Potensi Malaadministrasi Dalam Kegiatan Belajar Mengajar

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) adalah jantung pendidikan. Di dalamnya berlangsung interaksi antara guru dan peserta didik untuk mentransfer ilmu pengetahuan, membentuk karakter, sekaligus menanamkan nilai-nilai kehidupan. Namun, KBM bukan sekadar aktivitas rutin di ruang kelas. Lebih jauh dari itu, KBM merupakan bagian dari pelayanan publik. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mendefinisikan pelayanan publik sebagai rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dengan perspektif ini, KBM merupakan bentuk layanan jasa publik yang harus dijalankan secara adil, transparan, akuntabel, dan menjamin terpenuhinya hak-hak peserta didik. Dalam kerangka tersebut, guru berperan tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pelaksana pelayanan publik di bidang pendidikan. Mereka berada di garda terdepan untuk memastikan KBM berlangsung sesuai kurikulum, tanpa diskriminasi, serta bebas dari praktik-praktik yang dapat merugikan peserta didik maupun wali murid. Namun, di tengah idealisme tersebut, apakah praktik KBM dapat dipastikan telah benar-benar terbebas dari potensi maladministrasi?
Aduan Masyarakat: Maladministrasi di Ruang Belajar
Sebagai lembaga negara yang mengawasi pelayanan publik, Ombudsman kerap menerima pengaduan masyarakat terkait penyelenggaraan layanan pendidikan. Tidak sedikit di antaranya berkaitan langsung dengan praktik Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Data Simpel Ombudsman Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menunjukkan bahwa laporan masyarakat terkait substansi pendidikan 60% diantaranya merupakan laporan berulang yang terdiri dari penggadaan buku pengayaan di lingkungan sekolah, pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan hingga penggunaan sarana dan prasarana di sekolah untuk kegiatan les oleh oknum guru.
Pertama, praktik penggunaan buku pengayaan secara aktif di sekolah serta pengadaannya yang melibatkan guru dan tenaga pendidik. Padahal, negara melalui kurikulum nasional sudah menyediakan perangkat ajar resmi berupa buku teks utama yang seharusnya menjadi rujukan pokok pembelajaran. Hal ini juga telah ditegaskan dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Perlu dipahami bahwa penggunaan buku pengayaan memang sah sebagai referensi tambahan, namun tidak boleh dijadikan sebagai rujukan pokok pembelajaran. Praktik yang sering dijumpai saat ini adalah meski tidak secara eksplisit diwajibkan, buku teks utama dari pemerintah jarang digunakan, guru lebih sering menggunakan buku pengayaan tertentu sebagai sumber pembelajaran utama. Akibatnya, orang tua merasa diharuskan membeli buku pengayaan yang sama dengan yang digunakan oleh guru. Bagi wali murid yang kurang mampu hal ini menjadi beban finansial tambahan yang memberatkan. Lebih jauh, praktik ini juga dapat mencederai martabat profesi guru karena menimbulkan stigma bahwa sekolah menjadi sarana komersialisasi karena tak jarang penjualan buku di sekolah melibatkan guru maupun tenaga pendidik. Kondisi semacam ini jelas bertentangan dengan regulasi sebagaimana diatur dalam Pasal 181 huruf d PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yang menegaskan bahwa "Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan".
