Refleksi 25 Tahun Babel: Mozaik Budaya Sebagai Cermin Perbaikan Pelayanan Publik

HUT ke-25 Tahun Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) yang bertemakan "Mozaik Dialektika Budaya" menghadirkan momentum refleksi terhadap jalannya pemerintahan termasuk pelayanan publik kepada masyarakat. Refleksi sejauh mana pelayanan publik sebagai wajah negara telah benar-benar hadir dan mencerminkan nilai-nilai yang menjadi identitas Babel?
Budaya Sebagai Cermin Pelayanan Publik
"Mozaik Dialektika Budaya" memuat pesan filosofis yang sangat relevan untuk pelayanan publik. Bahwa akar identitas masyarakat Babel lahir dari perjumpaan antaretnis, dari toleransi, dari gotong royong, dari integritas moral, dan dari rasa hormat pada nilai-nilai adat, serta menjunjung tinggi keadilan. Dalam konteks pelayanan publik, budaya bukan hanya ornamen estetika, ini adalah prinsip moral. Mengisyaratkan bahwa pemimpin harus mendengarkan suara rakyat, bukan menghindarinya. Budaya juga mengajarkan transparansi dan rasa malu ketika amanah tidak ditunaikan dengan benar.
Lalu kita harus bertanya, mengapa nilai-nilai budaya itu belum sepenuhnya tercermin dalam pelayanan publik kita? Mengapa masih ada masyarakat yang merasa dipingpong antarinstansi? Mengapa administrasi masih berbelit? Mengapa informasi tidak selalu mudah diakses? Mengapa petugas layanan kadang tampak tidak memiliki empati yang cukup? Mengapa masih ada diskriminasi dan ketidakadilan dalam mengakses layanan? Mengapa masih ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oknum tertentu?
Kita singkap jejak pengaduan masyarakat perihal pelayanan publik di Babel. Menurut data Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mencatat pada tahun 2022 terdapat pengaduan sebanyak 1.242, tahun 2023 pengaduan sebanyak 1.328, dan tahun 2024 pengaduan sebanyak 1.312. Data ini memperlihatkan tren meningkat dari 2022 ke 2023, kemudian sedikit turun namun tetap tinggi pada 2024. Secara analitis, tren ini bukan sekadar statistik, namun refleksi kondisi tata kelola pelayanan publik. Di satu sisi, peningkatan laporan adalah sinyal positif bahwa masyarakat semakin sadar akan haknya, semakin berani mengadu, semakin percaya bahwa masyarakat dapat memperjuangkan keadilan pelayanan yang menandakan tumbuhnya partisipasi publik. Namun di sisi lain, tren stagnan tinggi ini juga merupakan indikasi adanya masalah pelayanan publik yang berulang dan belum terselesaikan secara sistemik. Bila masalah yang sama terus muncul setiap tahun maka ini menunjukkan bahwa perbaikan belum menyentuh akar persoalan.
Strategi Humanis Untuk Pelayanan Publik
Jika kita telisik dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Babel Tahun 2025 - 2029 yang memiliki visi "Babel Berdaya Saing Berbudaya, Mandiri dan Sejahtera" ada satu bab penting yang menjadi inti refleksi pelayanan publik yakni transformasi tata kelola pemerintahan dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Di sinilah RPJMD memainkan fungsi pentinya menjadi kompas reformasi pelayanan publik Babel lima tahun kedepan.
RPJMD Babel Tahun 2025 - 2029 menandai beberapa masalah mendasar birokrasi yang ada di Babel seperti kompetensi Aparatur Sipil Negara (ASN) belum merata, sistem merit belum berjalan mulus, budaya kerja masih konservatif dan kurang inovatif, ego sektoral antar instansi masih tinggi, dan koordinasi pelayanan publik belum terintegrasi. Atas masalah tersebut, RPJMD Babel Tahun 2025 - 2029 menarasikan komitmen kuat untuk membangun pelayanan publik yang efektif, transparan, dan akuntabel. Tentunya untuk membawa Babel dari sekadar provinsi yang kaya budaya menjadi provinsi yang unggul dalam pelayanan publik, diperlukan strategi yang bukan hanya teknis, tetapi juga humanis.
Pertama, membangun budaya melayani dari hati. Pelayanan publik tidak boleh lagi dipandang sekadar alur administratif. Babel membutuhkan aparatur atau petugas pelayanan yang memahami bahwa setiap warga datang membawa kebutuhan, kecemasan, dan harapan. RPJMD menyebutkan bahwa penguatan SDM merupakan fondasi transformasi tahap pertama 2025-2029. Ini juga mencakup membangun karakter aparatur atau petugas pelayanan yang penuh integritas, empatik, komunikatif, dan berorientasi pada solusi. Budaya melayani dari hati artinya petugas pelayanan melihat masyarakat bukan sebagai pemohon, tetapi sebagai sesama manusia yang memiliki hak atas pelayanan cepat, jelas, dan manusiawi. Pendekatan ini menjadi makin relevan ketika provinsi ingin memperbaiki skor indeks pelayanan publik dan indeks reformasi birokrasi. meningkatkan kapasitas petugas pelayanan. Petugas pelayanan adalah wajah pemerintah, sehingga kualitas layanan ditentukan oleh kualitas interaksinya dengan masyarakat.
