Ombudsman NTT Punya Lemari Gratifikasi, Simak Fungsinya

Hits IDN - Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Timur (NTT) menyedikan sebuah lemari kaca yang dinamai lemari gratifikasi.
Lemari yang ditempatkan di ruang depan ini berfungsi untuk menyimpan semua pemberian dalam bentuk apapun dari pihak lain selama melaksanakan tugas pengawasan.
Kepala Ombudsman perwakilan NTT, Darius Beda Daton mengatakan bahwa adanya sebuah lemari kaca yang dinamai lemari gratifikasi ini berdasarkan kesepakatan seluruh insan Ombudsman NTT.
Hal ini untuk menyimpan seluruh barang berupa kain adat, sarung, selendang, syal, pedang dan masih banyak lagi.
"Pemberian itu sulit kami tolak langsung karena alasan adat ketimuran atau situasi lain yang tidak memungkinkan untuk ditolak di tempat," kata Darius, pada Jumat, 14/02/2025.
Menurut Darius, barang pemberian yang terkumpul hingga saat ini sudah lumayan banyak. Bahkan, kalau dikonversikan senilai Rp200 ribu hingga Rp700 ribu per lembar kain.
"Tidak semua pemberian itu memenuhi kriteria sebagai gratifikasi yang dilarang, oleh karena harganya tidak seberapa," ujarnya.
Darius menjelaskan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mensyaratkan suatu pemberian dengan nilai uang tertentu yang dilarang dikarenakan tergolong gratifikasi.
"Artinya jika tidak dilaporkan dan disimpan dalam lemari gratifikasi pun tidak masalah jika tidak memenuhi kriteria tadi," tandasnya.
Namun, kata dia, tetap menolak yang berupa grafikasi, baik yang tidak dilarang apalagi yang dilarang.
"Semua pemberian kami anggap dilarang, wajib ditolak atau diterima dan dilaporkan," katanya.
Darius juga flashback bahwa Ombudsman NTT sudah banyak melaporkan dugaan gratifikasi ke KPK sebagaimana sebagai pengawas pelayan publik di NTT.
"Karena itu, jika dicek ke KPK atau unit gratifikasi internal, mungkin laporan gratifikasi dari kami sudah cukup banyak tercatat di sana," katanya.
Ia menekankan, sebagai aparatur negara hendaklah menolak pemberian dalam bentuk apapun selama melaksanakan tugas pengawasan.
"Tidak ada tawar menawar. Apalagi kami adalah pengawas bagi seluruh penyelenggara pelayanan di republik ini. Bagaimana ceritanya jika pengawas tidak lebih bersih dari penyelenggara pelayanan yang diawasi?"
"Sapu yang kotor tidak bisa dipakai untuk menyapu lantai, sebab jika demikian lantai akan menjadi lebih kotor dari sebelumnya," ucapnya.
Menurut Darius, hal tersebut menjadi prinsip Ombudsman karena kepercayaan masyarakat lebih tinggi dan dapat didengar penguasa.
"Tidak mudah memang, tetapi harus dilakukan oleh semua lembaga negara dan pemerintah yang melakukan tugas pengawasan," katanya.
"Harus kita akui, saat ini kepercayaan masyarakat kepada lembaga-lembaga pengawas sudah cukup tergerus oleh karena perilaku aparatur pengawas yang menyimpang," sambung Darius.
Darius menambahkan, aparatur nakal tidak peduli bahwa penerimaan gratifikasi dapat menimbulkan konflik kepentingan, bertentangan dengan peraturan kode etik dan kode perilaku serta memiliki risiko sanksi pidana.
Padahal, kata dia, Indonesia telah mengatur gratifikasi dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
"Aparatur Sipil Negara adalah abdi negara yang menerima gaji dari pajak rakyat untuk melaksanakan tugas pelayanan publik. Dengan demikian, mereka seharusnya tidak boleh menerima manfaat lainnya dari luar dalam melakukan pekerjaannya itu," tandasnya.***