ORI Kaltara Temukan Indikasi Bisnis LKS di SMP Negeri Tarakan, Ini Penjelasan Lengkapnya

Meski saat ini pemerintah telah mengratiskan biaya pendidikan 12 tahun sekaligus memberikan bantuan kebutuhan buku materi melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), namun faktanya hingga saat ini masih terdapat sekolah melakukan praktik "bisnis" pada aktivitas Belajar-mengajar di Kota Tarakan. Hal tersebut terjadi di salah satu SMP Negeri di Kota Tarakan.
Saat dikonfirmasi, dalam konferensi pers laporan catatan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Kaltara pada semester 1, Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Baku Dwi Tanjung menyampaikan, adanya temuan ORI pada salah satu SMP Negeri yang diduga melakukan bisnis LKS di Kota Tarakan.
Atas temuan itu, ORI telah berkoordinasi kepada Dinas Pendidikan (Disdik) Tarakan dan DPRD Tarakan terkait hal ini.
"Sebelumnya kami sudah menyampaikan ini ke Disdik dan telah ditindaklanjuti terkait adanya salah satu sekolah yang menjual LKS dan itu di kantin sekolah. Setelah kami telusuri pemilik kantin ini keluarga salah satu guru di sekolah itu juga dan siswa wajib membeli LKS tersebut," ujarnya, Jumat (4/7).
"Karena guru di sana mengandalkan LKS untuk latihan soal kepada murid. Kalau untuk buku materi dari bantuan BOS itu kan buku paket teori yah, tidak ada soal-soal di dalam situ. Sehingga guru lebih senang kalau muridnya menggunakan LKS, karena sudah ada soal-soal di situ, jadi guru tidak perlu lagi membuat soal," sambungnya.
Diungkapkan Bakuh, selain diduga menjalankan praktik bisnis, ORI Kaltara juga menemukan adanya perlakuan diskriminasi pada anak yang mampu dan tidak mampu membeli LKS.
Kendati demikian, ia menegaskan jika kepala sekolah di sekolah tersebut tidak membenarkan adanya kewajiban membeli LKS yang diterapkan oleh sekolah.
Namun. Begitu, menurutnya meski tidak mewajibkan, namun perlakuan guru terhadap murid yang membeli dan tidak membeli menunjukkan jika kebijakan tersebut membedakan perlakuan antara murid yang mampu dan tidak mampu.
"Selain itu, kami juga menemukan adanya diskriminasi di sana karena yang tidak punya LKS mereka harus mencatatnya lebih dulu baru bisa mengerjakan. Sedangkan yang punya LKS bisa langsung menjawab. Sehingga kami melihat adanya perbedaan perlakuan dalam proses belajar-mengajar bagi siswa yang mampu dan tidak," ungkapnya.
"Memang pada saat kami konfirmasikan ke kepala sekolahnya, kepala sekolahnya tidak mengakui kalau itu diwajibkan. Tetapi kondisi proses belajar-mengajar itu membuat seolah-olah itu wajib karena ada konsekuensi diskriminasi. LKS ini tidak bisa hanya dibeli 1 saja, dia harus membeli untuk semua mata pelajaran. Misalnya ada 10 mata pelajaran, maka harus beli 10 LKS," jelasnya.