Ombudsman Kaltara Soroti Penyesuaian Abonemen PDAM, Ingatkan Risiko Maladministrasi dan Tuntutan Hukum

Kebijakan penyesuaian biaya abonemen yang diberlakukan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tarakan menuai banyak keluhan dari masyarakat. Warga menilai langkah tersebut dilakukan mendadak, tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu.
Hal ini pun menuai sorotan dari Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Utara (Kaltara). Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kaltara, Maria Ulfah, mengatakan pihaknya menerima laporan masyarakat yang menganggap penyesuaian abonemen itu sebagai kenaikan tarif. Persepsi tersebut wajar, karena kebijakan yang diambil berdampak langsung pada beban pembayaran pelanggan.
"Frame yang berkembang di masyarakat memang menganggap ini kenaikan tarif. Itu tidak bisa dicegah, karena masyarakat berhak menafsirkan demikian. Penjelasan PDAM menyebut ini hanya penyesuaian komponen abonemen, tetapi tetap saja ini sebuah kebijakan baru yang idealnya disosialisasikan terlebih dahulu," ujarnya, Rabu (10/9/2025).
Menurutnya, setiap kebijakan yang menyangkut pelayanan publik harus diawali sosialisasi, agar masyarakat sebagai pengguna layanan tidak kaget dengan perubahan yang ada. Ia menilai, absennya sosialisasi menjadi pemicu munculnya keresahan.
"Sebelum diterapkan, kebijakan itu seharusnya dikomunikasikan. Karena user yang menerima konsekuensi. Kalau tidak, wajar timbul protes," tegasnya.
Maria juga menyoroti perlunya transparansi terkait alasan PDAM menetapkan penyesuaian tersebut. Menurutnya, penjelasan soal urgensi hingga dampaknya sangat penting agar masyarakat memahami mengapa kebijakan itu diambil.
"Harus jelas, apa penyebabnya, kenapa harus disesuaikan dan apa konsekuensi positif yang bisa dirasakan," katanya.
Ia menambahkan, muncul pertanyaan logis dari masyarakat yakni bagaimana jika dalam lima tahun ke depan tidak ada penggantian meteran air sebagaimana yang dijanjikan. Menurutnya, hal ini perlu diantisipasi PDAM agar tidak menimbulkan masalah hukum.
Menurutnya, masyarakat memiliki pemikiran yang sederhana di mana pertanyaan seperti itu kerap di pertanyakan. Oleh karena itu, PDAM sebaiknya berkonsultasi dengan lembaga pengawas keuangan daerah atau bahkan aparat penegak hukum agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Meski belakangan PDAM melakukan sosialisasi melalui RT, Ombudsman menilai hal ini belum cukup. Ia menegaskan, sosialisasi bukan jaminan masyarakat akan berhenti mengeluh.
"Sosialisasi tidak otomatis menghilangkan komplain. Justru bisa memunculkan logika-logika baru dari warga. Namun, setidaknya itu jadi momentum menerima masukan," ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menekankan, kualitas pelayanan harus menjadi tolok ukur. Masyarakat akan menguji apakah benar ada perbaikan setelah adanya pungutan tambahan. Hal ini mencakup tidak hanya kinerja SDM PDAM, tetapi juga kualitas air yang dipasok ke rumah warga.
"Air harus sesuai standar konsumsi harian. Kalau ada penyesuaian biaya, maka logisnya kualitas layanan juga harus naik," ucapnya.
Maria juga menjelaskan landasan sosiologis dari adanya kebijakan penyesuaian. Menurutnya, air adalah kebutuhan pokok dengan ketersediaan terbatas, sehingga penggunaan berlebihan perlu dibatasi demi keadilan antarwarga.
"Air ini terbatas. Kalau satu rumah tangga seenaknya memakai air untuk hal yang tidak penting, hak masyarakat lain bisa terganggu. Maka kebijakan penyesuaian itu juga bisa dipahami sebagai pengingat adanya hak orang lain," terangnya.
Namun demikian, Ombudsman tetap menekankan pentingnya akuntabilitas. Setiap kebijakan harus bisa dipertanggungjawabkan, apalagi menyangkut pungutan dari masyarakat.
"Kalau PDAM menjanjikan penyesuaian ini berdampak pada kualitas layanan, maka itu akan dinilai langsung oleh masyarakat. Kalau tidak ada perbaikan, maka bisa menjadi masalah serius," pungkasnya. (*)








