Rasionalisasi Sanksi sebagai Opsi Solusi
![](content/images/pwk_media/9_20250109_091532.jpg)
PELAYANAN publik yang prima adalah suatu keharusan. Namun, saat ini sepertinya terlalu jauh jika mengharapkan hal yang demikian. Masih banyak variabel yang menjadi penghambat terwujudnya pelayanan publik prima, di antaranya masih rendahnya budaya kepatuhan penyelenggara atas regulasi yang telah ditetapkan, komitmen penyelenggara yang tidak sungguh-sungguh, budaya kerja yang tidak berbasis pada kesungguhan melayani, minimnya literasi masyarakat sebagai pengguna layanan publik, partisipasi masyarakat yang kurang maksimal, dan masih banyak variabel lainnya.
Namun, satu hal yang sangat krusial dan menyita perhatian, yakni masih rendahnya budaya kepatuhan penyelenggara atas regulasi yang telah ditetapkan. Idealnya ketika suatu regulasi ditetapkan adalah wajib hukumnya bagi penyelenggara ataupun pelaksana untuk mematuhi dan melaksanakan setiap ketentuan. Lalu bagaimana faktanya, apakah sejak diundangkannya UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik pada tanggal 18 Juli 2009 seluruh ketentuan yang diatur sudah dilaksanakan sepenuhnya?
Seputar regulasi pelayanan publik
Praktis sudah 15 tahun yang lalu UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik diterbitkan. Dalam penjelasannya, UU 25/2009 tersebut hadir sebagai suatu konsepsi sistem pelayanan publik yang berisi nilai, persepsi, dan acuan perilaku yang mampu mewujudkan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dapat diterapkan sehingga masyarakat memperoleh pelayanan sesuai dengan harapan dan cita-cita tujuan nasional.
Banyak hal yang diatur dalam undang-undang tersebut mulai dari a. pengertian dan batasan penyelenggaraan pelayanan publik; b. asas, tujuan, dan ruang lingkup penyelenggaraan pelayanan publik; c. pembinaan dan penataan pelayanan publik; d. hak, kewajiban, dan larangan bagi seluruh pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pelayanan publik; e. aspek penyelenggaraan pelayanan publik yang meliputi standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi, sarana dan prasarana, biaya/tarif pelayanan, pengelolaan pengaduan, dan penilaian kinerja; f. peran serta masyarakat; g. penyelesaian pengaduan dalam penyelenggaraan pelayanan; dan h. sanksi.
Sejak diundangkannya UU 25/2009, isu kepatuhan penyelenggara/pelaksana atas regulasi yang telah ditetapkan menjadi isu yang krusial. Berdasarkan hasil pengawasan Ombudsman, masih banyak penyelenggara/pelaksana yang masih belum patuh atas ketentuan yang ada. Lihat saja pada kepatuhan pemenuhan standar pelayanan publik, masih banyak penyelenggara yang belum patuh untuk melengkapi setiap komponen standar pelayanan publik yang telah ditetapkan.
Melihat fenomena demikian, mulai dari tahun 2015, Ombudsman Republik Indonesia gencar melakukan survei kepatuhan untuk memotret tingkat kepatuhan penyelenggara atas pelaksanaan UU 25/2009. Pelan tetapi pasti progres perbaikan memang sudah mulai tampak, namun yang menjadi perdebatan selanjutnya opsi apa yang bisa lebih cepat untuk mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas secara cepat. Apakah perlu terus dilakukan pembekalan secara bertahap kepada seluruh penyelenggara/pelaksana tentang pelayanan publik yang prima? Atau apakah memang diperlukan pemberian sanksi yang tegas bagi penyelenggara/pelaksana yang melakukan malaadministrasi guna percepatan pelayanan publik yang berkualitas?
Mengenal sanksi dalam pelayanan publik
Banyak cara untuk percepatan implementasi pelayanan publik yang berkualitas. Namun, salah satu cara yang dipandang cukup radikal yakni penerapan sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi pidana dalam pelayanan publik. Henry Campbell Black dalam bukunya yang berjudul Black's Law Dictionary with Pronunciations, Fifth Edition, (St Paul Minn: West Publishing, 1979), hlm. 1203 merumuskan sanksi sebagai bagian dari hukum yang dirancang untuk mengamankan penegakan hukum dengan menjatuhkan hukuman atas pelanggarannya atau menawarkan ganjaran atas ketaatannya.
Menurut Wicipto Setiadi (2009) ada beberapa tujuan pencantuman dan penerapan ketentuan sanksi dalam peraturan perundang-undangan, yaitu pertama sebagai upaya penegakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, memberikan hukuman bagi siapa pun yang melakukan pelanggaran atas suatu norma peraturan perundang-undangan. Ketiga, memberikan efek jera kepada pelaku pelanggar. Dan keempat, mencegah pihak lain untuk melakukan pelanggaran hukum. Berdasarkan uraian tersebut, secara praktiknya instrumen sanksi adalah salah satu solusi terbaik dalam mengawal terselenggaranya ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika kita baca secara keseluruhan, secara substansi pengaturan berkaitan dengan sanksi dalam pelayanan publik sudah sangat detail diatur dalam UU 25/2009. Perlu diketahui juga bahwa pengaturan sanksi tersebut selain sebagai pengingat kepada setiap penyelenggara/pelaksana, dapat pula dipandang sebagai bentuk kesungguhan dari negara untuk segera mewujudkan pelayanan yang prima kepada masyarakat.
