Ombudsman Dorong BP Batam Tegas terhadap Moya

Batam Kota (BP) - Ombudsman Kepri mendorong Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi, agar mengambil tindakan tegas terhadap permasalahan pelayanan air yang dikeluhkan masyarakat. Jika tak segera dicarikan solusi cepat, maka suplai air ke masyarakat kini dikelola PT Air Batam Hilir dan dioperasionalkan oleh PT Moya Indonesia, bakal menjadi polemik berkepanjangan karena air adalah kebutuhan dasar manusia.
Kepala Ombudsman Kepri, Lagat Siadari, mengatakan, buruknya pelayanan air bersih untuk masyarakat menjadi preseden buruk di Kota Batam. Dimana, air yang seharusnya menjadi hak mutlak masyarakat, terutama pelanggan, tak didapat sebagaimana mestinya.
Karena itu, ia menilai PT Moya Indonesia sebagai kontraktor pengelola air bersih, telah gagal memberikan hak yang sama kepada setiap pelanggannya. Begitu juga dengan BP Batam sebagai penyelenggara penyedia air bersih untuk masyarakat Kota Batam.
"BP Batam sebagai penyelenggara telah gagal memberi pelayanan. Sebab, penyelenggara wajib memberi kualitas dan kuantitas, dan itu yang tidak diperhatikan BP Batam. Sehingga bisa dikatakan, BP Batam telah melakukan maladministrasi," Jelas Lagat.
Ia menilai, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi harus bertanggung jawab terhadap kondisi yang dihadapi masyarakat terhadap pelayanan air bersih. Jangan sampai permasalahan yang memang sangat penting diabaikan karena alasan yang tidak jelas.
"Saat ditanya ke PT Moya, mereka melempar ke BP Batam, begitu juga dengan BP Batam, mereka melempar ke PT Moya. Jadi seperti saling lempar bola yang tak kunjung selesai. Karena itu, Kepala BP Batam harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan ini semua," jelasnya.
Ia juga bingung dengan pernyataan Rudi yang menjelaskan alasan permasalahan pelayanan air karena banyaknya pipa-pipa yang sudah rusak dan tua. Namun, dalam hal ini PT Moya tak memiliki dana untuk melakukan revitalisasi pipa-pipa tersebut karena membutuhkan anggaran yang besar, yakni lebih dari Rp 1 triliun.
"Tak masuk akal jika kontraktor tak punya dana untuk mengganti pipa-pipa, yang kemudian mengeluh kepada BP Batam karena butuh anggaran besar. Akhirnya tak puya jalan keluar dan mengorbankan masyarakat, yang seharusnya mendapatkan hak yang sama untuk air bersih," jelasnya.
Menurut dia, pada saat masa konsesi dari ATB, harusnya BP Batam sudah memperhitungkan berapa aset dan penyusutan, terutama untuk pipa-pipa. Sehingga diketahui, berapa biaya peremajaan yang nantinya akan dikeluarkan oleh kontrakor pemenang.
"Jadi jelas nilai investasinya berapa, kontraktor pemenang seharusnya memiliki cukup modal, kalau tak ada modal, bagaimana bisa bergerak. Sebelum lelang juga harus diketahui, apakah kontraktor memiliki uang, SDM, teknologi dan pengalaman. Jangan asal, sehingga akhirnya merugikan masyarakat," jelasnya.
Karena itu, ia mempertanyakan siapa yang berada dibalik PT Moya. Sebab, sejak menjadi pemenang dua kali lelang, menurut Lagat, PT Moya tak pernah memberikan pelayanan baik, bahkan dinilai masih kalah dari pelayanan kontraktor sebelumnya yakni ATB.
"Kami sudah dua kali mempertanyakan kepada BP Batam siapa PT Moya ini, kenapa mereka bisa menang lelang dan bertahan menjadi kontraktor air bersih dengan pelayanan buruk. Dua kali kami bertanya, tak ada jawaban, katanya rahasia. Padahal ini menyangkut pelayanan publik," sebut Lagat.
Di lain hal, ia berharap Kepala BP Batam bisa mengambil tindakan tegas terhadap pelayanan air yang diberikan PT Moya. Jika memang kondisi tak bisa diperbaiki, menurut Lagat, Kepala BP Batam bisa membatalkan kontrak kerja sama demi masyarakat.
"Lebih cepat dibatalkan lebih baik, urusan hukum bisa belakangan. Jangan mengorbankan masyarakat demi kepentingan yang tak jelas," pungkas Lagat.
Sebelumnya, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mengaku telah memanggil PT Moya untuk mendengarkan jawaban atas keluhan masyarakat.
"Sudah kami panggil dia (PT Moya) itu berapa kali. Kami panggil untuk mengetahui laporannya seperti apa," ujar Rudi, Selasa (1/11) sore.
Menurut dia, dari pertemuan itu, pihak Moya menyampaikan beberapa alasan. Diantaranya kondisi pipa-pipa yang sudah tua. Dimana, untuk penyambungan pipa baru dan pipa air yang sudah tua, harus dipindahkan. Begitu juga dengan jumlah pipa, tidak sepadan dengan banyaknya jumlah pelanggan.
Namun, pihak Moya tetap tidak bisa melakukan penyambungan baru karena kondisi pipa yang sudah tua.
"Itulah yang harus diperbaiki sekaligus. Sekali perbaiki perlu Rp 1 triliun, itupun tidak cukup," sebut Rudi.
Ia memaparkan, pada masa transisi yag terlalu lama, banyak barang yang sudah tidak dapat digunakan lagi. Sehingga solusinya harus diganti dan memerlukan anggaran yang besar.
"Pasca terima transisi yang telalu lama, barang-barang ini sudah afkir semua dan harus diganti, jadi butuh biaya. Solusinya ya, siapa saja bisa kalo dia sanggup," katanya.








