• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Komunitas Anti Maladministrasi, Pembawa Harapan yang Dinanti
PERWAKILAN: KEPULAUAN BANGKA BELITUNG • Selasa, 14/10/2025 •
 

Maladministrasi telah mengakar jauh. Seluruh sektor layanan publik, telah terpapar virus maladministrasi yang merusak. Lihat saja, praktek pungli masih terus terjadi. Penundaan berlarut dan penyimpangan prosedur masih terus dikeluhkan sana sini.

Perlu diketahui maladministrasi bukan sekadar salah administrasi. Ia adalah bentuk penyimpangan kekuasaan yang melukai kepercayaan publik. Ia terjadi ketika wewenang digunakan tidak sebagaimana mestinya. Bahkan parahnya maladministrasi merupakan akar dari korupsi. Ketika maladministrasi tidak dikoreksi, ia berubah menjadi pembenaran atas suatu kebiasaan yang salah, yang kemudian melahirkan korupsi.

Banyak contohnya, lihat saja praktik permintaan imbalan (gratifikasi) untuk mempercepat layanan yang terkesan telah menjadi budaya layanan. Ada lagi praktik seperti penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang yang sering kali hanya menguntungkan bagi pengguna yang "berada". Berikutnya, masih sering dijumpai praktik sumbangan-sumbangan berbau pungli dilingkungan sekolah yang masih terus berulang. Praktik-praktik maladinistrasi tersebut sering terjadi. Tapi tak banyak masyarakat yang memahami bahwa kebiasaan tersebut salah. Tidak boleh ada permakluman dalam praktik maladministrasi.

//Kebutuhan Pengawasan Partisipatif

Pelayanan publik adalah cermin dari kehadiran negara. Tujuan negara untuk "memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa" harus diwujudkan dengan memberikan pelayanan tanpa maladministrasi. Namun kondisi hari-hari ini, maladministrasi semakin ramai dipertontonkan.

Terdapat beberapa penyebab mengapa maladministrasi terus tumbuh subur dalam pelayanan publik. Komitmen layanan yang buruk, sistem layanan yang tidak baku, lemahnya pengawasan internal, minimnya evaluasi layanan dan literasi masyarakat tentang pelayanan publik dan partisipasi masyarakat yang masih sangat rendah.

Dari sisi partipasi masyarakat, bahkan masih sangat banyak pengguna layanan yang belum memahami bahwa mereka memiliki hak untuk mendapat layanan sesuai standar dan melapor jika layanan yang diberikan tidak berkualitas. Agus Dwiyanto, seorang ahli administrasi publik, pernah menulis, "selama ini hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan proses penyelenggaraan layanan sering diabaikan." Pernyataan ini menegaskan bahwa kesadaran publik masih dalam tahap pasif, belum berkembang menjadi kesadaran kritis yang aktif.

Lihat saja data penanganan pengaduan yang ada di Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sejak tahun 2014-2024 jumlah aduan yang sudah diterima 6.429 aduan dengan total aduan tahun 2014 (144 aduan), 2015 (120 aduan), 2016 (137 aduan), 2017 (140 aduan), 2018 (130 aduan), 2019 (83 aduan), 2020 (610 aduan), 2021 (1181 aduan), 2022 (1244 aduan), 2023 (1328 aduan) dan 2024 (1312 aduan).

Terlihat baik memang progres peningkatan aduannya, tapi ternyata layanan pengaduan yang diproses ombudsman lebih banyak layanan aduan yang bersifat konsultasi, bukan laporan resmi. Bahkan jumlah aduan yang meningkat tersebut memang bagian dari inisiatif ombudsman untuk jemput bola dengan membuka layanan aduan jemput bola, diseminasi dan membuka gerai-gerai aduan di instansi layanan publik. Berdasarkan data tersebut, benar bahwa kesadaran masyarakat dalam melapor masih sangat rendah. Potret ini sudah cukup menggambarkan sebenarnya bahwa partisipasi masyarakat dalam mengawasi pelayanan publik harus ditingkatkan.

//Komunitas Yang Dinanti

Partisipasi masyarakat adalah denyut nadi demokrasi. Ia bukan formalitas, melainkan bentuk tanggung jawab warga negara untuk bersama-sama menciptakan good dan clean goverment. Hal ini sejalan dengan pendapat Mardiasmo (2018) yang dikutip oleh United National Development Program (UNDP). Menurutnya partisipasi adalah salah satu indikator good government governance.

Lebih lanjut, Mardiasmo menjelaskan bahwa partisipasi tersebut dapat berupa keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. Kebebasan berpendapat tersebut juga dapat dimaknai bahwa sesungguhnya masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengawasan pelayanan publik.

Lahirnya gagasan untuk membangun pengawasan partisipatif sudah harus terus digelorakan. Sebuah konsep di mana masyarakat tidak hanya menjadi penerima layanan, tetapi juga pengawal moral penyelenggara layanan sudah menjadi keharusan. Dan syukurnya Ombudsman Republik Indonesia sudah menyadari itu. Secara serentak diseluruh Indonesia, Ombudsman menginisiasi pembentukan komunitas anti maladministrasi.

Komunitas ini bukan sekadar organisasi, tetapi gerakan moral. Ia menjadi ruang belajar bersama, tempat masyarakat terbiasa kritis, memahami hak layanan, berani bersuara, dan melawan maladministrasi. Komunitas Anti Maladministrasi harus menjelma menjadi tindakan nyata dengan melakukan edukasi publik, mengawasi pelayanan, berdiskusi tentang isu keadilan sosial, dan menjadi mitra Ombudsman dalam pencegahan maladministrasi.

