Mewaspadai Potensi Malaadministrasi Pasca SPMB

SETIAP tahunnya, Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) menjadi momentum penting bagi ribuan orang tua dan calon peserta didik untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak. Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, SPMB TA 2025/2026 kembali diselenggarakan dengan berbagai penyesuaian kebijakan seleksi seperti seleksi jalur domisili, afirmasi, prestasi, dan jalur mutasi, yang diharapkan mampu menciptakan pemerataan akses pendidikan.
Meskipun proses SPMB 2025 berlangsung relatif lancar, masyarakat dan pihak terkait tetap perlu memberikan perhatian serius terhadap suasana pasca-SPMB, karena potensi malaadministrasi justru kerap muncul setelah tahapan seleksi resmi selesai.
Berkaca dari pelaksanaan SPMB/PPDB tahun-tahun sebelumnya, cukup banyak potensi malaadministrasi yang rentan terjadi kembali seperti tidak transparannya proses seleksi ulang atau daftar ulang, pungutan dalam bentuk penjualan seragam dan buku oleh pihak sekolah atau komite sekolah, hingga intervensi pihak-pihak tertentu kepada satuan pendidikan. Malaadministrasi pasca SPMB bukan hanya soal pelanggaran administratif, tetapi berpotensi mengganggu hak anak untuk memperoleh layanan pendidikan secara adil dan setara.
Dengan melihat pola-pola malaadministrasi tersebut, peran pengawasan dari masyarakat dan Ombudsman sangat dibutuhkan dengan demikian akan ada serangkaian perbaikan agar pelaksanaan SPMB dapat terselenggara dengan transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan calon peserta didik.
/Catatan Malaadministrasi Terdahulu
Salah satu praktik paling mencolok dari potensi malaadministrasi pasca-SPMB adalah praktik penjualan seragam dan buku oleh pihak sekolah atau komite sekolah dan beberapa sumbangan yang sudah ditetapkan nominalnya.
Di beberapa wilayah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, orang tua murid mengeluhkan bahwa setelah anak mereka dinyatakan diterima di sekolah negeri, mereka diarahkan untuk membeli seragam dan buku penunjang pembelajaran melalui berbagai pintu yang telah ditentukan oleh pihak sekolah.
Selain itu, banyak sekali permintaan berupa pungutan yang berkedok sumbangan sebagai uang pembangunan awal masuk sekolah. Padahal praktik-praktik seperti itu sudah termasuk pelanggaran. Lihat saja dalam Permendikbud No. 75 Tahun 2016 pasal 1 poin 4 menyatakan bahwa "Pungutan Pendidikan, yang selanjutnya disebut dengan Pungutan adalah penarikan uang oleh Sekolah kepada peserta didik, orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan."
Selain itu, pasal 12 poin a secara tegas menyatakan bahwa "komite sekolah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah."
Dengan demikian, praktik penjualan tersebut tergolong sebagai malaadministrasi karena tidak memiliki dasar hukum yang sah dan membebani orang tua siswa.
Tak berhenti di situ, melalui rilis hasil pengawasan PPDB 2024 yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia, masih banyak temuan malaadministrasi yang terjadi seperti penambahan rombongan belajar, belum optimalnya pengawasan internal, masifnya permintaan siswa titipan, belum adanya penanganan siswa tercecer, adanya penetapan peserta didik baru di luar jalur resmi dan belum optimalnya pengelolaan pengaduan pelayanan publik.
Terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab praktik malaadminsitrasi tersebut terjadi. Pertama, lemahnya pengawasan dari pengawas internal terhadap pelaksanaan aturan di satuan pendidikan. Kedua, masih adanya pemahaman yang keliru di kalangan sekolah maupun komite sekolah sehingga bertentangan dengan regulasi.
Ketiga, kurangnya keberanian masyarakat untuk melaporkan praktik tersebut karena kekhawatiran akan berimbas pada perlakuan terhadap anak mereka di sekolah. Keempat, tidak adanya komitmen untuk pelaksanaan SPMB yang sesuai regulasi.
Bahkan lebih lanjut, temuan Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Bangka Belitung juga memperkuat indikasi tersebut. Ombudsman mencatat adanya praktik pungutan terhadap seragam dan buku LKS yang dilakukan setelah peserta didik dinyatakan diterima. Ini merupakan salah satu dari banyak persoalan yang muncul dalam pelaksanaan SPMB dan menunjukkan bahwa tahapan pasca-penerimaan belum sepenuhnya bebas dari penyimpangan.
//Resolusi Perbaikan Layanan
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan dalam upaya perbaikan layanan pasca SPMB. Pertama adalah dengan memaksimalkan peran masyarakat pengguna layanan sebagai pengawas. Perlu diketahui bahwa Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik memberi jaminan hak kepada masyarakat untuk memperoleh layanan publik yang berkualitas serta melaporkan apabila terjadi penyimpangan atau ketidakadilan.
Tak berhenti di situ, dalam Pasal 35 UU tersebut juga telah memberikan legitimasi kepada masyarakat untuk bertindak sebagai pengawas eksternal penyelenggaraan pelayanan publik. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan SPMB adalah salah satu faktor kunci yang perlu terus dioptimalkan. Masyarakat dalam praktiknya bisa berpartisipasi dengan menyampaikan keluhan/pengaduan ke pengawas internal atau bisa juga ke Ombudsman.
Kedua, Pemerintah daerah dan dinas pendidikan perlu meningkatkan komitmen penyelenggaraan SPMB sesuai regulasi yang berlaku dan mengambil langkah tegas terhadap sekolah atau komite yang terbukti melakukan praktik pungutan tidak sah. Langkah ini bisa berupa evaluasi manajemen sekolah, pembinaan kepala sekolah dan komite, serta pembentukan satuan tugas pengawasan pasca-SPMB di tingkat kabupaten/kota. Selain itu, penting pula untuk meningkatkan sosialisasi regulasi kepada seluruh pemangku kepentingan pendidikan, termasuk guru, orang tua, dan masyarakat luas.
Ketiga, penguatan atau dukungan kelembagaan kepada Ombudsman. Ombudsman dipandang perlu untuk lebih aktif hadir di tengah masyarakat, khususnya saat masa SPMB berlangsung maupun pasca-SPMB. Penguatan kanal pengaduan, percepatan penanganan laporan, serta publikasi temuan secara berkala akan mendorong efek jera bagi pelaku malaadministrasi sekaligus memperkuat posisi masyarakat sebagai pengawas partisipatif.
Sebagai pengingat, orang tua dan calon siswa, penting untuk memahami bahwa semua proses dalam SPMB, mulai dari seleksi, daftar ulang, hingga dinyatakan sudah melaksanakan proses belajar mengajar, tidak boleh mengandung unsur pungutan atau kewajiban membeli perlengkapan dari sekolah. Jika menemukan praktik semacam itu, masyarakat berhak menolak dan dapat melaporkannya ke Ombudsman, dinas pendidikan, atau melalui kanal pengaduan resmi yang tersedia.
Selain itu, masyarakat sebaiknya aktif mencari informasi dari sumber yang valid, baik dari website resmi dinas pendidikan maupun media sosial instansi terkait, agar tidak mudah diarahkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Dengan membangun kesadaran hukum dan keberanian untuk bertindak, masyarakat tidak hanya menjadi pengguna layanan, tetapi juga bagian penting dari pengawasan dan perbaikan sistem pendidikan ke depan.
oleh: Dwi Wulansari
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Pertiba/ Program Magang di Ombudsman RI Perwakilan Bangka Belitung








