Kelangkaan BBM, Antrean Mengular: Bagaimana Hak Masyarakat?

Fenomena kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali menghantui masyarakat Kepulauan Bangka Belitung, khususnya di Pangkalpinang dan Sungailiat. Dalam beberapa waktu lalu, antrean panjang di SPBU menjadi pemandangan umum, disertai beragam spekulasi di media sosial mengenai penyebab kelangkaan. Satu hal yang tampak jelas: masyarakat dibuat menunggu dalam ketidakpastian. Pertanyaan sederhana seperti apa yang sebenarnya terjadi? kapan antrean berakhir? apakah stok benar-benar tersedia? tidak mendapat jawaban memadai dari pihak berwenang. Publik membutuhkan penjelasan yang transparan, bukan sekadar jawaban administratif.
Keresahan yang muncul tidak hanya disebabkan oleh lamanya antrean, tetapi juga ketidakpastian yang mengiringinya. Waktu produktif masyarakat terbuang, pekerja harian terpaksa menunda aktivitas, dan ojek serta pedagang mengalami penurunan pendapatan. Ketidaktersediaan BBM juga menghambat arus barang dan jasa, memperlambat kegiatan ekonomi lokal, dan menimbulkan biaya tambahan bagi masyarakat yang harus mencari BBM ke lokasi lain. Ketidakpastian inilah yang menekan masyarakat secara sosial dan psikologis sehingga kelangkaan BBM bukan lagi persoalan teknis, melainkan masalah pelayanan publik yang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari.
Situasi ini diperburuk oleh tidak adanya informasi resmi yang dapat menjadi rujukan masyarakat. Ketika jawaban konkret tidak diberikan, ruang kosong tersebut terisi asumsi dan rumor yang akhirnya mendorong terjadinya panic buying. Menurut Nata dan Holis (2021), panic buying muncul akibat kecemasan dan rasa tidak aman, yang kemudian mendorong masyarakat membeli barang dalam jumlah besar sebagai upaya perlindungan diri. Fenomena ini bukan semata perilaku berlebihan masyarakat, melainkan respons logis ketika penyelenggara layanan tidak memberikan kepastian.
Pola tersebut pernah terjadi pada kasus kelangkaan minyak goreng. Minimnya transparansi dari penyelenggara membuat masyarakat berbondong-bondong membeli barang karena takut kehilangan kesempatan mendapatkannya. Pengalaman tersebut membuktikan bahwa sumber masalah bukan hanya distribusi, tetapi lemahnya komunikasi publik dan kurangnya informasi yang dapat dipercaya. Hal yang sama kini terulang dalam kelangkaan BBM. Selama publik bergerak dengan asumsi, bukan informasi, maka keresahan akan terus membesar kemudian menunjukkan bahwa panic buying bukan semata kesalahan masyarakat, melainkan respons wajar terhadap ketiadaan kepastian layanan dan lemahnya komunikasi publik.
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sebagai acuan dasar penyelenggaraan pelayanan publik menegaskan asas-asas pelayanan publik diantara lain keterbukaan, kepastian waktu, kecepatan, kemudahan keterjangkauan, akuntabilitas, dan keadilan. Sehingga dengan fenomena kelangkaan BBM dan antrean yang mengular menimbulkan keresahan masyarakat tampak tidak memenuhi asas-asas tersebut. Masyarakat yang tidak memperoleh informasi yang jelas mengenai penyebab kelangkaan dan waktu normalisasi pasokan tidak memenuhi asas keterbukaan. Asas kepastian layanan juga terganggu karena masyarakat harus menunggu berjam-jam tanpa tahu kapan akan mendapatkan BBM untuk kendaraannya.
Bahan Bakar Minyak adalah komoditas strategis yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Pertamina dan Pertamina Patra Niaga sebagai badan usaha yang mendapat penugasan negara wajib memastikan ketersediaan dan distribusi BBM berjalan lancar. BPH Migas, sebagai badan pengatur, memiliki kewenangan menetapkan alokasi, kuota, dan mengawasi distribusi. Namun, kelangkaan yang kembali terjadi justru menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara kewajiban regulatif dan kenyataan di lapangan.
Pertamina Patra Niaga yang memiliki peran dalam distribusi BBM seharusnya menjadi pihak pertama yang hadir dan memberikan kejelasan Ketika terjadi gangguan pasokan. Dalam kondisi kelangkaan yang menimbulkan antrean panjang dan keresahan masyarakat, Pertamina Patra Niaga tidak hanya cukup memperbaiki aspek teknis di lapangan melainkan juga harus menunjukkan sikap proaktif dengan menyampaikan informasi resmi mengenai penyebab gangguan, Langkah korektif yang dilakukan, serta estimasi waktu normalisasi. Sikap terbuka seperti ini bukan hanya bagian dari kewajiban pelayanan publik, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap hak masyarakat untuk mengetahui situasi yang berdampak langsung pada aktivitas dan penghidupan mereka. Transparansi adalah instrument penting untuk meredam ketidakpastian dan mencegah asumsi liar yang justru memperburuk keadaan.
Di sisi lain, ketika gangguan pasokan menyebabkan masyarakat harus mengantre berjam-jam, kehilangan potensi pendapatan, hingga menanggung beban sosial-ekonomi, Pihak Berwenang selayaknya menunjukkan empati dan juga tanggung jawab moral. Dalam situasi seperti ini, permintaan maaf secara terbuka bukanlah kelemahan, melainkan sebuah sikap professional dan kedewasaan dari penyelenggaraan pelayanan publik. Permintaan maaf yang disertai penjelasan resmi melalui konferensi pers atau pernyataan terbuka justru dapat memulihkan kepercayaan publik dan menunjukkan bahwa mereka hadir bersama masyarakat dalam menghadapi masalah. Langkah komunikatif ini sekaligus menjadi bentuk komitmen bahwa pelayanan publik tidak hanya soal pasokan, tetapi juga tentang kejujuran, transparansi, dan kesungguhan melindungi hak-hak masyarakat sebagai penerima layanan.
Di sisi lain, Ombudsman Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 memiliki mandat mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk layanan BBM. Dalam konteks kelangkaan, Ombudsman dapat melakukan pemeriksaan laporan masyarakat, pemantauan langsung di SPBU, meminta klarifikasi kepada Pertamina Patra Niaga maupun BPH Migas, serta memastikan distribusi berjalan sesuai alokasi. Ombudsman juga dapat melakukan pengawasan berbasis data melalui Investigasi Atas Prakarsa Sendiri (IAPS) atau kajian sistemik untuk memetakan persoalan secara menyeluruh, terutama jika kelangkaan terjadi berulang. Melalui kewenangan tersebut, Ombudsman dapat memberikan saran perbaikan maupun rekomendasi kepada instansi terkait agar layanan BBM memenuhi standar dan tidak lagi menimbulkan keresahan publik.
Pada akhirnya, kelangkaan BBM yang terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung akhir-akhir ini tidak boleh dianggap kejadian musiman yang bisa diterima begitu saja. Masyarakat berhak mendapatkan kepastian dan kejelasan. Hak atas pelayanan yang baik adalah hak yang dijamin undang-undang. Jika tidak ada perbaikan dalam tata Kelola dan transparansi, maka fenomena antrean mengular akan terus berulang, hak masyarakat terabaikan dan keresahan masyarakat tidak akan pernah benar-benar selesai.
Oleh: Hapiz Jasman
(Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Bangka Belitung)








