Perbedaan Ombudsman Republik Indonesia dengan Ombudsman di Negara Lain

Perbedaan Ombudsman Republik Indonesia dengan Ombudsman di Negara Lain
Oleh: Dida Rizakti Kiswara - Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
SETIAP warga negara berhak mendapatkan pelayanan publik yang adil, transparan, dan akuntabel. Pelayanan publik yang berkualitas merupakan cerminan dari pemerintahan yang baik (good governance). Untuk memastikan hak-hak masyarakat terpenuhi, dibutuhkan mekanisme pengawasan yang efektif terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara. Di sinilah peran Ombudsman menjadi sangat penting. Lembaga ini dibentuk untuk menerima pengaduan masyarakat atas penyimpangan atau malaadministrasi dalam pelayanan publik oleh pemerintah agar sesuai dengan hukum dan prinsip keadilan.
Ombudsman hadir di banyak negara dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda. Meski secara umum memiliki fungsi sebagai pengawas pelayanan publik, kewenangan serta kekuatan hukum dari lembaga ini sangat beragam, tergantung pada sistem hukum, budaya, dan politik masing-masing negara. Di Indonesia yang merupakan negara berkembang, Ombudsman masih cukup baru dan terus mengalami perkembangan sehingga untuk memahami posisi dan efektivitas Ombudsman di Indonesia perlu untuk membandingkannya dengan lembaga sejenis di negara-negara maju yang telah lama menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good governance).
Ombudsman Republik Indonesia atau sering disingkat ORI dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. ORI memiliki kewenangan untuk menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat, melakukan investigasi atas inisiatif sendiri, memanggil pihak terkait, hingga mengeluarkan rekomendasi Ombudsman sebagai saran perbaikan yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding). Rekomendasi tersebut wajib dilaksanakan oleh lembaga yang dilaporkan, dan jika diabaikan, ORI dapat memberikan sanksi administratif, bahkan memproses hukum lebih lanjut apabila terjadi penghalangan pemeriksaan. Cakupan pengawasan ORI meliputi instansi pemerintah pusat dan daerah, lembaga negara, BUMN, BUMD, dan badan swasta yang menjalankan fungsi pelayanan publik.
Selama ini, masyarakat umum masih memiliki persepsi bahwa Ombudsman hanyalah lembaga yang memberikan rekomendasi tanpa kekuatan hukum. Rekomendasi tersebut dianggap tidak mengikat karena tidak memiliki kewenangan untuk memaksa instansi terlapor agar melaksanakannya. Namun, kondisi tersebut kini telah berubah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, rekomendasi Ombudsman kini disertai dengan sanksi administratif bagi pihak yang tidak melaksanakannya. Langkah ini diambil untuk menjamin keadilan bagi masyarakat yang mengalami kerugian.
Penerapan sanksi administratif terhadap rekomendasi Ombudsman ini menunjukkan perbedaan mencolok dengan praktik di beberapa negara lain seperti Swedia, Ethiopia, dan Selandia Baru. Di negara-negara tersebut, rekomendasi Ombudsman hanya bersifat mengikat secara moral. Hal ini dimungkinkan karena tingginya tingkat kesadaran hukum dari lembaga-lembaga publik di sana. Sementara itu, di Indonesia, rekomendasi Ombudsman yang sebelumnya hanya bersifat moral kini diperkuat agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Jika dibandingkan dengan Norwegia, Ombudsman di sana memiliki cakupan wewenang yang bahkan lebih luas. Ombudsman Norwegia, atau dikenal juga Sivilombudsmannen, tidak hanya menangani pelayanan publik umum, tetapi juga memiliki divisi khusus yang menangani isu perlindungan anak, pelayanan kesehatan, serta diskriminasi. Selain itu, mereka dapat mengawasi institusi militer, dan laporan mereka mendapat perhatian serius dari parlemen. Kekuatan moral dan integritas lembaga ini sangat tinggi sehingga meski rekomendasi yang dikeluarkan tidak selalu bersifat mengikat secara hukum, kepatuhan terhadapnya tetap tinggi.
Sementara itu, Denmark juga memiliki lembaga Ombudsman dengan nama Folketingets Ombudsmand yang berada langsung di bawah parlemen. Ombudsman Denmark lebih kuat secara institusional karena kewenangan lembaga ini mencakup pengawasan terhadap seluruh instansi pemerintah, dan memiliki kewenangan yang lebih luas, termasuk untuk memulai penyelidikan secara independen tanpa harus menunggu pengaduan.
Ombudsman Denmark juga memiliki otoritas yang lebih besar dalam memberikan keputusan yang memengaruhi kebijakan pemerintah dan dikenal lebih proaktif dalam menjaga integritas administrasi publik. Peran Ombudsman Denmark lebih diakui di tingkat internasional, sementara Ombudsman Indonesia masih dalam tahap pengembangan dan sering kali terbatas dalam pengaruhnya terhadap perubahan kebijakan pemerintah.
Dengan membandingkan ORI dengan Ombudsman dari negara-negara lain, dapat dilihat bahwa Indonesia memiliki salah satu sistem Ombudsman dengan kekuatan hukum yang cukup tinggi karena sudah dijamin wewenangnya berdasarkan undang-undang dan rekomendasi yang diberikan ORI mengikat secara hukum. Namun, kekuatan tersebut belum sepenuhnya efektif karena masih terbatas pada aspek formal. Tantangan utama justru datang dari pelaksanaan rekomendasi di lapangan, di mana banyak institusi negara yang belum sepenuhnya patuh terhadap rekomendasi ORI, terutama di tingkat daerah.
Selain itu, budaya birokrasi yang masih feodal dan tertutup terhadap pengawasan menjadi penghambat utama efektivitas ORI. Berbeda dengan Ombudsman di beberapa negara-negara maju seperti Denmark dan Norwegia yang mana tingkat kepatuhan instansi pemerintah sudah sangat tinggi sehingga Ombudsman cukup melakukan pendekatan secara moral (morally binding) dalam pelaksanaan rekomendasi.
Beberapa tantangan lain yang dihadapi ORI antara lain rendahnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat, kurangnya dukungan politis dari pemerintah daerah, serta keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran dalam menjalankan fungsi pengawasan yang luas. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan sejumlah solusi strategis.
Pertama, perlu dilakukan penguatan sosialisasi kepada masyarakat mengenai fungsi dan wewenang ORI agar makin banyak laporan yang masuk dan makin tinggi partisipasi publik. Kedua, diperlukan integrasi yang lebih erat antara rekomendasi ORI dengan sistem pengawasan internal pemerintah, seperti Inspektorat dan Kementerian PAN-RB, agar rekomendasi Ombudsman menjadi bagian dari evaluasi kinerja instansi. Ketiga, dibutuhkan penguatan kapasitas internal ORI, baik dari sisi personel, teknologi, maupun koordinasi dengan lembaga lain, agar investigasi malaadministrasi dapat berjalan lebih cepat dan efisien.
Belajar dari negara-negara maju seperti Norwegia dan Denmark, Indonesia juga perlu membangun budaya birokrasi yang lebih terbuka terhadap evaluasi dan pengawasan. Dengan mengombinasikan kekuatan hukum yang sudah dimiliki dengan pembangunan budaya tata kelola yang lebih partisipatif dan transparan, Ombudsman Republik Indonesia dapat menjadi motor penggerak dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dan berkeadilan.