Kedua, pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 Tentang Pungutan Dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar memang dijelaskan bahwa pendanaan pendidikan dapat bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah maupun masyarakat. Namun, perlu dipahami bahwa untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan. Hingga saat ini Ombudsman masih kerap menerima laporan terkait pungutan dalam satuan pendidikan dasar negeri misalnya pungutan uang kas, perpisahan sekolah, perayaan HUT RI, pembangunan sekolah dan lain sebagainya. Polanya hampir sama disetiap sekolah, yaitu paguyuban wali murid mengkoordinir iuran dengan menetapkan nominal dan jangka waktu pembayaran. Hal ini sebagian besar juga dilakukan dengan sepengetahuan kepala sekolah maupun komite sekolah. Namun, baik kepala sekolah maupun komite sekolah tidak memberikan pemahaman yang benar kepada paguyuban wali murid terkait perbedaan pungutan dan sumbangan sehingga praktek pungutan berkedok iuran masih sering terjadi. Sekolah diperbolehkan meminta bantuan pendanaan pendidikan dari wali murid namun harus berbentuk sumbangan dengan tidak bersifat mengikat, tidak menetapkan nominal maupun jangka waktu pembayarannya. Kurangnya pemahaman terkait hal ini menciptakan distorsi fungsi paguyuban wali murid dalam satuan pendidikan yang seharusnya bertujuan untuk untuk menumbuhkan kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak, memperkuat pendidikan karakter, serta menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan menyenangkan justru berperan menjadi sarana pengumpulan iuran yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Ketiga, les tambahan berbayar yang menggunakan fasilitas sekolah. Guru seolah memiliki "kelas reguler" di pagi hari dan "kelas eksklusif" berbayar di sore hari, yang bisa saja menimbulkan kesenjangan dalam layanan pendidikan. Merujuk pada UU Nomor 14 Tahun 2005, disebutkan bahwa guru memang berhak untuk memperoleh fasilitas sarana dan prasarana yang ada didalam sekolah/atau satuan pendidikan namun untuk menunjang pelaksanaan tugas keprofesionalannya bukan untuk kepentingan pribadi. Selain itu, masih dalam Pasal 181 huruf b PP Nomor 17 Tahun 2010 baik guru maupun tenaga pendidikan tidak boleh memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan. Praktek yang sering dijumpai oleh Ombudsman adalah siswa yang mengikuti les di sekolah akan mendapatkan perlakuan "istimewa" dibandingkan dengan siswa yang tidak mengikuti les. Hal ini tentu menimbulkan kesenjangan sosial antar siswa. Seharusnya jika guru ingin mengadakan les tidak dilakukan dalam lingkup sekolah agar tidak terjadi benturan kepentingan antara tugas dan tanggung jawab profesi serta kepentingan pribadi.
Fenomena-fenomena tersebut menegaskan bahwa ruang belajar kita belum sepenuhnya steril dari praktik maladministrasi. Aduan maupun laporan masyarakat yang diterima Ombudsman menjadi alarm penting bahwa KBM sebagai layanan publik masih rentan terhadap praktik yang tidak sejalan dengan prinsip pelayanan publik, baik karena lemahnya pengawasan maupun karena adanya peluang keuntungan ekonomi di balik aktivitas belajar mengajar.
Rekomendasi Mitigasi Maladministrasi Dalam Proses KBM
Agar hak peserta didik tetap terjamin dan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tidak pudar, perlu adanya langkah mitigasi yang sistematis dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Pertama, bagi kepala sekolah, guru dan tenaga pendidikan. Pelaksanaan KBM harus senantiasa berpedoman pada kurikulum nasional dan tidak menambahkan kewajiban biaya di luar ketentuan. Penjualan buku atau perangkat ajar lain tidak boleh diwajibkan dan dalam pengadaannya tidak boleh dikoordinir oleh guru, tenaga kependidikan, komite sekolah maupun dengan menjadikan paguyuban wali murid sebagai perantara penjualan. Kegiatan les tambahan juga harus dilakukan diluar satuan pendidikan dengan menjaga profesionalitas dan integritas dalam setiap praktik pembelajaran agar tidak terjadi rasa diskriminatif antar siswa. Selain itu, baik kepala sekolah maupun guru wajib memberikan pemahaman secara utuh kepada seluruh warga sekolah khususnya paguyuban wali murid terhadap perbedaan sumbangan dan pungutan agar iuran yang tidak sesuai dengan ketentuan tidak terjadi kembali.
Kedua, bagi pemerintah daerah dan dinas pendidikan. Perlu dilakukan pengawasan berkala terhadap penyelenggaraan KBM di sekolah. Dinas pendidikan harus menyediakan saluran pengaduan yang mudah diakses masyarakat, serta memberikan sanksi tegas apabila ditemukan praktik maladministrasi. Sosialisasi aturan terkait buku ajar dan pungutan sekolah juga perlu digencarkan agar sekolah memiliki pedoman yang jelas dalam bertindak.
Ketiga, bagi orang tua dan masyarakat. Peran serta orang tua melalui komite sekolah sangat penting untuk mewujudkan transparansi. Orang tua tidak boleh segan menyampaikan aspirasi maupun melaporkan dugaan maladministrasi yang terjadi. Partisipasi aktif masyarakat menjadi kontrol sosial yang akan memperkuat fungsi pengawasan formal pemerintah. Dengan langkah-langkah tersebut, KBM dapat kembali pada hakikatnya sebagai ruang pembelajaran yang murni. Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Oleh karena itu, seluruh pemangku kepentingan harus berhati-hati agar praktik maladministrasi tidak lagi menyelinap dalam proses KBM.