Nelayan Tolak Tambang Timah di Laut, Ombudsman Bangka Belitung Nilai Ini Persoalan Kompleks
BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Penambangan timah di laut di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih menjadi polemik karena pro dan kontra.
Terjadi tarik menarik kepentingan antara penambang dan nelayan termasuk juga pelaku pariwisata.
Penolakan masyarakat terhadap penambangan timah di laut terus terjadi.
Seperti di Kabupaten Bangka Tengah pemberhentian
perakitan ponton di Desa Batu Beriga menjadi satu diantara wujud penolakan
tambang laut oleh warga setempat.
Aksi penolakan dengan memberhentikan pembuatan ponton yang videonya viral beberapa hari lalu itu adalah bukti keseriusan dan kekompakan warga dalam menolak adanya aktivitas pertambangan di laut mereka.
Kendati demikian, peristiwa penolakan oleh warga itu berlangsung kondusif tanpa ada tindakan kekerasan ataupun anarkisme.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Umum Nelayan Desa Batu Beriga, Berku (52) saat dihubungi Bangkapos.com, Senin (29/5/2023).
"Ada sekitar 5 ponton kemarin itu yang dirakit, kami tanya kepada yang membuatnya, mereka enggak mau ngasih tau itu ponton punya siapa," ungkap Berku.
Dia menyebutkan, saat ini kerangka-kerangka ponton tersebut sudah tidak ada lagi di lokasi dan sudah dibongkar.
Menurut Berku, mayoritas masyarakat Batu Beriga menolak kehadiran pertambangan jenis apapun di laut mereka.
Pasalnya, sebagian besar, bahkan 80 persen masyarakat Batu Beriga menggantungkan hidupnya dari hasil laut.
"Akan tetapi, ada data katanya ada 750 KK yang setuju, cuma kami tidak tau yang setuju itu yang mana," jelasnya.
Padahal kata dia, jumlah masyarkat Desa Batu Beriga saat ini hanya sekitar 600-an lebih KK saja.
Lebih lanjut, dia menerangkan bahwa laut Desa Batu Beriga itu diinfokan akan dikerjakan atau ditambah oleh salah satu CV.
"Memang IUP-nya itu dari PT. Timah, tapi yang mau mengerjakannya itu dari
CV milik pengusaha," katanya.
Lanjut dia, CV yang dimaksud itupun belum pernah bertemu ataupun melakukan sosialisasi dengan masyarakat Desa Batu Beriga.
"Enggak ada mereka (pihak CV) ketemu sama kami, cuma ada kabar 750 KK itu setuju, sedangkan se-Batu Beriga ini jumlah KK hanya 600-an lebih. Berarti itu kan datanya bisa jadi penipuan, karena kami tanya siapa nama-namanya, tapi enggak dikasih," ungkapnya.
Menurutnya, kabar tentang akan adanya pertambangan timah di laut Batu Beriga ini sudah ada beberapa kali, bahkan sudah menjadi semacam isu setiap tahun.
Akan tetapi, biasanya hal itu akan reda seiring berjalan waktu.
Meski begitu, dirinya bersyukur lantaran sampai saat ini belum ada aktivitas pertambangan sehingga laut Batu Beriga masih bersih dan aman.
Diakui Berku, penolakan yang dilakukan warga, khususnya nelayan terjadi karena memang laut Batu Beriga menjadi salah satu tempat utama sumber mata pencaharian mereka.
"Dan memang sudah pernah terbukti di laut-laut daerah lain seperti di Batu Belubang, Permis dan Toboali, yang namanya tambang laut itu pasti merusak dan mengurangi hasil tangkapan nelayan," tegasnya.
Oleh karena itu, sebagai nelayan, pihaknya akan sebisa mungkin mencegah hal itu agar tidak terjadi di Desa Batu Beriga.
Apalagi saat ini hasil tangkapan di laut sedang bagus, baik itu cumi-cumi, ikan, udang dan masyarakat Batu Berita Beriga pun sedang meraup rejeki dari itu.
"Kasihan anak cucu cicit kami yang belum merasakan hasil laut, masa harus dirusak juga," keluhnya.
Wilayah Tangkap Nelayan
Penolakan terhadap aktivitas tambang timah di laut juga terjadi di Kabupaten Bangka Selatan.
Kalangan nelayan di Perairan Toboali, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung memastikan tetap akan menolak masuknya aktivitas tambang timah laut di daerah itu.
Mereka meminta kegiatan tambang timah dihentikan, pasalnya dapat mengancam mata pencaharian di sektor perikanan.
