• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Merdeka dalam Melaporkan Malaadministrasi: Realitas, Tantangan, dan Cita-cita
PERWAKILAN: KEPULAUAN BANGKA BELITUNG • Kamis, 28/08/2025 •
 

MEMASUKI tahun ke-80 Kemerdekaan Indonesia, keadilan sosial bagi seluruh rakyat masih menjadi salah satu tujuan abadi untuk diwujudkan. Keadilan sosial didefinisikan sebagai keadaan nyata bagi masyarakat untuk mendapatkan kesempatan yang sama, akses yang setara dan dukungan yang merata.

Semangat para pejuang dan pahlawan bangsa dalam melawan penjajah pada masanya sepatutnya menjadi salah satu nilai yang harus diterapkan kini dan nanti. Semangat untuk menghadirkan nilai tersebut dalam keseharian warga negara salah satunya dapat dilakukan dengan berani untuk bersuara melawan ketidakadilan, termasuk dalam pelayanan publik.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang tak jarang masih diwarnai oleh praktik malaadministrasi, semangat kemerdekaan sejati masyarakat kemudian diuji. Apakah masyarakat sebagai pengguna layanan berani untuk melaporkan praktik malaadministrasi tersebut? Apakah masyarakat tanpa rasa takut bersuara apabila melihat penyimpangan yang terjadi?

Normalisasi praktik malaadministrasi

Realitasnya, tak banyak warga yang berani melapor dalam pelayanan publik. Mereka lebih memilih diam ketika mengalami praktik malaadministrasi seperti penundaan layanan, pungutan liar, penyimpangan prosedur dan sebagainya.

Lalu apa yang membuat masyarakat diam? Masyarakat cenderung memilih diam karena menganggap praktik malaadministrasi yang terjadi adalah sebuah hal yang lumrah terjadi. Normalisasi penyimpangan administrasi sebagai tantangan dalam pelayanan publik adalah konsekuensi dari rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjalankan hak dan kewajiban pelayanan publik.

Masyarakat akan diam saat malaadministrasi dirasa sudah biasa dialami atau merasa hal tersebut adalah bagian dari prosedur. Selagi kerugian yang dialami kecil, baik secara materiel atau imateriel, masyarakat senantiasa membenarkan perilaku maladministrasi yang terjadi. Tidak adanya sanksi tegas dari pihak penyelenggara sehingga praktik malaadministrasi terus berulang membuat masyarakat juga merasa percuma untuk melaporkan tindakan yang menyimpang.

Apabila perbuatan malaadministrasi terus dibiarkan tanpa ada tindakan perbaikan, tak menutup kemungkinan kualitas pelayanan publik akan terus menurun. Kepercayaan publik terhadap penyelenggara pelayanan publik juga akan ikut menurun.

Masyarakat terutama yang termasuk dalam kelompok rentan juga harus mengalami kerugian akibat adanya normalisasi malaadministrasi. Kebiasaan dalam ketidakadilan birokrasi administrasi dapat menjadi suatu hal yang akan sulit diatasi karena sudah dianggap normal dalam pelayanan publik.

Rasa takut yang masif sebagai tantangan diri

Selain menganggap malaadministrasi sebagai suatu kebiasaan, masyarakat juga memilih diam dan tidak berani untuk melapor karena adanya rasa takut dan cemas. Masyarakat takut dan cemas untuk melaporkan suatu tindakan malaadministrasi karena ada banyak skenario buruk yang dibayangkan menimpa masing-masing individu. Mulai dari tekanan sosial, pengalaman buruk, hingga tidak adanya perlindungan bagi pelapor menjadi beberapa faktor masyarakat enggan untuk melaporkan maladministrasi.

Tentu hal itu bukan hanya gigitan jari belaka. Pada kondisi sesungguhnya, masih banyak warga yang merasa dikucilkan saat mereka berhasil melaporkan malaadministrasi ke pihak yang berwenang. Contohnya pada bidang pendidikan, di mana pungutan liar bisa menjadi permasalahan pelik yang dialami oleh masyarakat yang terbatas kondisi perekonomiannya. Sesaat setelah melaporkan pungutan liar pendidikan yang dialami, suatu individu dapat mengalami intimidasi sosial, diskriminasi atau bahkan dikucilkan dari kelompok.

Pada bidang pelayanan lain, pungutan liar atau penyimpangan prosedur dapat mengantarkan suatu individu pada pola pikir "jika tidak diikuti maka urusan akan makin dipersulit". Lantas hal ini kemudian menjadi kecemasan tersendiri bagi setiap orang yang mengalami malaadministrasi dan kemudian memilih diam demi lancarnya urusan pelayanan.

