• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Pentingnya Akomodasi Penyandang Disabilitas dalam Pelayanan Publik
PERWAKILAN: KEPULAUAN BANGKA BELITUNG • Selasa, 07/10/2025 •
 

Pernahkah kalian melihat jalur berwarna kuning saat berjalan di trotoar atau melihat jalan miring di sebelah tangga? Fasilitas sederhana itu mungkin sering kita lewati tanpa banyak berpikir, padahal keberadaannya sangat penting bagi penyandang disabilitas. Jalur berwarna kuning membantu teman-teman tunanetra untuk mengetahui arah dan rintangan di depan mereka, sementara jalan miring atau ramp memudahkan pengguna kursi roda, lansia, maupun orang tua yang membawa stroller agar tetap bisa bergerak dengan aman. Kehadiran fasilitas ini merupalan salah satu bentuk akomodasi bagi penyandang disabilitas.

Di Indonesia, perlindungan hak-hak penyandang disabilitas diatur dalam berbagai regulasi, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini lahir sebagai bentuk komitmen negara terhadap implementasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Dengan adanya dasar hukum tersebut, penyandang disabilitas dijamin memiliki hak yang sama dalam mengakses layanan publik. Namun, jaminan di atas kertas saja tidaklah cukup; implementasi nyata dalam kehidupan sehari-hari menjadi hal yang paling utama.

Salah satu hak mendasar yang harus dipenuhi dalam pelayanan publik adalah hak atas aksesibilitas. Aksesibilitas berarti bahwa semua fasilitas umum, sarana prasarana, dan layanan yang disediakan pemerintah maupun pihak swasta harus dapat digunakan oleh siapa pun tanpa terkecuali. Misalnya, gedung-gedung pemerintahan seharusnya dilengkapi dengan ramp atau jalur khusus kursi roda, lift dengan tombol braille, serta toilet yang ramah disabilitas. Di sektor transportasi, moda transportasi umum perlu menyediakan kursi prioritas, pengumuman audio bagi penyandang tunanetra, serta informasi visual bagi penyandang tuli. Begitu pula di sektor digital, layanan daring pemerintah harus dapat diakses dengan perangkat lunak pembaca layar agar penyandang disabilitas netra dapat menggunakannya. Prinsip aksesibilitas bukan hanya soal ketersediaan fisik, tetapi juga mencakup aspek pelayanan yang inklusif.

Selain hak atas aksesibilitas, penyandang disabilitas juga berhak memperoleh layanan yang setara tanpa diskriminasi. Layanan publik seharusnya diberikan dengan standar yang sama, baik kepada warga negara umum maupun kepada mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Sayangnya, masih banyak ditemui kasus di mana penyandang disabilitas diperlakukan secara berbeda atau bahkan diabaikan dalam pelayanan publik. Misalnya, adanya anggapan bahwa penyandang disabilitas tidak mampu mengurus dokumen administrasi secara mandiri sehingga harus selalu diwakilkan. Padahal, dengan sedikit penyesuaian layanan, mereka juga bisa mengakses pelayanan secara langsung. Kesetaraan dalam pelayanan publik bukan hanya soal prosedur administratif, melainkan juga sikap ramah, empati, serta kesediaan petugas untuk memahami kebutuhan yang berbeda.

Hak penting lainnya adalah hak atas informasi yang mudah diakses. Dalam era digital saat ini, informasi merupakan kunci untuk mengakses berbagai layanan publik, mulai dari pendaftaran sekolah, layanan kesehatan, hingga administrasi kependudukan. Namun, tidak semua informasi publik disediakan dalam format yang ramah disabilitas. Penyandang tunanetra membutuhkan informasi dalam bentuk audio atau huruf braille, sementara penyandang tuli membutuhkan penerjemah bahasa isyarat atau teks yang jelas. Jika informasi publik tidak disajikan dalam bentuk yang inklusif, maka penyandang disabilitas akan mengalami hambatan ganda: tidak hanya sulit mengakses fasilitas, tetapi juga terputus dari informasi yang seharusnya mereka dapatkan sebagai warga negara.

