Mantan Warga Binaan Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta Lapor ORI DIY Soal Dugaan Pelanggaran HAM
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejumlah mantan Warga Binaan Pemasyaratan (WBP) dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas II A Yogyakarta, yang berada di Kapanewon Pakem, Sleman mendatangi kantor Ombudsman RI (ORI) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Senin (1/11/2021) pagi.
Kedatangan para WBP itu untuk melaporkan kekerasan yang pernah dialami selama mereka menghuni di balik jeruji penjara Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta.
Vincentius Titih GA (35) salah satu mantan narapida yang datang ke ORI Perwakilan DIY menyampaikan, ada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam lapas narkotika tersebut.
Pelanggaran HAM yang dialami yakni berupa tindakan kekerasan dan penyiksaan sejumlah narapidana.
Pengakuan penyiksaan itu dilakukan oleh petugas lapas atau sipir, dan ditujukan terhadap mereka para narpidana yang baru saja selesai proses sidang putusan vonis, atau kiriman dari rumah tahanan (Rutan).
"Jadi ada pelanggaran HAM di lapas narkotika kelas II Yogyakarta. Berupa penyiksaan warga binaan, begitu kami masuk itu tanpa kesalahan apapun kami langsung dipukuli," kata dia di Lembaga ORI perwakilan DIY, Senin pagi.
Berdasarkan pengakuan Vincent, oknum petugas lapas di sana melakukan kekerasan menggunakan sejumlah alat antara lain beberapa selang, kayu, kabel bahkan yang lebih miris lagi menggunakan alat vital sapi.
"Kesalahan apapun kami langsung dipukuli pakai selang, diinjak-injak, dipukul pakai kabel. Dan yang terakhir itu pakai alat vital sapi, jadi lengket-lengket, semua infeksi," ujarnya.
Alasan kekerasan itu dilakukan, menurut Vincent karena dia seorang residivis. Namun, warga binaan yang bukan residivis pun ikut mendapat perlakuan yang sama.
"Alasan mereka karena kami residivis. Padahal saya waktu dikirim kesitu ada 12 orang, juga ada yang bukan residivis. Tetapi mereka juga mengalami penyiksaan seperti itu. Jadi tiga hari full kami disiksa," ujarnya.
Vincent masuk ke Lapas Narkotika Kelas II A sejak April 2021 dan dinyatakan bebas pada 19 Oktober 2021.
Selama lima bulan dia menghuni sel kering (sel terpisah) dan di sel itu lah ia bersama warga binaan lainnya mendapat kekerasan.
"Saya vonis 1,5 tahun. Dikirim dari rutan dan masuk ke Lapas itu April 2021, dan keluar tanggal 19 Oktober. Jadi yang melakukan kekerasan itu oknum petugas lapas," terang dia.
Tak hanya itu saja, selama di lapas kering itu pula ia tidak pernah diperkenankan untuk mengikuti kegiatan rohani.
"Kami di blok tidak pernah ada kegiatan rohani. Jadi hanya di kamar itu, terus banyak hak-hak warga binaan yang tidak dipenuhi," ungkap Vincent.
Dia menunjukan bekas luka sabetan yang dialaminya selama lima bulan menjalani hukuman di sel kering.
Bekas luka itu berada di punggung, di lengan kanan, serta di area dada juga tampak beberapa keloid.
"Ini luka bekas sabetan dan pukulan. Yang paling parah itu ada salah satu teman hanya karena tidak memakai baju, dia disuruh guling-guling sampai muntah. Muntahannya itu disuruh makan. Terus ada yang disuruh minum air kencingnya sendiri," ujarnya.
Pengakuannya, WBP di blok Edelweis Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta menjadi blok paling parah mendapat kekerasan.
Menanggapi hal ini, Kepala ORI Perwakilan DIY Budi Masturi mengatakan, pihak ORI Perwakilan DIY baru akan membuatkan registrasi dan dokeman verifikasi secara formal untuk menentukan langkah-langkah verifikasi dan sebagainya.
Budi belum bisa menyampaikan apakah dugaan kekerasan di Lapas Kelas II A Yogyakarta itu benar-benar terjadi.
"Karena apa yang disampaikan mereka nanti akan diklarifikasi oleh tim. Tapi yang pasti secara kejadian mereka mengeluhkan berbagai perlakuan yang mereka rasa sebagai tindakan kekerasan," pungkasnya. (hda)