Nelayan Batu Perahu, Abdullah mengatakan, lokasi yang akan ditambang itu merupakan wilayah tangkap nelayan.
Sehingga dikhawatirkan aktivitas pertambangan di perairan itu dapat mengganggu hasil tangkapan nelayan.
Maka dari itu, para nelayan sendiri masih terus berjuang untuk kesejahteraan nelayan.
Bahkan sampai adanya penangkapan yang dilakukan Polres Bangka Selatan terhadap pasangan suami istri (Pasutri), Febri (35) dan Icas (30) warga Desa Rias oleh Polres Bangka Selatan, Minggu (29/5/2023) kemarin.
"Dengan kejadian itu (penangkapan-red) tidak akan menyurutkan niat kami untuk berjuang," tegas Abdullah kepada Bangkapos.com, Senin (29/5/2023).
Abdullah menerangkan, banyak dampak yang bakal ditimbulkan dari beroperasinya aktivitas pertambangan di perairan Toboali.
Mulai berkurangnya hasil tangkapan ikan nelayan, hingga zona mencari ikan bagi nelayan yang semakin jauh.
Tentunya berimbas pula dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan.
Tak hanya itu, limbah yang dihasilkan dari operasional pertambangan timah sendiri bahkan sampai ke bibir pantai.
Padahal di wilayah itu terdapat persawahan milik masyarakat setempat. Jaraknya sendiri sekitar 500 meter dari kawasan operasional PIP.
"Dampak operasi PIP luar biasa. Belum dari sisi limbah, dampak sosial. Bahkan dampak sosial sudah dirasakan saat ini. Jadi jelas, padahal PIP belum jalan tapi dampaknya sudah terasa," ucap Abdullah.
Di sisi lain menurut Abdullah, pihaknya tidak pernah menerima sosialisasi secara resmi dari pihak perusahaan ihwal pertambangan.
Malahan, perusahaan terkesan tertutup perihal berbagai informasi tambang tersebut. Nelayan pun mempertanyakan izin tambang yang dikantongi perusahaan.
"Kalau disebut izin sudah ada, kita juga tidak tahu seperti apa izinnya
dan kapan berakhirnya," bebernya.
Oleh karena itu dia mendesak Pemerintah Kabupaten Bangka Selatan beserta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mengetahui proses perizinan.
Sehingga nelayan dapat mengetahui ada dipihak manakah antara eksekutif dan legislatif.
"Jadi dari tahap awal seharusnya dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat yang bersinggungan langsung, dalam hal ini nelayan. Jadi hasil sosialisasi baru keluar rekomendasi," pungkas Abdullah.
Bupati Temui Nelayan
Bupati Bangka Selatan, Riza Herdavid didampingi jajaran Forkopimda setempat saat menemui para nelayan di Kawasan Pantai Batu Perahu, Senin (29/5/2023). Langkah itu diambil sebagaimana tindak lanjut upaya penolakan aktivitas pertambangan timah di Perairan Toboali.
Setelah kantornya didatangi ratusan nelayan pada Kamis (25/5/2023) lalu, kini Bupati Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Riza Herdavid menemui kalangan nelayan, Senin (29/5/2023) pagi.
Riza menemui para nelayan di kawasan Pantai Batu Perahu bersama forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda) setempat.
Riza mengatakan, dirinya memang dengan sengaja menemui para nelayan.
Hal ini sebagaimana janjinya beberapa waktu lalu kepada para nelayan.
Terutama untuk melakukan komunikasi dengan penentu kebijakan pertambangan timah.
"Karena kebijakan pertambangan bukan kabupaten. Kabupaten hanya diberikan surat pemberitahuan PT Timah akan melakukan penambangan," ucapnya kepada Bangkapos.com usai kegiatan.
Menurutnya, berdasarkan hasil pertemuan tersebut pihaknya telah mengambil langkah konkret.
Ia akan menggelar audiensi dengan seluruh stakeholder terkait dalam penentuan kebijakan pertambangan timah.
Mulai dari PT Timah Tbk, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung maupun jajaran Forkopimda yang ada di tingkat provinsi.
Kebijakan ini diambil untuk mencari jalan terbaik untuk kedua belah pihak.
Baik itu nelayan maupun kalangan penambang supaya tidak ada satu pihak pun yang merasa dirugikan.
Terutama dalam mengantisipasi konflik antara nelayan dan penambang yang kerap terjadi di Bangka Selatan. Sebab itu, ia meminta nelayan untuk bersabar.
