Konflik Pertanahan: Produk Malaadministrasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Oleh: Hapiz Jasman - Asisten Ombudsman RI
PELAYANAN publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan layanan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa setiap penyelenggara pelayanan memiliki kewajiban untuk memenuhi hak masyarakat atas pelayanan yang berkualitas, transparan, akuntabel, dan bebas dari diskriminasi.
Dalam konteks pertanahan, layanan publik mencakup proses administrasi pengakuan, penguasaan, dan penerbitan dokumen kepemilikan tanah. Ketika mekanisme pelayanan publik dilaksanakan secara buruk, baik karena kelalaian, ketidaktahuan, atau penyimpangan wewenang, maka yang lahir adalah malaadministrasi yang berujung pada konflik. Dalam sektor pertanahan, ketimpangan penyelenggaraan pelayanan publik bukan hanya menciptakan ketimpangan akses terhadap sumber daya, tetapi juga menjadi pemicu utama konflik yang mengakar dan berkepanjangan.
Konflik pertanahan menjadi salah satu persoalan agraria paling kronis di Indonesia, dari konflik antara warga dengan korporasi, antarwarga, hingga dengan institusi negara. Meski negara telah memiliki berbagai perangkat hukum seperti Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), nyatanya konflik terus berulang dan bahkan meluas. Di balik setiap sengketa, tersimpan praktik administrasi yang lemah, tidak transparan, dan ditemukannya manipulasi. Pelayanan yang seharusnya menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah justru menjadi celah lahirnya konflik horizontal, yakni antara rakyat dengan rakyat sampai dengan konflik vertikal antara rakyat dengan korporasi, instansi, bahkan negara. Malaadministrasi dalam bentuk penundaan pelayanan, penyalahgunaan wewenang, hingga pengabaian kewajiban hukum oleh aparat desa, kecamatan, hingga kantor pertanahan menjadi pemicu utama.
Laporan Ombudsman Republik Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa urusan pertanahan selalu berada di tiga besar sektor yang paling banyak diadukan. Berdasarkan laporan tahunan Ombudsman RI tahun 2023, Ombudsman Republik Indonesia menerima laporan dengan substansi agraria/pertanahan sejumlah 1.190 laporan dari total 8.458 laporan yang diterima pada tahun 2023. Selanjutnya pada tahun 2024 sampai dengan triwulan II, Ombudsman RI mencatat laporan dengan substansi agraria/pertanahan mencapai 979 laporan.
Masyarakat mengeluhkan proses penerbitan sertifikat atau surat tanah yang tidak transparan, tidak partisipatif, dan bahkan sarat penyalahgunaan wewenang oleh oknum perangkat desa atau pejabat terkait. Sejalan dengan itu, Ombudsman RI Perwakilan Bangka Belitung setiap tahun menerima laporan dengan substansi pertanahan, baik di tingkat pemerintah desa sampai dengan Kantor Pertanahan. Terdapat variasi kasus dan dugaan malaadministrasi yang terjadi, tentunya hal ini menjadi salah satu perhatian pengawasan Ombudsman Republik Indonesia.
Lantas, pertanyaan mendasarnya bukan lagi "siapa yang bersengketa", melainkan "siapa yang mengabaikan kewajibannya sebagai penyelenggara pelayanan publik?" Masalah pertanahan sering kali berakar dari tumpang tindih kepemilikan, manipulasi data, ketidakpastian hukum, dan lemahnya pengawasan.
Banyak konflik muncul karena izin konsesi diberikan kepada investor tanpa melibatkan masyarakat yang sudah lama menempati atau mengelola lahan tersebut. Ketika negara abai terhadap sejarah penguasaan tanah oleh masyarakat lokal dan lebih berpihak pada investasi, benih konflik pun tumbuh. Dalam konteks ini, negara melalui lembaga-lembaga pelayanan publik memiliki peran vital. Namun sayangnya, pelayanan publik di bidang pertanahan masih kerap diselimuti minimnya keterbukaan informasi, lambannya pelayanan, hingga adanya praktik pungutan liar dan kolusi.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa pelayanan publik harus memenuhi prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Pelayanan pertanahan seharusnya terbuka bagi publik, memperhatikan aspirasi masyarakat, serta menjamin keadilan bagi semua pihak. Namun kenyataannya, banyak warga yang merasa dipinggirkan dalam proses penetapan status lahan.
Umumnya, hal tersebut terjadi karena korban tidak dilibatkan secara utuh, bahkan tidak tahu-menahu saat tanah yang telah mereka kelola puluhan tahun tiba-tiba telah bersurat atas nama orang lain. Dalam beberapa kasus, masyarakat setempat yang telah mengelola lahan tersebut selama bertahun-tahun tidak pernah mendapat informasi bahwa lahan mereka telah bersertifikat atas nama orang lain, bahkan dijual. Tidak ada sosialisasi, tidak ada peringatan, dan tidak ada mekanisme keberatan yang mereka pahami. Ketika akhirnya mereka menyadari bahwa tanah mereka telah hilang secara administratif, semuanya sudah terlambat.
Sejumlah putusan pengadilan mengonfirmasi bahwa konflik pertanahan sering kali bermula dari cacat administrasi. Misalnya Putusan PTUN Medan No. 47/G/2023/PTUN.MDN yang mengabulkan gugatan penggugat terhadap 47 sertifikat tanah yang diterbitkan secara cacat prosedur. Putusan ini mengonfirmasi bahwa sistem pelayanan publik kita masih rentan terhadap praktik administrasi yang tidak profesional, tidak akuntabel, dan tidak berpihak pada masyarakat kecil sehingga praktik tersebut kemudian memunculkan konflik pertanahan.
Dalam hal tersebut, menyalahkan satu pihak sering kali tidak adil. Namun, negara melalui lembaga pelayanan publik tentu memegang tanggung jawab utama. Ketika negara gagal memberikan pelayanan publik yang transparan dan adil, maka negara ikut andil dalam melanggengkan konflik. Masyarakat, terutama kelompok rentan, berhak mendapatkan perlindungan hukum dan informasi yang layak. Ketika suara mereka diabaikan dan hak mereka dilanggar, maka bukan hanya konflik yang terjadi, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanat konstitusi.
Untuk keluar dari lingkaran konflik ini, negara perlu membenahi pelayanan publik secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi regulasi, tetapi juga dari kualitas penyelenggara layanan. Karena konflik pertanahan yang terjadi bukan hanya sekadar konflik fisik, melainkan konflik legitimasi antara rakyat dan negara. Malaadministrasi dalam pelayanan publik telah menyebabkan hak-hak rakyat tergerus secara sistematis, membuka jalan bagi manipulasi dan perampasan aset secara legal-formal.
Pemerintah tentu tidak boleh mengabaikan hal tersebut. Pelayanan publik harus kembali pada rohnya melayani, melindungi, dan memberdayakan masyarakat. Jika tidak, konflik pertanahan akan terus menjadi luka yang terbuka dan negara akan kehilangan legitimasi moral di mata rakyatnya.
Jika pelayanan publik dilakukan dengan benar, maka konflik pertanahan bisa diminimalkan sejak awal. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan, antara lain, transparansi informasi mengenai status lahan dan perizinan yang mudah diakses publik, partisipasi masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut ruang hidup mereka, audit layanan pertanahan secara berkala untuk memastikan bebas dari praktik KKN, hingga integrasi data digital antarlembaga (BPN, ATR, pemda, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) agar tidak terjadi tumpang tindih perizinan. (*)