• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Pertaruhan Mutu Sekolah di Batam
PERWAKILAN: KEPULAUAN RIAU • Senin, 13/06/2022 •
 
Pertaruhan Mutu Sekolah di Batam

batampos - Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) seperti teror mental yang datang tiap tahun menghampiri sejumlah kepala sekolah negeri di Batam. Bukan menyusun prosedur dan persyaratan penerimaan murid yang membuat repot, tapi permintaan dan tekanan dari berbagai pihak agar kepentingan mereka diakomodir yang jadi beban.

Seorang kepala SMP negeri di Kecamatan Sekupang me-ngungkapkan, banyaknya siswa titipan membuat ia dan koleganya pusing. "Dari anggota DPRD, pejabat Pemko, hingga Dewan Pendidikan. Semua nitip dan maksa minta diakomodir. Kami pusing karena kapasitas sekolah terbatas. Tiap tahun selalu begitu," tuturnya, pekan lalu.

"Belum lagi perintah dari atas, yang minta semua yang daftar harus diterima. Mau nggak mau. Satu kelas bisa 45 siswa," ia menambahkan.

Terbatasnya daya tampung sekolah jadi polemik tak berkesudahan satu dekade terakhir di Batam. Tahun ini, misalnya, berdasarkan data, total usia 6-7 tahun yang akan masuk ke SD negeri berjumlah 23.807 anak. Sedangkan daya tampung SDN hanya 13.572. Artinya, total siswa yang tidak tertampung mencapai 10.235.

Untuk jenjang SMP, kasusnya sama. Siswa yang tamat SD berjumlah 21.204 orang. Namun, jumlah kuota atau daya tampung SMP negeri hanya 12.132.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam, Hendri Arulan, mengatakan bahwa faktor ekonomi selalu jadi alasan utama mayoritas orangtua memaksakan anaknya harus diterima di sekolah negeri.

Selama ini, untuk mengatasi jumlah siswa yang tidak tertampung, ada tiga solusi yang diambil. Pertama, penambahan rombongan belajar (rombel). Sekolah bahkan memanfaatkan ruang yang ada seperti perpustakaan dan laboratorium untuk menampung siswa. Kedua, menambah jumlah kapasitas per kelas dari maksimal 36 siswa menjadi 38-40 siswa.

Terakhir, mendirikan sekolah baru, walaupun belum ada gedung sekolahnya. Alhasil siswa harus menumpang di sekolah terdekat agar bisa mendapatkan pendidikan.

"Jadi, mereka sekolah dulu dengan cara numpang ke sekolah lain, tahun berikutnya baru kami anggarkan untuk membangun gedung sekolah mereka. Tidak sedikit juga yang menggelar sekolah dua sif karena tidak ada ruangan yang bisa dipakai. Mau tidak mau demi menampung dan memuaskan keinginan orangtua," bebernya.

Ia mengakui ada konsekuen-si yang harus ditanggung akibat penerapan kebijakan tersebut. Pertama, menyangkut kenyamanan di kelas yang bisa berpengaruh terhadap konsentrasi dan daya serap siswa terhadap materi yang disampaikan guru.

Muaranya adalah turunnya mutu pendidikan di sekolah negeri. Tidak saja di kalangan siswa. Pihaknya juga harus melakukan upaya yang lebih lagi dalam pemenuhan tenaga guru. Selama ini, setiap usai PPDB kebutuhan guru pasti meningkat. Tak sedikit guru harus diambil dari sekolah lain untuk mengajar di sekolah baru.

"Itu harus dilakukan. Intinya kami tidak menyalahi aturan jam pendidikan yang telah dikeluarkan Kemendikbud terkait batas kewajiban guru mengajar dalam satu minggu," sebutnya.

Terdampaknya mutu pendidikan akibat membeludaknya isi rombongan belajar di tiap sekolah juga disampaikan anggota Komisi IV DPRD Batam, Aman.

"Tentunya hal ini akan mendegradasi kualitas dalam proses belajar dan mengajar di sekolah. Sebab, ketika jumlah siswa sudah terlalu banyak, maka guru yang mengajar pun tidak akan bisa menguasai suatu kelas. Guru juga tidak akan bisa memastikan, materi yang diterangkan kepada siswa," katanya.

Kepala Ombudsman Perwakilan Kepri, Lagat Siadari, juga berpendapat sama. Ia mengatakan, jangan sampai penambahan rombel yang dipaksakan, akhirnya berdampak pada menurunnya kualitas pendidikan.

Contohnya, kata dia, siswa belajar di ruang laboratorium, ruang pustaka bahkan musala.

"Yang pasti, ruangan tersebut sangat tidak cocok untuk proses belajar dan konsentrasi anak tidak penuh saat mendapat pengajaran," katanya.

Ia menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, setiap sekolah negeri memiliki batas maksimal rombel yang harus diikuti mulai SD, SMP dan SMA/SMK. Dimana untuk SD, maksimal 24 rombel (kelas 1-6), artinya setiap kelas hanya untuk 4 rombel. Sedangkan untuk SMP dan SMA/SMK maksimal 27 rombel (kelas 1-3), yang mana setiap sekolah hanya bisa memiliki 9 rombel untuk setiap kelasnya.

Selain banyaknya siswa titipan dari orang-orang berpengaruh, Lagat menduga penambahan rombel dan jumlah siswa adalah akal-akalan kepala sekolah agar bisa mendapat dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang banyak. Sebab, pencairan dana BOS setiap tahunnya dilihat dari jumlah siswa. Semakin banyak siswa, maka dana BOS dan komite semakin besar.

Berlimpahnya dana BOS yang diterima sekolah, justru dikhawatirkan bisa jadi lahan korupsi. Apalagi pengawasaan penggunaan dana BOS oleh Inspektorat Daerah dan pihak terkait sangat lemah.

Hal ini juga yang diduga menjadi acuan kepala sekolah untuk menggunakan dana BOS tidak sesuai peruntukan. Seperti membeli mobil dinas sekolah dan plesiran. Padahal peruntukan dana BOS sudah jelas untuk meningkatkan kualitas siswa dari segi fasilitas dan lainnya.

"Nah, ini yang harus dihilangkan. Jangan terjadi hal yang sama setiap tahunnya. Kasihan lah untuk pendidikan generasi penerus," terang Lagat.

Dijelaskan Lagat, sistem PPDB bisa berjalan dengan baik, apabila kepala sekolah berani menolak pemaksaan atau titipan siswa yang tak memenuhi syarat. Sebab, pemaksaan siswa masuk sekolah tertentu, adalah biang kerok dari permasalahan PPDB setiap tahunnya. Jika semua mengikuti aturan, ia yakin mutu pendidikan di Kepri akan jauh berubah dan berkualitas. Sebab, siswa mendapatkan hak mereka sesuai dengan yang seharusnya. (eggi, eusebius, yashinta, yulitavia, rengga)





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...