Bahkan jika diurai lebih dalam, ada 10 jenis sanksi yang diatur dalam undang-undang tersebut mulai dari 1. teguran tertulis; 2. penurunan gaji; 3. pembebasan dari jabatan; 4. penurunan pangkat; 5. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri; 6. pemberhentian tidak dengan hormat; 7. pembekuan misi dan/atau izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah; 8. sanksi pidana; 9. ganti rugi terhadap korban; 10. denda administrasi.
Dalam UU 25/2009 sebenarnya sangat banyak bentuk sanksi yang bisa diberikan jika terdapat pelanggaran dalam pelayanan publik. Sebenarnya cukup banyak bentuk pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi dalam undang-undang tersebut, namun dalam praktiknya terdapat banyak bentuk sanksi yang bisa diterapkan. Misalnya, jika penyelenggara/pelaksana tidak melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan dapat diberikan sanksi berupa teguran tertulis sampai dengan pembebasan jabatan (lihat Pasal 54 ayat 2 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik).
Lalu, jika penyelenggara tidak menempatkan pelaksana yang kompeten atau jika tidak memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu (disabilitas) dapat dikenakan sanksi berupa penurunan gaji (lihat Pasal 54 ayat 5 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik). Ada lagi bentuk sanksi berupa pembebasan dari jabatan yang dikenakan kepada pelaksana yang tidak memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (lihat Pasal 54 ayat 7 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik).
Lanjut ke bentuk sanksi yang cukup berat, penyelenggara pelayanan publik yang tidak menyusun dan menetapkan standar pelayanan dapat diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri (lihat Pasal 54 ayat 8 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik). Dan masih banyak lagi bentuk sanksi yang bisa dikenakan dalam undang-undang tersebut. Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana kondisi saat ini? Apakah pengaturan sanksi tersebut sudah diterapkan?
Tantangan dan dialektika dalam penjatuhan sanksi
Implementasi pengaturan sanksi dalam UU 25/2009 dapat dikatakan masih jauh dari kata optimal. Bahkan penulis meyakini bahwa tidak banyak penyelenggara/pelaksana yang memahami bentuk-bentuk sanksi jika terdapat pelanggaran dalam setiap ketentuan UU 25/2009. Lalu bagaimana seharusnya jika ingin penyelenggara/pelaksana dapat lebih memahami bentuk sanksi tersebut?
Sekurang-kurangnya, terdapat dua strategi yang bisa dilakukan, pertama melakukan serangkaian upaya peningkatan budaya kepatuhan. Bentuknya sederhana saja, lakukan kegiatan internalisasi rutin seputar UU 25/2009. Kedua, optimalisasi peran pengawas internal yang tegas.
Memang dalam penjatuhan sanksi bagi penyelenggara/pelaksana yang melanggar ketentuan UU 25/2009 tidak semudah yang terdengar. Banyak hal yang harus diperhatikan, mulai dari proses pembuktian pelanggaran yang wajib dilakukan oleh pengawas internal. Lalu pelibatan badan kepegawaian daerah jika penyelenggara/pelaksana tersebut adalah lembaga pemerintahan. Dan pada akhirnya diserahkan keputusannya kepada kepala daerah selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK) untuk memutuskan bentuk sanksi yang sesuai dengan bentuk pelanggarannya. Namun, dalam praktiknya ternyata banyak sekali tantangan implementasinya mulai dari komitmen kepala daerah sampai dengan pengaturan teknis lainnya.
Secara kelembagaan, peran pengawas internal sebenarnya sudah cukup bagus dalam mencegah terjadinya pelanggaran. Namun, sering kali jika sudah berbicara tentang penjatuhan sanksi, pengawas internal akan cenderung permisif kepada penyelanggara/pelaksana. Berdasarkan pengalaman penulis selama bekerja di Ombudsman, sangat sedikit pengawas internal yang berani bersikap tegas dan melakukan proses pemeriksaan yang mendalam jika terdapat malaadministrasi/pelanggaran dalam pelayanan publik.
Begitu juga dengan komitmen kepala daerah selaku pejabat pembina kepegawaian. Walaupun bentuk pelanggarannya sudah terang benderang, terkadang masih saja ada kepala daerah yang masih memaafkan pelanggaran tersebut dan meminta pelanggar hanya membuat surat pernyataan komitmen. Memang masih banyak perdebatan yang bisa muncul tentang sikap-sikap tersebut, namun pada akhirnya penjatuhan sanksi harus mulai tegas dilakukan jika ingin perbaikan.
Melihat fenomena dan dialektika di atas, memang faktanya implementasi penjatuhan sanksi bagi penyelenggara/pelaksana yang melanggar ketentuan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik masih belum optimal. Tetapi satu hal yang perlu kita sepakati bersama bahwa penjatuhan sanksi sebenarnya adalah salah satu opsi solusi perbaikan kualitas layanan.
Memang benar masih banyak cara lain, tetapi sering kali pendekatan sanksi jauh lebih efektif dan cepat karena penjatuhan sanksi adalah upaya penegakan ketentuan peraturan perundang-undangan, memberikan efek jera kepada pelaku pelanggar dan mencegah pihak lain untuk melakukan pelanggaran yang serupa. Semoga para pemimpin penyelenggara pelayanan publik dan pengawas internal dapat juga memperhatikan opsi sanksi sebagai solusi percepatan pelayanan publik yang berkualitas. (*)