• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Kepala Daerah Diminta Peduli Kasus Bullying, Ombudsman Terima Laporan Dua Kasus Kekerasan di Sekolah
PERWAKILAN: JAWA TIMUR • Kamis, 13/03/2025 •
 
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jatim Agus Muttaqin

Surabaya, Bhirawa

Ombudsman RI Jawa Timur minta kepala daerah menaruh perhatian terhadap penanganan korban kekerasan (bullying) di sekolah. Yakni, dengan memastikan penanganan kasus bullying sesuai Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

"Kepala daerah harus memonitor pembentukan dan hasil kerja tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) di sekolah," kata Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur Agus Muttaqin, Selasa (11/3).

Sesuai Permendikbud 46/2023, sekolah wajib membentuk TPPK untuk mencegah dan menangani kasus bullying. Kerja TPPK dimonitor oleh satgas pencegahan dan penanganan kekerasan (SPPK) yang dibentuk dinas pendidikan. Kepala daerah sepatutnya memasukkan kinerja TPPK dan SPPK sebagai komponen indikator kerja utama (IKU) dinas pendidikan.

Dari data Ombudsman RI Jawa Timur, selama 2024-2025 ada dua laporan masyarakat dugaan maladministrasi penundaan berlarut, tidak kompeten, dan penyimpangan prosedur terhadap penanganan korban bullying siswa SD di Jember dan Lamongan. Pelapor adalah keluarga siswa korban kekerasan. Tim pemeriksa Ombudsman masih melakukan pemeriksaan.

Warga melapor karena tidak mendapat pelayanan penanganan kasus bullying. Di Jember, TPPK diduga mengabaikan prosedur penanganan kasus bullying di sekolah yang harus tuntas dalam 1 bulan. Bahkan, korban akhirnya mencari solusi sendiri dengan pindah sekolah.

Sedang di Lamongan, TPPK diduga melakukan penundaan berlarut, tidak kompeten, dan penyimpangan prosedur dalam penanganan korban kekerasan yang belakangan meninggal. Baik di Jember maupun Lamongan, SPPK tidak memonitor sekaligus mengambil alih penanganan di TPPK yang telah melewati 1 bulan.

Menurut Agus, dua pemicu terjadinya dugaan maladministrasi tersebut. Pertama, kepala daerah dan dinas pendidikan kurang memahami isi Permendikbud 46/2023, khususnya peran TPPK maupun SPPK. "Mereka acapkali tidak bisa mengidentifikasi perbedaan antara kasus bullying dan perilaku nakal umumnya anak," ujar Agus.

Kedua, minimnya pelatihan personel TPPK maupun SPPK terkait teknis pemeriksaan. "Mereka tidak terbiasa memeriksa yang harus dituangkan dalam BAP (berita acara pemeriksaan), sehingga hasil pemeriksaan mereka tidak terstandarisasi," kata Agus.

Sebab itu, dalam beberapa penanganan kasus bullying, pemeriksaan tidak berlanjut dengan penerbitan putusan. Pelatihan, lanjut dia, diperlukan karena setiap tahapan pemeriksaan harus dijamin keabsahan dan tercatat dalam BAP untuk pembuktian adanya dugaan kekerasan. Dengan demikian, kesimpulan TPPK nantinya dapat dipertanggungjawabkan secara administratif-substantif.

"Terlebih lagi rata-rata tugas TPPK bersifat tambahan yang diberikan kepada guru sekolah, sehingga tidak ada pelatihan khusus," ujar Agus.

Yang terakhir, menganggap wajar kasus bullying sebagai kenakalan anak dan tidak memproses lebih lanjut, menjadi faktor penghambat pelaksanaan Permendikbud 46/2023.

"Kasus yang viral hanya yang mengakibatkan cacat permanen, trauma berat, dan kematian. Padahal, apabila dicegah dengan implementasi Permendikbudriset 46/2023 tentunya kasus-kasus itu dapat dihindari," pungkas Agus. [geh.wwn]





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...