Selain itu, penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan kebijakan publik. Partisipasi ini penting agar kebijakan yang dibuat pemerintah benar-benar mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat disabilitas. Tanpa keterlibatan langsung, ada risiko kebijakan yang lahir hanya bersifat formalitas dan tidak menjawab persoalan di lapangan. Misalnya, pemerintah dapat melibatkan organisasi penyandang disabilitas dalam proses penyusunan aturan terkait transportasi umum atau pembangunan infrastruktur. Dengan begitu, kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan sesuai kebutuhan.

Di samping itu, perlindungan dari diskriminasi dan stigma juga merupakan hak fundamental bagi penyandang disabilitas. Diskriminasi tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga bisa berbentuk sikap dan perilaku. Misalnya, menganggap penyandang disabilitas sebagai beban atau tidak produktif, sehingga layanan yang diberikan sering kali dilakukan setengah hati. Padahal, stigma semacam ini justru memperkuat marginalisasi dan menghambat partisipasi aktif penyandang disabilitas dalam masyarakat. Oleh karena itu, selain aspek regulasi, perlu juga upaya perubahan pola pikir masyarakat dan aparatur pelayanan publik agar lebih menghormati keberagaman kemampuan individu.

Namun, meskipun telah ada berbagai payung hukum dan prinsip inklusivitas, realitas di lapangan masih jauh dari ideal. Tantangan utama yang sering muncul adalah keterbatasan infrastruktur publik yang belum sepenuhnya ramah disabilitas. Masih banyak gedung pemerintahan yang tidak memiliki fasilitas aksesibilitas, transportasi umum yang tidak dilengkapi dengan sarana pendukung, serta layanan kesehatan yang tidak menyediakan alat bantu khusus. Selain itu, keterbatasan sumber daya manusia juga menjadi kendala. Banyak aparatur negara atau penyedia layanan publik yang belum memiliki pemahaman memadai tentang cara melayani penyandang disabilitas. Hal ini membuat pelayanan publik sering kali tidak sensitif terhadap kebutuhan khusus.

Selain tantangan infrastruktur dan sumber daya manusia, faktor budaya dan sosial juga turut memengaruhi. Di beberapa komunitas, penyandang disabilitas masih dipandang sebagai individu yang tidak mampu atau bergantung pada orang lain. Akibatnya, keluarga maupun masyarakat cenderung menutupi keberadaan mereka atau tidak mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Stigma ini memperkuat eksklusi sosial dan berdampak pada rendahnya tingkat kepercayaan diri penyandang disabilitas dalam mengakses pelayanan publik. Oleh karena itu, pendidikan masyarakat tentang pentingnya inklusivitas dan penghormatan terhadap hak asasi manusia menjadi hal yang sangat mendesak.

Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, dibutuhkan komitmen bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan dan pelayanan publik mengedepankan prinsip desain universal, yaitu konsep pembangunan yang sejak awal dirancang agar dapat digunakan oleh semua orang tanpa perlu modifikasi khusus. Selain itu, perlu ada peningkatan kapasitas aparatur negara melalui pelatihan tentang pelayanan inklusif. Sementara itu, masyarakat juga perlu diedukasi agar memiliki kesadaran bahwa penyandang disabilitas bukanlah kelompok yang berbeda, melainkan bagian dari keberagaman manusia yang harus dihargai.

Pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam pelayanan publik tidak hanya akan memberikan manfaat bagi mereka secara individu, tetapi juga bagi masyarakat luas. Lingkungan yang inklusif akan menciptakan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk berkontribusi sesuai dengan kemampuan mereka. Banyak penyandang disabilitas yang memiliki potensi besar, baik di bidang pendidikan, seni, olahraga, maupun dunia kerja. Dengan memberikan akses yang setara dalam pelayanan publik, potensi tersebut dapat dimaksimalkan, sehingga mereka tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai aset bangsa.

Pada akhirnya, pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam pelayanan publik adalah cermin dari keadilan sosial dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dengan dukungan regulasi yang kuat, infrastruktur yang aksesibel, serta perubahan pola pikir masyarakat, penyandang disabilitas dapat hidup lebih mandiri, berdaya, dan bermartabat. Inklusivitas bukanlah sekadar slogan, melainkan sebuah komitmen nyata untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun warga negara yang tertinggal dalam menikmati layanan publik. Dengan demikian, terciptanya pelayanan publik yang ramah disabilitas akan membawa Indonesia selangkah lebih dekat pada cita-cita masyarakat yang adil, setara, dan berkeadaban sebagaimana amanat sila ke-5 Pancasila.





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...