Seperti kata Lisa Veneklasen dalam bukunya A New Wave of Power, People & Politics, ada empat tingkat kesadaran: pasif, mempertanyakan, analitis, dan kritis aktif. Masyarakat yang sadar secara kritis aktif adalah masyarakat yang tak lagi diam, tetapi penggerak perubahan. Komunitas Anti Maladministrasi nantinya diarahkan untuk mencapai tingkat kesadaran ini, kesadaran yang lahir dari pengetahuan dan kepedulian.

Komunitas Anti Maladministrasi yang melibatkan mahasiswa adalah langkah nyata menghidupkan kembali semangat idealisme kampus. Dalam sejarah bangsa ini, mahasiswa selalu berada di garda depan perubahan. Dari 1908 hingga 1998, suara mahasiswa menjadi palu guncang yang mengubah arah negeri. Kini, tantangan mereka bukan lagi penjajahan fisik, melainkan penjajahan oleh ketidakadilan birokrasi.

Mahasiswa memiliki tiga kekuatan yang tak dimiliki kelompok lain: pengetahuan, idealisme, dan jaringan sosial. Mereka bisa menjadi agen literasi publik yang menyebarkan pemahaman tentang hak-hak pelayanan, menjadi mata dan telinga masyarakat di daerah, sekaligus jembatan antara Ombudsman dan warga.

Mereka tidak hanya mempelajari teori etika publik di ruang kuliah, tetapi menerjemahkannya dalam tindakan nyata. Seperti dikatakan Soe Hok Gie, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan." Dalam konteks pelayanan publik, mahasiswa harus berdiri kritis daripada diam menyaksikan ketidakadilan birokrasi yang menindas warga kecil.

Lebih lanjut, Komunitas Anti Maladministrasi ini diharapkan hadir sebagai bentuk kesadaran kolektif untuk saling mengingatkan. Ia menumbuhkan empati sosial, mendorong keberanian melapor, dan membangun budaya baru bahwa pelayanan publik yang berkualitas adalah hak. Banyak hal memang yang harus dilakukan. Tapi langkah kecil harus dimulai.

Mulai dari peningkatan literasi publik tentang pelayanan publik. Literasi publik menjadi senjata utama melawan maladministrasi. Banyak warga tidak tahu kemana harus mengadu ketika diperlakukan tidak adil oleh petugas pelayanan. Bahkan, parahnya ada pengguna layanan yang takut melapor karena merasa terintimidasi dengan kekuasaan.

Melalui komunitas ini, literasi publik disebarkan secara horizontal, oleh warga untuk warga, oleh mahasiswa untuk masyarakat. Mereka bisa turun langsung ke sekolah, kampus, dan desa, mengajak masyarakat mengenal Ombudsman, memahami prosedur layanan, dan mengetahui haknya sebagai warga negara.

Seperti kata Paulo Freire, "kesadaran yang sejati hanya lahir ketika rakyat mulai membaca realitas hidupnya." Meningkatkan literasi pelayanan publik bukan hanya soal mengajar, tapi menggerakkan kesadaran kritis agar masyarakat memahami bahwa pelayanan yang adil bukanlah kemewahan, melainkan hak dasar.

//Pembawa Harapan dan Perubahan

Kehadiran Komunitas Anti Maladministrasi ibarat udara segar di tengah sesaknya birokrasi. Ia memberi harapan bahwa perubahan tidak harus menunggu kebijakan besar; ia bisa dimulai dari langkah kecil, dari kampus, dari diskusi, dari tindakan kolektif warga yang peduli. Komunitas ini bukan sekadar wadah kegiatan, tetapi simbol perlawanan terhadap ketidakpedulian. Ia menjadi pengingat bahwa negara tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan rakyatnya, sekecil apa pun itu.

Melalui kolaborasi antara Ombudsman dan komunitas, pengawasan menjadi lebih dekat, cepat, dan manusiawi. Warga bisa melapor tanpa takut, mahasiswa bisa belajar dari realitas sosial, dan Ombudsman bisa memperkuat kehadirannya sebagai lembaga pengawas yang berpihak pada rakyat. Inilah bentuk pengawasan partisipatif yang ideal. Sebuah sinergi antara pengetahuan, kepedulian, dan keberanian.

Komunitas Anti Maladministrasi bukan proyek seremonial. Ia adalah gerakan moral yang menyala dari kesadaran kecil namun tulus. Seperti menyalakan lilin di tengah kegelapan, mungkin cahayanya belum mampu menerangi seluruh negeri, tapi ia cukup untuk menunjukkan arah bahwa bangsa ini masih punya harapan. Ketika mahasiswa, masyarakat, dan Ombudsman bersatu dalam semangat yang sama, maka sesungguhnya kita sedang menulis bab baru dalam sejarah pelayanan publik di Indonesia. Bab yang nantinya bisa berjudul "partisipasi, keadilan, dan harapan dalam pelayanan publik".

Terakhir, sepertinya slogan "Awasi, Tegur, Laporkan" akan semakin menggema. Slogan yang semula hanya menjadi seruan lembaga, tetapi kini bisa berubah menjadi kesadaran bersama. Langkah kecil yang dimulai nantinya akan menunjukkan hasil yang besar. Semoga komunitas ini dapat tumbuh besar, sebesar harapan publik untuk memperoleh keadilan dan pelayanan yang sesuai dengan standar layanan. Mari berpartisipasi dan berkontribusi untuk negeri.





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...