• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Menata Ulang Penggunaan Bahasa dalam Pelayanan Publik
PERWAKILAN: KEPULAUAN BANGKA BELITUNG • Sabtu, 25/10/2025 •
 

Suatu pagi di sebuah rumah sakit milik pemerintah daerah, saya melihat papan informasi bertuliskan customer service counter. Tak jauh dari sana, tulisan emergency room terpampang besar di dinding. Ada pula tulisan kecil evacuation route. Saya pun sempat terdiam dan merenung. Mengapa akhir-akhir ini informasi-informasi dalam pelayanan publik justru banyak menggunakan bahasa asing?

Harus diakui, kini penamaan sports center, islamic center, drive-through, airport, coffee shop, hingga learning center terkesan dianggap menarik. Apa yang ingin ditunjukkan oleh penyelenggara pelayanan publik dengan penggunaan bahasa asing tersebut? Bukankah bahasa asing sangat menyulitkan bagi mereka yang memiliki pendidikan yang terbatas?

Bahasa Indonesia kini seolah tersisih dari ruang publiknya sendiri. Padahal, bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan. Tak berhenti di situ, melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi. Dengan demikian, bahasa indonesia wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik. Namun, ironisnya kini bahasa indonesia seperti mengetuk pintu, menunggu diizinkan masuk kembali ke ruang publiknya sendiri.

Sejak diikrarkan melalui Kongres Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928, bahasa indonesia tidak sekadar menjadi alat komunikasi. Ia adalah identitas bangsa. Bahkan, bahasa indonesia dapat dimaknai sebagai rumah bangsa, tempat seluruh anak bangsa bersatu.

Bahasa Indonesia dulu menyalakan semangat kemerdekaan. Bak lem perekat, ia lalu menjadi penghubung bagi mereka yang berbeda suku, agama, dan adat. Bahasa adalah rumah kebangsaan kita. Dari ratusan bahasa yang ada di Indonesia, akhirnya bahasa Melayu yang mendapat kehormatan dan disepakati menjadi bahasa persatuan.

Sejarawan Anton Moeliono, dalam jurnal Bahasa dan Politik Identitas Nasional (1981), menyebut bahwa pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan adalah keputusan politik yang paling cerdas dalam sejarah Indonesia. Melalui bahasa itulah, bangsa ini mengenali dirinya. Kini, 97 tahun setelah ikrar itu diucapkan, kita patut bertanya, apakah bahasa Indonesia masih menjadi persatuan, masih adakah kebanggaan dan ketulusan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa?

Bangsa ini sebenarnya telah menegaskan dengan jelas bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa negara dalam Pasal 36 UUD 1945 . Amanat itu pun dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Aturannya sederhana namun tegas, setiap lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, dan ruang publik harus menggunakan bahasa Indonesia dalam nama, dokumen, serta pelayanan. Namun, di lapangan, wajah yang kita lihat berbeda.

Kantor pemerintah memakai istilah front office, sekolah negeri menulis student fair, rumah sakit menampilkan nurse station. Di media sosial resmi lembaga pun, bahasa asing lebih sering digunakan seolah menjadi tanda kemajuan. Padahal, mengganti bahasa Indonesia dengan bahasa asing di ruang publik sama artinya dengan menurunkan bendera di halaman rumah sendiri.

Dalam perkembangan masyarakat modern saat ini, masyarakat Indonesia cenderung lebih senang dan merasa lebih intelek untuk menggunakan bahasa asing (Marsudi & Zahrok, 2015; Silado, 2011). Lebih lanjut, penelitian Wahyuni (2022) dalam jurnal Bahasa dan Masyarakat menemukan bahwa 77% papan nama lembaga pendidikan dan usaha memakai bahasa Inggris atau Arab karena dianggap lebih menarik dan berkelas.

Survei serupa dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2023) juga menunjukkan bahwa generasi muda lebih sering menggunakan istilah asing dalam komunikasi daring karena terdengar lebih keren. Faktanya pun bisa kita lihat di sekitar kita. Kata-kata seperti meeting, deadline, workshop, atau focus group discussion terasa lebih profesional dibanding "rapat", "batas waktu", "lokakarya", atau "diskusi grup terfokus". Bahkan, dalam ruang digital, kebanggaan berbahasa Indonesia seolah-olah kalah oleh gengsi globalisasi.

Telah disampaikan bahwa bahasa memiliki peran strategis dalam berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam pelayanan publik, penggunaan bahasa yang jelas, mudah dipahami, dan menggunakan kaidah-kaidah yang benar adalah bentuk penghormatan terhadap hak warga negara. Sebaliknya, penggunaan bahasa asing tanpa padanan justru menimbulkan jarak sosial atau sekat antara pemberi dan penerima layanan.

Mari kita tengok pelayanan publik hari ini. Ketika warga datang ke rumah sakit, mereka disambut tulisan emergency unit bukan unit gawat darurat, ke sekolah, headmaster office bukan ruang kepala sekolah, ke bank, customer service bukan layanan nasabah. Bagi sebagian masyarakat yang tingkat pendidikannya baik, istilah itu akan tampak biasa saja. Namun bagi warga yang tidak akrab dengan bahasa Inggris, itu bisa menimbulkan kebingungan. Padahal, kebingungan dalam pelayanan publik adalah bentuk maladministrasi.

Menggunakan bahasa Indonesia dalam pelayanan publik bukan hanya soal kepatuhan hukum, tetapi soal etika dan keadilan komunikasi. Pelayanan publik seharusnya berorientasi pada keterbukaan dan kejelasan.

Ombudsman RI dalam banyak temuan pengawasan kerap menekankan bahwa pelayanan publik bukan sekadar kecepatan atau fasilitas, tetapi juga soal keterjangkauan dan keterpahaman.

Bahasa yang ramah warga adalah wujud pelayanan publik yang berkeadilan. Ketika bahasa yang digunakan tidak lagi dipahami oleh masyarakat, maka yang terganggu bukan hanya akses informasi, tapi juga esensi dari pemberian pelayanan. Sekali lagi diingatkan, bahasa bukan sekadar sarana informasi, ia adalah wujud penghormatan terhadap hak-hak warga. Warga berhak dilayani dengan bahasa yang ia pahami, bukan dengan bahasa asing yang sulit dipahami.**


Oleh: Kgs Chris Fither (Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...