Kedua, menyederhanakan prosedur layanan. Banyak masyarakat bukan marah karena prosesnya lama, tetapi karena prosedurnya kurang jelas. Berdasarkan evaluasi pelayanan publik dalam RPJMD Babel Tahun 2025 - 2029 berbagai layanan masih menunjukkan ketidakterpaduan, kerumitan birokrasi, serta ketidakseragaman Standar Operasional Prosedur (SOP) antar unit pelayanan. Penyederhanaan disini mencakup, SOP yang singkat dan transparan, Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang mudah diakses masyarakat, informasi biaya, waktu penyelesaian, dan persyaratan yang dipublikasikan secara terbuka. Kesederhanaan adalah bentuk penghormatan terhadap waktu dan energi masyarakat, sekaligus langkah konkrit meningkatkan kepercayaan publik.
Ketiga, integrasi digital. Transformasi digital Babel masih menghadapi tantangan, di antaranya keterbatasan infrastruktur, sebaran blank spot, dan sistem aplikasi yang berjalan sendiri-sendiri tanpa integrasi. Strategi ke depan harus berfokus pada satu portal pelayanan publik yang terintegrasi lintas dinas, tidak lagi membangun aplikasi sektoral yang terpisah-pisah, pemanfaatan data terpadu sesuai prinsip Satu Data Indonesia, penghapusan kewajiban membawa berkas berulang-ulang, digitalisasi tidak boleh hanya menjadi proyek teknologi, tetapi alat memudahkan manusia. Dengan digitalisasi yang terhubung, masyarakat hanya cukup sekali mengunggah identitas, dan seluruh layanan dapat mengenalinya tanpa repetisi.
Keempat, menjadikan data Ombudsman sebagai alarm resmi daerah. Data menjadi hal penting sebagai dasar penyusunan kebijakan, evaluasi, serta perbaikan kinerja pelayanan publik. Laporan Ombudsman mengenai aduan masyarakat harus menjadi alarm resmi yang memicu tindakan cepat pemerintah daerah. Data Ombudsman dapat berperan sebagai, detektor dini adanya maladministrasi, sumber evaluasi kinerja suatu instansi, dan dasar penetapan prioritas intervensi pelayanan. Dengan mekanisme responsif, pemerintah dapat mencegah masalah kecil menjadi kegagalan layanan publik yang lebih besar.
Kelima, membuka ruang dialog publik berbasis budaya lokal. Bangka Belitung memiliki modal sosial yang kuat yakni budaya musyawarah, ruang dialog komunitas, dan jejaring sosial berbasis desa dan dusun. Dalam RPJMD Babel Tahun 2025 - 2029 budaya lokal disebut sebagai identitas dan kekuatan sosial yang harus terus diberdayakan dalam transformasi pemerintahan. Dialog publik dapat dikembangkan melalui forum layanan publik di kecamatan dan desa, diskusi tematik dengan komunitas budaya, tokoh agama, pemuda, dan perempuan, musrenbang yang lebih partisipatif dan mudah diikuti. Pendekatan ini bukan hanya teknis, tetapi humanis dan sesuai karakter masyarakat Babel yang harmonis, bergotong-royong, dan menjunjung kebersamaan.
Komitmen Bersama
Setiap pengaduan masyarakat adalah potongan mozaik dan sebuah fragmen yang memberi warna, sekaligus mengingatkan bahwa masih ada yang harus kita perbaiki. Kita semua mendambakan ruang pemerintahan yang lebih dekat, lebih sensitif, dan lebih mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Di usia 25 tahun ini merupakan ruang evaluasi kolektif. Momentum dan kesempatan emas untuk Pemerintah Babel mengambil langkah besar dalam menjembatani nilai budaya, suara masyarakat, dan kebijakan publik menjadi satu arah perubahan yang kokoh. Kesempatan menggambar mozaik masa depan sebagai
sebuah masa depan di mana pelayanan publik tidak hanya efisien, tetapi juga manusiawi,
bukan hanya cepat, tetapi juga berintegritas,
bukan hanya bebas maladministrasi, tetapi juga mencerminkan nilai budaya daerah.
Kini yang dibutuhkan adalah komitmen bersama. Komitmen pemerintah untuk melaksanakan reformasi birokrasi secara konsisten, komitmen aparatur untuk menempatkan pelayanan sebagai panggilan moral., komitmen masyarakat untuk menjadi bagian dari pengawasan dan perbaikan, serta komitmen budaya untuk membimbing. Jika semua bergerak bersama, maka aduan yang tinggi bukan lagi tanda kegagalan, melainkan energi perubahan. Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian untuk berubah, dan ketulusan untuk melayani.
Selamat HUT ke-25, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Semoga refleksi ini menjadi langkah menuju pelayanan publik yang semakin bermartabat, inklusif, dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat. (ZN)
Oleh: Zennia Yulanda
Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung








