Ombudsman Kepri Nilai Pemikiran Evaluasi KEK di Batam Ada Benarnya, Tapi Juga Berisiko

BatamNow.com - Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Riau (Kepri), Lagat Siadari, angkat bicara terkait status Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayah Free Trade Zone (FTZ) Batam.
Menurutnya, wacana evaluasi terhadap keberadaan KEK di FTZ Batam memiliki landasan yang dapat dipahami, namun di sisi lain menyimpan sejumlah risiko yang tidak boleh diabaikan.
Dalam keterangannya kepada BatamNow.com melalui sambungan telepon pada Selasa (15/07/2025), Lagat menjelaskan bahwa perbedaan antara KEK dan FTZ sebenarnya tidak terlalu besar.
Namun dari segi sejarah dan kewenangan, keduanya punya pijakan hukum dan mekanisme berbeda.
"FTZ itu memang konsepnya lebih dulu. Itu merupakan bentuk kewenangan pusat yang dilimpahkan ke daerah, yang dalam pelaksanaannya dibentuk (Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas) KPBPB dan hanya ada dua di Indonesia, yakni Batam dan Sabang," jelas Lagat.
Ia menyebut, FTZ lahir sebagai konsep kawasan perdagangan bebas yang pengelolaannya langsung di bawah pemerintah pusat.
Sedangkan KEK muncul kemudian sebagai perluasan ide pembangunan ekonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang KEK, yang kemudian ditegaskan kembali dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa KEK dibentuk oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tapi karena kehadirannya di daerah otonom, maka pengelolaan KEK harus tetap melibatkan pemerintah daerah," katanya.
Namun dalam praktiknya, di Batam, pengelolaan KEK justru berada di tangan Badan Pengusahaan (BP) Batam, bukan Pemerintah Kota Batam secara kelembagaan.
Hal ini, menurut Lagat, menjadi awal mula dualisme kewenangan yang selama ini kerap menimbulkan friksi antara Pemko Batam dan BP Batam.
Ia menilai, penggabungan KEK ke dalam FTZ merupakan solusi kompromis agar kewenangan daerah bisa tetap hadir di dalam wilayah FTZ.
"Ini sebenarnya hanya win-win solution. Dulu sempat ada perseteruan antara Pemko Batam dan Otorita Batam. Pemko ingin FTZ dibuat enclave, otorita minta tetap luas. Maka lahirlah konsep KEK sebagai enclave dalam FTZ," terang Lagat.
Namun, ia menilai hasilnya tetap membingungkan. Pasalnya, meski KEK dimaksudkan sebagai wilayah dengan pelibatan daerah otonom, di Batam pengelolaannya tetap berada di bawah BP Batam, bukan Pemko Batam.
"Supaya tidak ribut, muncullah konsep ex-officio. Wali Kota Batam menjabat sebagai Kepala BP Batam. Tapi tahun ini berubah, Wakil Wali Kota Batam menjadi ex-officio Wakil Kepala BP Batam," ujarnya.
Lagat menyampaikan kekhawatiran bahwa jika ke depan struktur kepemimpinan Batam tidak lagi dijabat secara ex-officio, potensi konflik kewenangan antara Pemko dan BP Batam akan kembali mencuat.
Bila KEK Dihapus, Bagaimana Nasib Investornya?
Ia juga menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 dan 28 Tahun 2025 yang mengembalikan 15 perizinan kepada BP Batam.
Menurutnya, kebijakan ini berpeluang menimbulkan kecemburuan baru antara Pemko Batam dan BP Batam, karena memperkuat kembali dominasi BP Batam sebagaimana fungsi awal otorita dulu.
"Kalau jabatan kepala Batam tidak lagi ex-officio, lalu yang dominan tetap BP Batam, ini pasti akan terjadi perseteruan. Artinya, nanti akan ada tuntutan untuk mengembalikan kewenangan ke daerah otonom, yaitu ke Pemko Batam," katanya.
Lagat pun menyoroti implikasi jika status KEK dihapuskan. Menurutnya, KEK memiliki sejumlah fasilitas insentif tambahan yang tidak dimiliki oleh FTZ.
"FTZ hanya menawarkan fasilitas bebas bea masuk, bebas cukai, dan bebas PPN/PPnBM. Sementara KEK memberikan fasilitas plus-plus lain yang menjadi daya tarik tersendiri bagi investor," jelasnya.
Ia mencontohkan KEK Digital Park di Nongsa yang sudah berjalan. Jika KEK dihapus, Lagat mempertanyakan nasib investasi yang telah tertanam di kawasan tersebut.
"Apakah mereka akan dirugikan? Atau apakah FTZ Batam akan memberikan fasilitas serupa seperti yang selama ini dinikmati KEK?" tanyanya.
Catatan Merah Pengawasan di FTZ
Namun ia juga mengingatkan soal tantangan pengawasan yang selama ini menjadi catatan merah dalam sejarah FTZ.
"Tahun 80-an sampai 90-an dulu, kita punya kelemahan besar dalam pengawasan karena banyaknya penyelundupan. Sekarang pertanyaannya: apakah Bea Cukai kita mampu mengendalikan itu? Apakah aparat penegak hukum (APH) bisa membantu mencegah barang-barang bebas itu keluar dari kawasan ini?" tegasnya.
Menutup pernyataannya, Lagat menyatakan bahwa usulan dari Wakil Kepala BP Batam, Li Claudia Chandra, untuk mengevaluasi keberadaan KEK memang memiliki sisi positif.
Namun jika tidak ditindaklanjuti dengan strategi yang jelas dan adil, justru berpotensi merugikan pihak-pihak yang selama ini telah berinvestasi dalam skema KEK.
"Usulan itu ada benarnya, karena bisa mengembalikan fasilitas plus-plus untuk Batam secara menyeluruh. Tapi kalau tidak diwujudkan, maka mereka yang sudah masuk ke KEK akan merasa dirugikan. Kita harus bijak melihat ini," pungkas Lagat. (A)