Kemerdekaan dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik

SETIAP kali bulan Agustus tiba, masyarakat Indonesia selalu menyambutnya dengan penuh sukacita. Momen peringatan kemerdekaan ini ditandai dengan berbagai kegiatan yang melibatkan seluruh lapisan, mulai dari lomba-lomba sederhana di lingkungan warga hingga acara seremonial berskala besar.
Semua itu menjadi gambaran semangat kebersamaan dan antusiasme rakyat dalam merayakan hari lahir bangsa. Namun, di balik keriuhan tersebut, penting untuk kembali merenungkan makna sesungguhnya dari kata merdeka.
Bagi sebagian orang, kemerdekaan kerap diartikan sebatas peristiwa sejarah ketika bangsa Indonesia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan kolonial. Padahal, arti merdeka jauh lebih luas. Merdeka berarti kemampuan bangsa maupun warganya untuk menentukan jalan hidup, mengambil keputusan tanpa paksaan, serta terbebas dari segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kemerdekaan seharusnya diwujudkan dalam bentuk jaminan bagi setiap warga untuk memperoleh akses yang sama terhadap hak-haknya. Jika pelayanan publik masih dipenuhi hambatan dan kerumitan birokrasi, maka cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan belum sepenuhnya hadir dalam kehidupan masyarakat. Lantas, bagaimana kita mengilhami kemerdekaan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia?
Pelayanan publik adalah cermin nyata kehadiran negara bagi rakyatnya. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan layanan yang cepat, mudah, terjangkau, transparan, dan akuntabel.
Namun, praktik yang berlangsung di lapangan kerap berbeda dari harapan. Banyak warga mengeluhkan prosedur bertele-tele, adanya biaya tambahan di luar aturan, hingga sikap diskriminatif dari oknum aparatur. Kondisi ini membuat masyarakat merasa jauh dari rasa merdeka ketika berurusan dengan birokrasi.
Tidak jarang, penyelenggaraan layanan justru menambah beban warga. Di sejumlah tempat, kebijakan efisiensi pernah berujung pada berkurangnya titik pelayanan sehingga masyarakat harus menempuh jarak lebih jauh hanya untuk mengurus kebutuhan dasar.
Keluhan juga muncul di sektor kesehatan, seperti keterlambatan penanganan akibat keterbatasan fasilitas dan tenaga medis, maupun di bidang pendidikan, di mana orang tua masih dibebani pungutan tambahan di luar ketentuan resmi. Situasi semacam ini memperlihatkan bahwa pelayanan publik masih sering dipandang sebagai beban birokrasi, bukan kewajiban negara untuk menjamin hak warganya.
Masalah pelayanan publik juga kerap muncul di sektor kesehatan dan pendidikan. Dalam layanan kesehatan, penundaan pelayanan, keterbatasan fasilitas, hingga diskriminasi terhadap pasien tertentu masih menjadi keluhan yang sering terdengar. Sementara itu di sektor pendidikan, pungutan yang tidak resmi serta keterbatasan akses di daerah tertinggal menunjukkan bahwa pelayanan publik belum sepenuhnya merdeka.
Setiap contoh itu memperlihatkan bahwa negara masih memiliki pekerjaan rumah (PR) besar untuk memastikan bahwa hak warga negara benar-benar dapat diakses secara adil, merata, dan tanpa hambatan birokratis.
Jika ditarik ke dimensi filosofis, pelayanan publik yang bermasalah dapat dipandang sebagai bentuk penjajahan struktural. Warga dipaksa tunduk pada sistem yang tidak berpihak, kehilangan waktu produktif, mengeluarkan biaya tambahan, bahkan kehilangan hak-hak sosialnya hanya karena prosedur yang semestinya sederhana.
Merdeka dalam konteks pelayanan publik berarti setiap warga diperlakukan setara tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau geografis. Konstitusi kita, khususnya Pasal 28D UUD 1945, menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Jika kepastian pelayanan publik masih lemah, maka warga sebenarnya masih "terjajah" dalam urusan administratif.
Sebenarnya, perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan pelayanan sudah tersedia. Selain UU 25/2009, terdapat juga UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menekankan kepastian hukum serta kejelasan prosedur. Namun, implementasi regulasi ini sering tidak konsisten.
Ombudsman RI dalam berbagai laporannya menyebutkan bahwa bentuk malaadministrasi yang paling sering terjadi adalah penundaan berlarut, prosedur tidak jelas, penyalahgunaan kewenangan, dan pungutan liar. Aduan masyarakat terbanyak datang dari sektor kependudukan, perizinan, pendidikan, dan kesehatan. Fakta ini menunjukkan bahwa kemerdekaan dalam pelayanan publik masih rapuh dan membutuhkan pengawasan yang lebih kuat, baik internal maupun eksternal.
Di satu sisi, upaya digitalisasi pelayanan publik belakangan menjadi prioritas pemerintah. Layanan berbasis teknologi diharapkan bisa memangkas birokrasi, mempercepat proses, dan menekan biaya. Namun, muncul tantangan baru berupa kesenjangan digital. Tidak semua warga memiliki akses internet yang stabil atau kemampuan memanfaatkan aplikasi layanan.
Jika digitalisasi diterapkan tanpa solusi inklusif, maka justru berpotensi menambah ketimpangan: masyarakat perkotaan lebih mudah mendapat layanan, sementara warga di pelosok makin tertinggal. Oleh karena itu, kombinasi antara layanan daring dan tatap muka tetap diperlukan agar semua warga merasakan manfaat yang sama.
Selain faktor regulasi dan teknologi, mentalitas aparatur juga sangat berpengaruh. Masih ada pandangan di kalangan birokrasi bahwa pelayanan hanyalah rutinitas administratif, bukan amanah konstitusi yang wajib dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Cara pandang seperti ini menempatkan masyarakat seolah "peminta" layanan, bukan pemilik hak.
Agar pelayanan publik benar-benar mencerminkan kemerdekaan, diperlukan perubahan budaya kerja: aparatur harus menempatkan masyarakat sebagai pusat pelayanan, memberikan layanan yang ramah, adil, dan profesional. Aparatur harus menempatkan warga sebagai subjek, bukan objek, serta memberikan pelayanan dengan prinsip service excellence. Tanpa perubahan mentalitas, sebaik apa pun regulasi yang dibuat akan sulit mewujudkan kemerdekaan dalam layanan publik.
Maka, ada beberapa langkah penting untuk memperbaiki keadaan. Pertama, setiap kebijakan efisiensi anggaran harus mempertimbangkan dampaknya terhadap akses layanan dasar warga. Kedua, perluasan layanan digital harus diiringi dengan peningkatan literasi teknologi serta penyediaan infrastruktur internet hingga ke pelosok.
Ketiga, sistem pengawasan perlu diperkuat, baik secara internal maupun eksternal, serta memastikan mekanisme pengaduan masyarakat lebih mudah diakses, hemat biaya, dan transparan. Keempat, perubahan budaya pelayanan harus digerakkan sejak pendidikan kedinasan hingga pelatihan aparatur secara berkala. Terakhir, partisipasi publik perlu terus didorong agar masyarakat berani menyuarakan keluhan dan menuntut perbaikan layanan.
Kemerdekaan bukanlah sekadar simbol perayaan setiap 17 Agustus, melainkan sebuah cita-cita yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam akses terhadap pelayanan publik. Negara harus memastikan bahwa tidak ada lagi warga yang dipersulit untuk mengurus dokumen dasar, mendapatkan layanan kesehatan, atau mengakses pendidikan hanya karena alasan birokrasi dan anggaran.