• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Quo Vadis Layanan Pendidikan di Negeri Serumpun Sebalai
PERWAKILAN: KEPULAUAN BANGKA BELITUNG • Senin, 19/05/2025 •
 
Leny Suviya Tantri (Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)

Quo Vadis Layanan Pendidikan di Negeri Serumpun Sebalai  

Oleh: Leny Suviya Tantri - Asisten Ombudsman Bangka Belitung

BEBERAPA waktu yang lalu kita telah memperingati Hari Pendidikan Nasional. Hari Pendidikan Nasional menjadi momen penting untuk merefleksikan kembali perjalanan dan tantangan dunia pendidikan di tanah air. Peringatan ini tidak hanya menjadi seremoni, tetapi juga menjadi pengingat bagi seluruh elemen bangsa bahwa pendidikan adalah kunci utama menuju kemajuan dan kesejahteraan.

Bagi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, refleksi ini memiliki makna yang sangat mendalam. Sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam, budaya, dan potensi pariwisata, Bangka Belitung memiliki peluang besar untuk berkembang lebih cepat dibandingkan daerah lain. Namun, semua potensi itu hanya bisa terwujud apabila dibarengi dengan kualitas pendidikan yang merata, inklusif, dan relevan dengan kebutuhan zaman.

Bangka Belitung harus meneguhkan komitmennya untuk terus memperkuat sektor pendidikan sebagai fondasi utama pembangunan daerah. Tanpa pendidikan yang kuat, kekayaan alam dan pariwisata yang dimiliki hanya akan menjadi cerita yang tidak berdampak bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Oleh karena itu, selain untuk mengenang jasa Ki Hajar Dewantara, peringatan Hari Pendidikan Nasional juga menjadi momen reflektif bagi kita semua. Sudahkah pemerintah benar-benar serius dalam menyediakan layanan pendidikan yang memadai, khususnya di daerah seperti Bangka Belitung?

Dilema pendidikan dasar gratis

Pemerintah telah menyusun berbagai kebijakan yang menegaskan bahwa pendidikan dasar harus dapat diakses secara gratis. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap anak yang mengenyam pendidikan dasar atau program wajib belajar berhak mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya. Bahkan pada Pasal 49 disebutkan bahwa "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)".

Dalam pelaksanaannya, pemerintah telah menggulirkan program dari amanat konstitusi tersebut seperti penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) untuk mendukung kebijakan pendidikan gratis ini. Namun, sebagaimana banyak terjadi di daerah, janji pendidikan gratis ini belum sepenuhnya sejalan dengan kenyataan di lapangan.

Peluncuran program dana bos yang seharusnya menjadi pendukung solusi pendanaan dan menjadi katalisator dalam dunia pendidikan justru dipersepsikan sebagai satu-satunya sumber pendanaan pendidikan. Dengan demikian, keterbatasan dana BOS yang diberikan oleh pemerintah memunculkan problematika baru yaitu potensi malaadministrasi pungutan liar di sekolah. Dana BOS sejatinya merupakan program yang dirancang oleh pemerintah untuk tujuan memperluas akses pendidikan yang merata dan berkualitas khususnya pada pendidikan dasar dan menengah. Program ini merupakan bentuk komitmen dari pemerintah untuk meringankan beban biaya pendidikan khususnya bagi masyarakat yang kurang mampu.

Dana BOS yang dikelola secara efektif, transparan, dan akuntabel akan berdampak pada pengurangan angka putus sekolah dan pemerataan pendidikan. Menurut data dari Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemendikbudristek, penyebab putus sekolah terbesar pada jenjang pendidikan dasar adalah faktor ekonomi dan keterbatasan akses pendidikan. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan pengelolaan dana BOS sesuai dengan prinsip fleksibilitas, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan transparansi agar dana tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhan sekolah yang telah dirancang sesuai dengan rencana kegiatan dan anggaran sekolah (RKAS).

Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, laporan masyarakat kepada Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Bangka Belitung terkait pungutan liar di sekolah masih kerap terjadi. Ada kepala sekolah dan guru yang sering kali mengeluhkan dana BOS yang diterima tidak cukup sehingga harus mencari cara untuk menutupi kekurangan biaya operasional dengan melakukan penggalangan dana yang dibebankan kepada wali murid mengingat kebutuhan sekolah tak hanya soal gaji guru, tetapi juga pengadaan alat tulis, kegiatan ekstrakurikuler, pemeliharaan sarana dan prasarana hingga kegiatan siswa lainnya yang semuanya membutuhkan dana tambahan.

