelayanan publik yang belum menjalankan kewajiban ini secara optimal. Layanan yang lambat, tidak transparan, dan diskriminatif masih sering ditemukan, mencerminkan bahwa semangat undang-undang belum sepenuhnya menjadi landasan dalam praktik birokrasi. Hal ini memperkuat pandangan bahwa pelayanan publik masih dipahami sebagai bentuk kebaikan hati negara, bukan sebagai pemenuhan hak warga negara yang dijamin secara konstitusional.
Sebagai seorang mahasiswa yang magang di Kantor Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Penulis secara langsung melihat keluh kesah masyarakat Bangka Belitung yang membutuhkan pelayanan publik namun tidak direalisasikan dengan baik oleh penyelenggara.
Permasalahan Malaadministrasi yang dilaporkan cenderung sama dan berulang dari tahun ke tahun, mulai dari lamanya proses penanganan aduan yang bahkan bisa memakan waktu bertahun-tahun, informasi layanan yang tidak transparan, hingga perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tertentu.
Hal ini sering kali menjadi modus oknum aparatur penyelenggara pelayanan publik untuk mendapatkan gratifikasi atau imbalan. Fakta-fakta ini memperkuat bahwa persoalan pelayanan publik bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan sudah menyentuh persoalan sistematik yang harus segera dibenahi.
Sebagai contoh nyata, Perwakilan Ombudsman RI Kepulauan Bangka Belitung menerima laporan masyarakat yang mengalami hambatan bertahun-tahun dalam penerbitan surat penting terkait lahan miliknya, secara konsisten diwarnai dengan alasan sengketa lahan fiktif dan pembebanan biaya tidak resmi untuk pengukuran lapangan.
Meskipun pemohon telah mengakomodasi pihak yang dituduh sebagai penyebab sengketa dan bahkan mengeluarkan uang untuk akses jalan, surat tersebut baru diterbitkan setelah pemohon menjanjikan sejumlah uang sebagai "jasa". Setelah penyerahan uang tersebut, terungkap bahwa surat tersebut sudah ada jauh sebelum janji uang diberikan, mengindikasikan adanya penahanan dokumen secara sengaja.
Selain itu, terdapat perbedaan luas lahan yang merugikan pemohon dalam surat yang diterbitkan. Setelah penerbitan surat, oknum terkait terus-menerus meminta uang tambahan, mengabaikan keberatan pemohon. Praktik semacam ini sangat merugikan masyarakat karena menyebabkan pelayanan publik menjadi terhambat dan tidak transparan.
Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan terkikis, menciptakan lingkungan di mana korupsi dan praktik pungutan liar tumbuh subur, menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
//Upaya Pemberantasan Malaadminitrasi
Sudah saatnya para penyelenggara layanan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung kembali menempatkan prinsip ini sebagai pijakan utama dalam setiap kebijakan dan tindakan pelayanan. Tanpa kesadaran tersebut, negara akan kehilangan esensinya sebagai pelayan rakyat. Untuk mencegah dan mengatasi praktik malaadministrasi dalam pelayanan publik, negara telah menetapkan sejumlah regulasi pengawasan dan sanksi. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang memberi kewenangan kepada lembaga ini untuk menerima, memeriksa, dan menindaklanjuti laporan masyarakat atas dugaan malaadministrasi.
Selanjutnya Sesuai dengan Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia Pasal 1 angka 3 Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Sesuai dengan ketentuan Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2023 Pasal 5 Tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan, Bentuk-bentuk malaadminitrasi 1. perilaku atau perbuatan melawan hukum; 2. penyalahgunaan wewenang; 3. kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum; 4. penundaan berlarut; 5. tidak memberikan pelayana.
Kemudian yang ke-6. tidak kompeten; 7. penyimpangan prosedur; 8. permintaan atau penerimaan imbalan; 9. tidak patut; 10. Berpihak; 11. Diskriminasi; 12. konflik kepentingan.
