Pelaku Penyelundup Rokok Ilegal Dibebaskan, Ombudsman Kepri: BC Batam Keliru dan Tidak Transparan

BATAM | ESNews - Ombudsman Kepri soroti kinerja penyidik Bea Cukai Batam terkait pemberlakuan mekanisme Ultimum Remedium tehadap pelaku penyelundupan rokok ilegal yang baru-baru ini ditangkap oleh tim Patroli BC Batam di perairan Pulau Buaya pada Jumat (3/5/2024) lalu. Dimana, Nahkoda dan 6 ABK lainya dibebaskan setelah dikenakan sanksi adminstrasi bayar denda dan pajak.
Jadi, kata Lagat menjelaskan, bahwa kasus itu bukan mens rea lagi, tapi sudah
peristiwa hukum dalam berupa penyelundupan barang yang dilarang.
"Maka, keliru BC Batam kalau kemudian melakukan langsung pembebasan
tehadap pelaku dengan hanya membayar denda dan sanksi administrasi. Karena ini
sudah jelas peristiwa pidana," tegasnya.
Lanjutnya, karena prinsip penegakan hukum salah satu tujuannya adalah mencegah
supaya peristiwa hukum yang sama itu tidak dilakukan oleh yang bersangkutan
kembali atau pihak lain.
"Maka penegakkan hukum itu harus tegas disini. Kalau begini kan tidak
tegas. Tidak menimbulkan soft terapi terhadap pelaku dan calon pelaku kejahatan
yang sama," ujar Lagat.
"Maka akan bisa lagi terulang perbuatan kejahatannya lagi, karena nanti
ujung-ujungnya dibebaskan atau negosiasikan lah dengan penyidik. Kan
begitu," tambahnya.
Jadi gak benar ini, kata Lagat. Harusnya, BC Batam melakukan penegakkan dalam
penyidikan. Setidaknya untuk Nahkoda, karena dalam penyeludupan ini memang ABK
itu tidak dapat dipersoalkan. Tapi kalau Nahkoda itu sebagai penanggungjawab.
"Nah kita gak tau ini kalau ini dibebaskan, bagaimana barang bukti, gimana
kapal speed boad itu mengingat harganya itu bisa sampai 2,3 Milyar dan barang
bukti tangkapan rokok ilegal bisa sampai 1 Milyaran. Itu gimana? apa itu
dibebaskan juga setelah bayar denda. Kan tidak," tegas Lagat.
Dalam penegakkan hukum secara umum, pembayaran denda itu bukan menghilangkan
perbuatan pidananya, kan gitu. "Jadi keliru kalau kemudian bahwa mereka
bilang UR itu bukan opsi utama. Kecuali tadi nahkodanya tidak kelihatan dan ABK
saja yang diamankan dan barang bukti, misalnya. Ya mungkin bisa jadi. Ini harus
transparan, apakah barang bukti dirampas untuk negara. Kan tidak jelas
beritanya itu.
Apa yakin Nahkoda itu dibebaskan karena
bayar denda. Apakah iya kapal speed boad nya dan barang bukti nya akan
dilepaskan, biasa ini kan permainan-permainan yang kadang Bea Cukai itu kan
menunggu agak adem dulu hingga nanti hilang di publik.
Jadi gak benar itu, salah itu Bea Cukai. Harusnya BC Batam melakukan penegakkan
hukum yang tegas tehadap pelaku yaitu Nahkoda. Kalau ABK memang itu harus
dibebaskan. Itu Hukumnya sudah demikian. karena dia adalah anak buah kapal yang
dalam kontek dalam UU tidak bertanggungjawab atas penyeludupan itu, kecuali
perdagangan orang. Tapi kalau penyeludupan tidak.
Lagat menjelaskan, terlaksananya mekanisme Ultimum Remedium tehadap pelaku,
otomatis kasus akan berhenti dan tidak sampai ke kejaksaan atau pengadilan.
"Kasus Itu sudah pasti berhenti. UR itu merupakan penegakkan hukum yang
harus diberikan kepada kejahatan yang memang telah memenuhi unsur-unsur yang
harus dipidanakan, 4 tahun ke atas, maka saya bilang tadi Nahkoda sudah ada.
Jadi sekali lagi, UR itu adalah proses yang harus ditegakkan, bukan
dinegosiasikan deliknya itu kepada si pelaku," ungkap Lagat.
Menurut Lagat, sanksi yang diberikan BC Batam terhadap pelaku penyelundupan
tersebut bertolak belakang semangat untuk pemberantasan penyelundupan.
"Kalau begini semua di negoisasikan, bisa-bisa orang akan berani untuk
melakukan penyelundupan. Kan bisa lepas. kalau kena, nanti ganti rugi atau
denda," katanya.
Setau saya, lanjut Lagat, memang barang itu harus disita untuk negara dan
dilelang. Kalau barang itu ada yang tidak dilarang, itu yang ditebus dengan
sanksi tadi.
"Misal, ada barang-barang yang dilarang keluar dari kawasan, nah barang-barang
yang tidak dilarang itu, itu yang kemudian boleh ditebus kembali dengan
administrasi denda. Jadi sudah keliru itu bea cukai itu, ini lah kadang tidak
transparan Bea Cukai ini, gak benar kayak gini Bea Cukai," ujarnya.
"Bea cukai harus melakukan penegakkan hukum yang tegas, tidak kemudian
menjadi di negoisasikan," tambahnya lagi.
Selanjutnya, bagaimana dengan barang bukti yang disita untuk negara termasuk
kapal itu. Tidak boleh di bebaskan itu, "makanya, apakah iya, penyelundup
atau pemilik barang itu mau melepaskan nahkoda dengan membayarkan denda , tapi
kemudian barang dan kapalnya disita untuk negara. Tidak mungkin kan," kata
Lagat.
Terkait nahkoda dilepas dan barang bukti tetap disita, mendingan nahkodanya di
suap uang 1 milyar agar nahkoda tidak ngomong atau nyanyi. "Dari pada dia
bayar denda, toh kehilangan barang dan kapal juga. Gak logika kan," jelas
Lagat mengibaratkan.
"Jadi ini permainan ini, kalau benar demikian, kenapa dan apa alasan bea
cukai menggunakan azaz UR? Padahal ini jelas-jelas pidana yang perbuatannya
diancam pidana penjara 5 tahun ke atas. Apa pertimbangannya Bea Cukai hanya
membayar denda dan sanksi adminstrasi tehadap pelaku penyelundupan? Gak benar
Bea Cukai ini. Tidak transparan," tegasnya.
Ombudsman berharap Bea Cukai harus transparan. Apa dasar mereka mengatakan itu?
Kemudian bagaimana barang bukti yang diperkirakan mencapai 3-4 Milyar itu.
"Dugaan kita seperti biasa barang akan dimainkan sama Bea Cukai, lalu
kapal nantinya akan dikembalikan. Mungkin itu negosiasi mereka," ucap
Lagat.
"Sekali lagi, kenapa tidak melakukan penegakkan hukum, Apa pertimbangannya
bea cukai melakukan negosiasi hanya membayar denda dan sanksi adminstrasi ini
sudah jelas-jelas. Ini kan OTT, ditangkap, ada barang bukti, jelas tak
terbantahkan lagi. Tidak betul lagi ini, rusak negara dibuat begini. Kalau
begini harus kita berantas. Kalau gak, rusak negara dibuatnya seperti
itu," tutupnya. (bob)