Ombudsman Usut Dugaan Demosi ASN Tana Toraja Tanpa Alasan Jelas

FAJAR, TANA TORAJA - Dugaan penurunan jabatan dua aparatur sipil negara (ASN) di Kabupaten Tana Toraja berbuntut panjang. Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan kini turun tangan, menyelidiki indikasi maladministrasi dalam kebijakan yang dinilai tidak transparan dan berpotensi merugikan karier ASN.
Dua ASN, Natalia Josi Batara dan Marthen Girik Allo, melaporkan Bupati Tana Toraja ke Ombudsman setelah mereka didemosi tanpa penjelasan yang sah. Natalia yang sebelumnya menjabat Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Eselon III), tiba-tiba dipindah menjadi Kasubag Program dan Evaluasi di Dishub (Eselon IV).
Sementara Marthen, eks Sekdis Kominfo (Eselon III/a), diberi tahu oleh rekan bahwa ia telah dilantiktanpa undangan resmimenjadi Kasubbid Bela Negara di Kesbangpol (Eselon IV/a).
"Kami tidak pernah mendapat penjelasan resmi. Tidak ada pelanggaran, dan Inspektorat juga membenarkan itu," ujar Natalia.
Surat keputusan mutasi yang jadi sorotan tercatat pada Nomor: 821-22-030/BKPSDM/I/2025, terbit sehari sebelum masa jabatan bupati sebelumnya berakhir, 18 Februari 2025.
Menindaklanjuti laporan itu, kemarin Ombudsman telah meminta klarifikasi sejumlah pejabat, termasuk Sekretaris Daerah (Sekda) Rudhy Andi Lolo, Kepala BKPSDM, dan Inspektur Tana Toraja.
"Kami tengah menyelidiki apakah ada pelanggaran prosedur dalam demosi ini. Fokus kami adalah aspek administratif dan perlindungan hak ASN," ujar Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sulsel, Ismu Iskandar, Kamis (22/5/2025).
Ismu juga menyebut pelantikan yang terjadi hanya sehari sebelum pergantian kepala daerah menjadi sorotan tersendiri. "Jadi nanti akan kita analisis apakah ada unsur pelanggaran," katanya.
Ismu menyebut investigasi masih di tahap awal. Proses ini dapat memakan waktu hingga dua bulan sebelum Ombudsman menyusun laporan akhir dan memberikan pendapat resmi.
"Jika diperlukan, kami bisa meminta klarifikasi tambahan atau melibatkan BKN," tegasnya.
Sekda Rudhy Andi Lolo yang diperiksa membantah adanya maladministrasi. Menurutnya, mutasi tersebut adalah konsekuensi dari perampingan kelembagaan.
"Memang ada demosi, tapi ini bagian dari efisiensi. Jabatan eselon III dikurangi dari 190 menjadi 170," kilah Rudhy.
Ia menambahkan, tak ada catatan disiplin terhadap dua ASN tersebut, namun penilaian akhir tetap berada di tangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
"Usulan dari OPD tidak menyebut demosi. Tapi di tingkat PPK, dilakukan penilaian dan hasilnya seperti itu," ucapnya.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut prinsip dasar keadilan dan perlindungan terhadap hak ASN. Ombudsman berkomitmen menelusuri tuntas, termasuk jika ada indikasi penyalahgunaan wewenang dalam pengambilan keputusan mutasi. (mum)