Perlu diingatkan lagi, masyarakat tidak hanya berhak menuntut pelayanan yang baik, tetapi juga memiliki dasar hukum untuk melapor ketika haknya dilanggar. Oleh karna itu Penegakan sanksi terhadap Setiap Malaadministrasi juga menjadi penting agar kepercayaan publik terhadap layanan negara dapat pulih. Ini bukan lagi tentang formalitas administratif, melainkan tentang mewujudkan keadilan dan kepastian hak bagi seluruh warga Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
//Tantangan Perbaikan Layanan
Untuk mengubah fenomena ini, diperlukan langkah-langkah konkret dan komprehensif. Pertama, peningkatan kesadaran dan kapasitas aparatur adalah kunci utama. Pelatihan intensif mengenai prinsip-prinsip pelayanan publik, etika birokrasi, serta hak-hak masyarakat harus menjadi agenda rutin.
Aparatur perlu memahami bahwa setiap interaksi dengan masyarakat adalah kesempatan untuk menegaskan komitmen negara dalam melayani, bukan sekadar menjalankan tugas administratif. Hal ini mencakup pemahaman mendalam tentang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 dan regulasi turunannya, sehingga mereka dapat bekerja sesuai koridor hukum dan menghindari praktik malaadministrasi.
Kedua, transparansi dan akuntabilitas harus diperkuat secara signifikan. Ini berarti menyediakan informasi yang jelas dan mudah diakses mengenai prosedur, persyaratan, waktu penyelesaian, dan biaya layanan. Platform digital dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menyebarkan informasi ini dan memfasilitasi pengaduan masyarakat.
Mekanisme pengawasan internal yang efektif, ditambah dengan penguatan peran lembaga eksternal seperti Ombudsman RI dalam mengawasi dan menangani kasus malaadministrasi yang terjadi, sangat penting untuk memastikan setiap laporan ditindaklanjuti secara cepat dan tuntas.
Penegakan sanksi yang tegas terhadap aparatur yang terbukti melakukan pelanggaran adalah langkah krusial untuk membangun kepercayaan publik dan mencegah terulangnya malaadministrasi. Kasus seperti lambatnya penanganan harus menjadi momentum untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem secara menyeluruh, memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum yang menjadi haknya.
Sudah saatnya penyelenggaraan memahami bahwa pelayanan publik adalah "pemberian" semata, menuju pemenuhan hak konstitusional warga negara yang melekat dan wajib dipenuhi oleh negara.
Kesadaran ini harus meresap dari level perumus kebijakan hingga aparatur pelaksana di lapangan. Ketika masyarakat menyuarakan keluhan, itu bukan permintaan belas kasihan, melainkan penegasan akan hak mereka yang sering kali terabaikan, seperti yang terbukti dalam kasus lamanya penanganan status lahan pemakaman yang esensial bagi warga.
Untuk mewujudkan transformasi ini, peningkatan kapasitas dan integritas aparatur mutlak diperlukan, disertai dengan penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas secara menyeluruh.
Piter Tri Prasetyo dalam jurnalnya yang berjudul Analisis Kinerja Pemerintah Melalui Manajemen Pelayanan Publik Terhadap Masyarakat Di Sumatra Selatan menjelaskan bahwa “transparansi dan akuntabilitas menjadi faktor penting dalam kinerja pemerintah daerah.
Jika pemerintah terbuka terhadap proses pelayanan dan mampu mempertanggungjawabkan kebijakannya, maka akan meningkatkan legitimasi publik.†(Prasetio dan Kurniati,2025). Namun, reformasi ini tidak akan lengkap tanpa penegakan hukum yang tegas. Regulasi seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI telah menyediakan kerangka hukum yang jelas, tidak hanya untuk menjamin hak masyarakat, tetapi juga untuk menjatuhkan sanksi bagi setiap bentuk maladministrasi dari penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, hingga diskriminasi.
Sanksi administratif hingga potensi pidana bukanlah sekadar formalitas, melainkan instrumen krusial untuk menciptakan efek deterens (efek gentar) dan memulihkan kepercayaan publik. Pada akhirnya, mewujudkan pelayanan publik yang maksimal di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bukan hanya tentang memperbaiki prosedur, melainkan meneguhkan kembali esensi negara sebagai pelayan rakyat, demi terciptanya keadilan dan kepastian hukum bagi setiap warga negara.
Oleh Dicky Wahyudi
Mahasiswa Universitas Pertiba/ Magang di Perwakilan Ombudsman Bangka Belitung