Berdasarkan Pasal 23 Ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 63 Tahun 2022, alokasi dana BOS reguler dihitung berdasarkan satuan biaya dana BOS reguler pada masing-masing daerah kemudian dikalikan dengan jumlah peserta didik.

Meskipun pemerintah mengalokasikan Dana BOS untuk seluruh sekolah, skema distribusinya yang berbasis jumlah siswa membuat sekolah-sekolah kecil dengan murid yang sedikit menerima alokasi yang jauh dari memadai sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar operasional sekolah. Akibatnya, beberapa sekolah masih meminta "partisipasi masyarakat" untuk menutupi kebutuhan tersebut.

Jika partisipasi masyarakat yang dimaksud berbentuk sumbangan tidak menjadi masalah. Namun, partisipasi yang terjadi saat ini sering kali berbentuk iuran yang ditetapkan jumlah dan batas waktu pembayarannya. Dengan demikian, menurut Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar, penerimaan biaya pendidikan yang berasal dari wali murid yang bersifat wajib dengan jumlah yang ditetapkan dan ditentukan batas waktunya tergolong sebagai pungutan bukan sumbangan.

Untuk mengatasi kurangnya dana BOS, pihak sekolah seharusnya bekerja sama dengan komite sekolah dan membuat langkah yang kreatif dan inovatif untuk melibatkan partisipasi masyarakat dengan menggalang dana berupa sumbangan dan juga mengajukan proposal kepada alumni maupun perusahaan-perusahaan potensial.

Sudahkah pemerintah serius? Pertanyaan ini menjadi relevan ketika kita melihat fakta di lapangan. Meski kebijakan sudah ada, implementasinya belum sepenuhnya menjawab realitas masyarakat. Banyak sekolah, terutama di wilayah terpencil atau kepulauan, menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Ketimpangan antardaerah pun masih cukup lebar, baik dari segi fasilitas, akses, maupun dukungan pembelajaran. Keseriusan pemerintah seharusnya tidak hanya berhenti pada alokasi anggaran atau peluncuran program, tetapi harus tampak dalam keberpihakan yang nyata terhadap daerah-daerah yang paling membutuhkan.

Konstitusi telah mewajibkan alokasi minimal 20 persen dari APBN dan APBD untuk sektor pendidikan. Ini merupakan langkah besar. Namun yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar dari anggaran tersebut benar-benar dirasakan manfaatnya oleh sekolah dan peserta didik di lapangan? Masih banyak anggaran yang terserap untuk belanja birokrasi dan administrasi, sementara sekolah-sekolah di daerah seperti Bangka Belitung khususnya sekolah-sekolah kecil dengan murid yang sedikit justru kekurangan dana untuk kegiatan belajar, perawatan fasilitas, dan peningkatan mutu pembelajaran. Singkatnya, sering kali alokasi anggaran pendidikan digunakan tidak efektif, terfragmentasi dalam banyak pos yang kurang langsung berdampak pada kualitas pendidikan itu sendiri.

Perlu adanya evaluasi skema distribusi dana BOS oleh pemerintah agar penggunaan dana tersebut dapat lebih ideal sesuai dengan skala prioritas masing-masing sekolah. Pemerintah dapat meningkatkan pengawasan terkait penggunaan dana BOS dan memberikan pelatihan manajemen pengelolaan keuangan bagi kepala sekolah maupun bendahara sekolah. Dengan begitu, harapannya pendidikan dasar gratis benar-benar terlaksana dan menjadi langkah yang solutif untuk mengurangi angka putus sekolah.

Pendidikan bukan hanya sekadar ruang kelas dan buku pelajaran. Pendidikan merupakan pilar pembentukan agent of change untuk menciptakan kemajuan bangsa di masa depan. Pendidikan seharusnya menjadi sektor prioritas yang dikelola dengan penuh keseriusan, profesionalisme, dan kepekaan terhadap realitas sosial.

Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih serius dalam melakukan reformasi menyeluruh pada tata kelola pendidikan, termasuk dalam perencanaan, pendanaan, dan pengawasan. Sementara itu, partisipasi publik terutama orang tua, komite sekolah, dan komunitas pendidikan harus diperkuat sebagai mitra sejajar dalam memajukan sekolah.

Semoga euforia peringatan Hari Pendidikan Nasional yang masih terasa menjadi refleksi semua pemangku kepentingan untuk berkolaborasi mencerdaskan anak-anak Serumpun Sebalai dan menjadikan pendidikan sebagai investasi strategis, bukan sekadar kewajiban administratif. Karena mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah retorika, melainkan tugas bersama yang harus diwujudkan secara nyata. (*)





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...