• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

ORI DIY Soroti Tata Kelola Sampah Bermasalah, Kota Jogja dengan Masalah UPS, Sleman dan Bantul soal Residu
PERWAKILAN: D I YOGYAKARTA • Rabu, 24/09/2025 •
 
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi ORI DIY Chasidin (AGUNG DWI PRAKOSO/ RADAR JOGJA)

JOGJA - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY menyoroti tata kelola sampah di DIY bermasalah. Khususnya setelah penutupan TPA Piyungan, permasalahan sampah di kabupaten/kota tak kunjung selesai.

Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi ORI DIY Chasidin mengatakan, penutupan TPA Piyungan memicu krisis persampahan. Di antaranya kapasitas yang berlebih, konflik sosial dan penumpukan sampah di Kota Jogja.

"Penduduk DIY lebih dari 2,7 juta, setiap orang produksi sampah rata-rata 0,7-0,9 kilogram per hari," ujarnya saat diskusi bersama dinas lingkungan hidup dan dinas perdagangan dari Pemprov DIY, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan Kota Jogja Selasa (23/9).

Dia menyebut, akar permasalahan penanganan sampah di kabupaten dan kota berbeda. Seperti di Kota Kota Jogja, masalahnya ada di Unit Pengelolaan Sampah (UPS) yang belum maksimal. Sehingga menimpulkan tumpukan sampah di depo. Selain itu, budaya memilah sampah masyarakat yang masih rendah.

"Berisiko juga pada keselamatan petugas pengolahan sampah. Potensi sampah keras masuk ke mesin insinerator tinggi dan itulah yang membahayakan," bebernya.

Sementara di Bantul, insinerator yang cacat desain di salah satu UPS. Jika target penanganan sampah 49 ton per hari, hanya bisa sekitar 10 ton. "Saat tender, mungkin datangnya berbeda dengan desain dan sebagainya," paparnya.

Menurutnya, terdapat kesamaan temuan antara Sleman dan Bantul. Khususnya terkait residu sampah di banyak TPS3R yang tidak diangkut oleh dinas terkait. Dia menilai residu tersebut diangkut, namun lambat.

"Sleman dan Bantul itu agak kelimpungan di tingakt TPS3R kaitannya dengan residu," bebernya.

Dari temuan itu, ORI DIY mengeluarkan beberapa rekomendasi kebijakan untuk perbaikan tata kelola sampah di DIY. Pertama mendorong agar mengimplementasikan skema tarif retribusi berbasis perilaku seperti rumah tangga yang tidak memilah sampah dikenakan biaya lebih tinggi.

"Bentuk satgas penegakan aturan pemilahan di sumber," ucapnya.

Kemudian dia juga mendorong agar Service Level Agreement (SLA) ditetapkan untuk pengangkatan residu dengan monitoring digital dan sanksi keterlambatan. Pemerintah harus berperan sebagai perantara inovasi menghubungkan TPS3R dengan pihak-pihak terkait, termasuk pendanaan.

"Lakukan audit teknis dan standarisasi peralatan di seluruh UPS dan prioritaskan investasi pada fasilitas pendukung krusial," desaknya.

Terkahir, yakni mengintegrasikan literasi pengelolaan sampah ke dalam kurikulum pendidikan formal.

Kepala Bidang Pengelolaan Fasilitas Perdagangan Tradisional Disperindag Sleman Purwoko Haryadi menyebut, sampah di pasar tradisional bukan dari pedagang. Misalnya di Pasar Condongcatur, sampah tidak lebih dari satu ton. "Tapi setiap hari mengevakuasi sampah satu truk atau sekitar 5-6 ton," keluhnya.

Menurutnya, masyarakat yang datang ke pasar, banyak yang menenteng plastik berisi sampah. Mereka lalu meninggalkannya di tempat-tempat dampah di area lapak pedagang. "Itu yang bikin banyak timbulan sampahnya," paparnya. (oso/eno)





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...