"Besok jam 8.00 WIB kita lakukan audiensi terbuka. Termasuk PT Timah dan Pemerintah Provinsi untuk dicarikan solusi terbaik atas tuntutan kawan-kawan nelayan," kata Riza.
Diakuinya, pemerintah kabupaten sendiri belum dapat menentukan langkah strategis terkait permasalahan yang sedang terjadi.
Dapat diambilnya kebijakan masih menunggu hasil audiensi yang akan dilakukan besok. Dari hasil audiensi itulah nantinya dapat diketahui langkah apa saja yang akan diambil.
Bahkan pihaknya turut mengajak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat untuk menyuarakan nasib para nelayan.
Dengan catatan pemerintah tetap memperjuangkan hak-hak nelayan, akan tetapi tanpa mengesampingkan nasib para penambang timah. Karena menjadi seorang kepala daerah harus dapat mengambil kebijakan seadil-adilnya.
"DPRD juga kita ajak untuk menyuarakan suara nelayan ini. Supaya perizinan dicabut atau segala macam. Karena kita memperjuangkan hak-hak nelayan tanpa mengesampingkan penambang. Karena sebagian Bupati harus berdiri di tempat yang seadil-adilnya," paparnya.
Walaupun begitu politisi PDI-P ini meminta masyarakat untuk tidak 'masuk angin' dan tetap konsisten dalam menyuarakan hak nelayan.
Oleh karena itu, pihaknya masih tetap mengikuti peraturan yang berlaku. Riza sendiri berharap masyarakat mau bersama-sama memperjuangkan nasib nelayan.
"Kalau saya berjuang sendirian tidak bisa, karena terkait kelegalan. Kawan-kawan nelayan memang tidak anti tambang. Saya mengakui itu," kata Riza.
Berpihak Kepentingan Masyarakat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung memastikan diri akan tetap berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Hal ini imbas adanya konflik berkepanjangan antara nelayan dan penambang di daerah itu.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bangka Selatan, Samson Asrimono mengatakan, pihaknya mendukung nelayan Batu Perahu terkait penolakan penambangan di wilayah Rias dan sekitarnya. Terlebih jika kegiatan aktivitas pertambangan tersebut lebih banyak membawa keburukan daripada manfaat kepada masyarakat.
"Kami mendukung apa yang diinginkan oleh masyarakat dan nelayan," ucap Samson kepada Bangkapos.com, Senin (29/5/2023).
Samson memaparkan, apabila masyarakat khususnya nelayan meminta aktivitas pertambangan timah di perairan itu dihentikan tentu pihaknya siap mengakomodasi untuk dihentikan.
Baik itu ada atau tidaknya izin pertambangan yang dilakukan di perairan itu.
"Sudah dari awal bahwa tidak peduli ada izin maupun tidak ada izin yang terpenting utamanya adalah kondusifnya rakyat Bangka Selatan," bebernya.
Senada, Anggota DPRD Kabupaten Bangka Selatan, Berry Febrianto menyebut, konflik pertambangan timah antara nelayan dan penambang sendiri sudah berlangsung cukup lama. Bahkan konflik serupa sudah sering terjadi berkali-kali.
Berkaca dari kejadian tersebut menurutnya, perairan wilayah Desa Rias dan sekitarnya tak layak lagi untuk ditambang.
Hal itu turut diperkuat oleh beberapa alasan, pertama merupakan kawasan wisata. Kedua di sana menjadi titik nelayan tradisional untuk mencari hidup mencari nafkah.
"Artinya ketika ada tambang yang hadir di sini dia akan menimbulkan konflik terus-menerus," ungkap Berry.
DPRD kata dia, pada intinya menginginkan Kabupaten Bangka Selatan aman dan kondusif serta tidak terjadi konflik apa pun.
Hakikatnya usaha apabila banyak mudarat daripada syafaatnya dan menyengsarakan rakyat DPRD minta kegiatan itu dihentikan. Layaknya tujuan suatu negara, yakni untuk menyejahterakan masyarakat.
Pasalnya pihaknya tidak mau dengan adanya konflik tersebut menimbulkan pertumpahan darah dari kedua belah pihak. Maka dari itu pihaknya menyambut baik dengan diadakannya audiensi terbuka pada Selasa (30/5) besok. Dengan harapan mampu dicarikan jalan terbaik.
"Kami akan mendukung rakyat sepenuhnya kalau rakyat tidak setuju kami sebagai rakyat juga tidak setuju," urainya.