Ada rasa takut jika suatu penyimpangan dilaporkan akan berbalik menjadi bumerang bagi masyarakat. Padahal, di balik rasa takut dan cemas itu mungkin saja ada rasa kekecewaan dan kerugian yang coba dikubur dalam-dalam.

Ditinjau dari sudut psikologi sosial, perilaku masyarakat yang takut dan cemas ini relevan dengan istilah social conformity yang dikemukakan oleh Solomon Asch di mana seseorang memang cenderung akan mengikuti pendapat mayoritas walaupun pendapat tersebut salah sehingga akan muncul rasa takut untuk berpendapat karena adanya tekanan untuk menyesuaikan diri dengan kelompok mayoritas.

David Buss dalam teori Evolusi Sosial juga menjelaskan bahwa suatu individu takut ditolak secara sosial karena takut akan adanya ancaman hilangnya akses dasar hidup. Secara singkat, masyarakat takut berbicara adalah mekanisme alami untuk mengurangi risiko kehilangan akses, status, dan atau dikeluarkan dari suatu kelompok sosial.

Stigma seperti itu yang membuat masyarakat lebih memilih untuk menghindari konflik saat haknya dalam pelayanan publik tidak dapat terpenuhi. Meskipun mengalami perlakuan malaadministrasi, individu yang mengikuti alur dan berhati-hati dalam berpendapat atau mengekspresikan diri lebih mungkin untuk dipertahankan dalam kelompok sosial. Kondisi ini tentu menjadi salah satu tantangan besar yang harus dihadapi dalam pengentasan malaadministrasi di dunia pelayanan publik.

Hak dan perlindungan bagi warga dalam pelayanan publik

Pada dasarnya, setiap warga negara Indonesia berhak untuk mendapatkan pelayanan dasar, menyampaikan pendapat, dan perlakuan yang setara di depan hukum. Hal ini sudah dijamin secara konstitusi oleh dasar hukum negara yakni pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sama halnya dengan yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di mana hak asasi manusia dimaknai sebagai hak-hak dasar masyarakat dalam memenuhi dan menjalani hidup sehingga tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.

Pada konsep pelayanan publik, hak masyarakat untuk mengajukan kritik, saran, dan pengaduan bila pelayanan publik yang diterima tidak sesuai standar dijelaskan secara jelas pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pelayanan publik adalah wujud dari pemenuhan hak asasi manusia oleh negara. Dengan kata lain, memberikan evaluasi dalam bentuk pengaduan adalah upaya yang bisa dilakukan masyarakat untuk tetap menjaga hak asasi manusia dapat dipenuhi secara optimal.

Kedudukan masyarakat dalam pelayanan publik kemudian makin diperkuat dengan kewenangan masyarakat sebagai unit pengawas eksternal penyelenggara pelayanan publik. Kondisi ini sudah cukup menggambarkan bahwa masyarakat seharusnya dapat melaporkan malaadministrasi tanpa rasa takut dan intervensi dari pihak luar. Budaya diam dan rasa apatis yang masih kuat, terutama saat berhadapan dengan oknum yang terlihat memegang kuasa tinggi di suatu instansi, menjadikan masyarakat tidak siap dan pesimis dalam menyikapi malaadministrasi yang dialami.

Keamanan perlindungan diri dari ancaman atau konsekuensi yang terjadi mungkin menjadi salah satu faktor utama ketakutan untuk melapor muncul. Namun dengan adanya instrumen-instrumen hukum yang sudah jelas dan pasti, masyarakat dapat meyakini bahwa negara hadir untuk melindungi pelapor.

Perlindungan hukum dalam pelayanan publik saat ini memudahkan masyarakat untuk merahasiakan identitasnya dalam situasi tertentu. Anonimitas dapat dilakukan untuk memastikan keberlangsungan hidup masyarakat bebas dari berbagai tekanan sosial dan administratif oleh berbagai pihak.

Kini masyarakat juga dapat memanfaatkan berbagai media perlindungan dan dukungan yang terjamin hukum seperti saluran pengaduan lembaga negara Ombudsman, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), saluran whistleblower system dan badan yang berwenang lainnya.

Selama masyarakat masih terbelenggu dalam rasa takut untuk melaporkan sebuah malaadministrasi, maka kemerdekaan tersebut belum sepenuhnya hadir dan inilah ironi bentuk penjajahan baru yang akan selalu terulang ke depannya. Walaupun terlihat sederhana, sekecil apa pun bentuk malaadministrasinya, malaadministrasi adalah kelemahan untuk mewujudkan sistem birokrasi yang sehat.

Besar harapan dan cita-cita agar masyarakat Indonesia di era ini hidup dalam kemerdekaan sejati karena jika rakyat merdeka dalam bersuara, maka negara merdeka dari malaadministrasi. (*)


Oleh: Muhammad Defrianto - Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...