Meskipun demikian kata dia, permasalahan ini nantinya juga akan dibawa ke Senayan, Jakarta.
Khususnya ke Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Agar dapat segera ditindaklanjuti terkait permasalahan pertambangan timah dan konflik yang sering terjadi antara masyarakat nelayan dan penambang.
Berry juga mengimbau kepada perusahaan untuk tidak memaksakan kehendak.
Mereka harus menyadari jika tidak ada dukungan masyarakat terkait penambangan timah. Hal ini untuk menjaga kondusifitas wilayah khususnya di Bangka Selatan.
"Jangan memaksakan kehendak, jika masyarakat tidak mendukung. Mereka harus menyadari pada intinya berusaha atau ingin situasi yang kondusif. Tidak ada kepentingan politik, tapi kepentingan masyarakat," tegas Berry.
Persoalan Kompleks
Kepala Perwakilan Ombudsman Bangka Belitung, Shulby Yozar Ariadhy menyoroti penolakan masyarakat terhadap penambangan timah di laut
"Respon masyarakat terhadap permasalahan pertambangan timah merupakan ekses dari permasalahan tata kelola pertambangan yang ada selama ini. Namun, kita berharap juga masyarakat dapat melihat dan memahami dari sudut pandang hukum dan dampak lingkungan hidup, sehingga masyarakat tidak lagi terjerat dan dapat berfokus pada penyelesaian masalah utama," jelas Yozar, Senin (29/5/2023).
Dia menilai persoalan pertambangan adalah permasalahan yang kompleks dan peran negara tidak hanya melalui pendekatan hukum pidana saja, perlu campur tangan seluruh stakeholder.
Serta stakeholder lain yang berwenang atau kompeten tersebut seyogyanya tidak hanya berdiam diri untuk menelusuri keluhan dan membela kepentingan masyarakat jika keluhan tersebut benar.
"Misalnya, bagaimana terkait dokumen perizinan berusaha dan persetujuan lingkungan, bagaimana penghitungan kerugian (keperdataan) instansi yang berwenang terhadap pencemaran lingkungan karena aktivitas pertambangan, seperti apa penerapan sanksi yang tegas terhadap pihak yang melanggar jika terbukti terjadi pencemaran lingkungan (hukum administratif), dan sebagainya," katanya.
Dia menambahkan, terkait peristiwa yang sedang terjadi baru-baru ini, pemegang IUP dalam hal ini PT Timah seharusnya memiliki peranan yang penting.
Berdasarkan Pasal 40 Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan Yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral Dan Batubara, bahwasanya pemegang Izin Usaha Pertambangan dalam melaksanakan kegiatan pertambangan harus mempertimbangkan upaya penyelesaian perselisihan dengan mengutamakan musyawarah mufakat.
Tidak terkecuali kewenangan sebagaimana dimaksud dan kewenangan pembinaan juga dilaksanakan oleh Pemprov Bangka Belitung sebagaimana ketentuan Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 7 Tahun 2014.
"Artinya, PT Timah dan Pemprov Babel harus aktif terlibat menyelesaikan permasalahan ini sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Kita harap PT Timah dan Pemprov Babel dapat menelusuri apakah benar sebelumnya ada perjanjian antara masyarakat dengan pihak PT Timah. Kalau memang ada tentu saja harus mengacu pada perjanjian bersama tersebut dan jika tidak ada perjanjian tersebut seperti apa intervensi positif PT Timah sebagai pemegang IUP menyelesaikan perselisihan dengan memperhatikan aspek lingkungan dan mata pencaharian nelayan setempat yang berpotensi terancam," jelas Yozar.
Secara umum, terkait izin kepada mitra menurut kami hal tersebut sudah diatur dalam Lampiran Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2021, khususnya pada poin standar persetujuan program kemitraan yang memuat pengaturan standar persyaratan, pengawasan, dan sanksi terhadap mitra.
"Tentunya kita semua mengharapkan adanya evaluasi terhadap izin penambangan laut oleh mitra, serta secara bersamaan juga melakukan peningkatan teknologi tangkap nelayan tradisional oleh pihak yang berwenang," katanya.
Dengan demikian, aktivitas pertambangan dengan prinsip good practice mining tidak berdampak merugikan masyarakat dan nelayan tetap dapat beraktivitas dengan nyaman guna meningkatkan kehidupan ekonominya.
"Namun sekali lagi, jika terbukti melakukan pelanggaran atau pencemaran lingkungan hidup maka secara fair pihak perusahaan harus diberikan sanksi secara tegas," saran Yozar.