• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Kebijakan Pencabutan Layanan KTP di Kecamatan: Bagaimana Hak Masyarakat?
PERWAKILAN: KEPULAUAN BANGKA BELITUNG • Senin, 23/06/2025 •
 

PELAYANAN publik adalah wujud nyata dari kehadiran negara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam sistem hukum Indonesia, pelayanan publik bukan sekadar rutinitas administratif, namun juga merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam ketentuan perundang-undangan.

Di antara bentuk pelayanan publik yang paling fundamental adalah pelayanan administrasi kependudukan, terutama layanan perekaman dan penerbitan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). KTP tidak hanya menjadi alat identitas resmi, tetapi juga merupakan hak dasar masyarakat yang kemudian merupakan identitas masyarakat yang menjadi syarat utama untuk mengakses berbagai layanan seperti pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, perbankan, hingga partisipasi politik.

Namun belakangan ini, muncul kebijakan pencabutan layanan perekaman KTP-el di tingkat kecamatan oleh pemerintah. Hal ini tentunya berpotensi menghambat akses masyarakat terhadap layanan tersebut. Di satu sisi, pemerintah berargumen sentralisasi ke ibu kota kabupaten/kota memangkas biaya operasional dan mempermudah pengelolaan data.

Namun, di sisi lain kebijakan ini justru menciptakan hambatan baru yang signifikan bagi masyarakat, khususnya di daerah pelosok. Ketika akses terhadap identitas legal seperti KTP dipersulit, individu sebagai warga negara berada dalam posisi yang rentan, karena tidak memiliki instrumen dasar untuk menjalankan peran sosial, politik, dan ekonominya dalam masyarakat. Sebagaimana dijelaskan oleh Marshall (1950) dalam teori citizenship, hak sipil dan hak sosial tidak dapat dijalankan secara penuh tanpa adanya jaminan identitas yang sah.

Dengan demikian, pembatasan akses layanan semacam ini secara tidak langsung dapat melemahkan kapasitas warga untuk berpartisipasi secara setara dalam kehidupan publik. Lantas, bagaimana pengaruh kebijakan ini pada layanan inklusif pada warga negara?

Tidak dapat dimungkiri, efisiensi anggaran adalah salah satu pertimbangan penting dalam tata kelola pemerintahan. Pada dasarnya sentralisasi layanan KTP dapat menghemat biaya operasional, memudahkan pengelolaan data, dan pengoptimalan sumber daya manusia. Secara teoretis, alasan tersebut terdengar logis namun dalam konteks pelayanan publik, efisiensi harus dimaknai sebagai pengelolaan sumber daya secara optimal tanpa mengorbankan kualitas dan jangkauan pelayanan kepada masyarakat.

Sejatinya efisiensi dalam pelayanan publik patutnya tidak hanya diukur dari sisi penyelenggara, namun juga harus mempertimbangkan biaya keseluruhan yang ditanggung oleh masyarakat dan negara secara holistik. Ketika kebijakan efisiensi justru menghilangkan titik-titik layanan di wilayah kecamatan, maka muncul risiko eksklusi terhadap kelompok masyarakat yang tinggal jauh dari pusat kota. Kebijakan ini secara praktis membebani masyarakat, terutama mereka yang berasal dari desa terpencil.

Sebagai ilustrasi, jika satu warga harus menempuh perjalanan ke ibu kota kabupaten sejauh 60 hingga 100 kilometer untuk melakukan perekaman data e-KTP, maka biaya transportasi pulang-pergi dapat mencapai Rp100.000 hingga Rp150.000, tergantung pada ketersediaan transportasi umum atau penggunaan kendaraan pribadi. Di luar itu, jika warga harus menginap karena antrean panjang atau keterlambatan pelayanan, tambahan biaya konsumsi dan penginapan bisa menambah beban Rp100.000-Rp200.000 per orang.

Selain biaya langsung, waktu produktif yang hilang juga perlu diperhitungkan. Dalam satu hari perjalanan dan antrean untuk mengurus KTP, seseorang bisa kehilangan potensi pendapatan harian, terutama bagi buruh harian lepas, petani, atau pedagang kecil. Jika nilai waktu produktif dihitung setara dengan upah harian rata-rata sebesar Rp80.000 hingga Rp100.000, maka total kerugian per individu bisa mencapai Rp300.000 hingga Rp500.000 hanya untuk satu kali proses perekaman data e-KTP. Nilai ini tentu jauh lebih tinggi dibandingkan jika layanan tersebut tersedia di kecamatan yang dapat diakses dengan waktu dan biaya lebih rendah.

Hal yang juga patut menjadi perhatian adalah potensi risiko sosial dari kebijakan ini. Kesulitan dalam mengakses layanan resmi mendorong warga mencari jalan pintas, termasuk praktik percaloan, pemalsuan dokumen, atau penggunaan identitas orang lain. Ironisnya, hal ini justru bertentangan dengan tujuan pemerintah menjaga integritas administrasi kependudukan. Maka, kebijakan sentralisasi layanan, alih-alih memperkuat sistem, justru berpotensi membuka celah baru bagi praktik tidak sah yang merugikan negara dan masyarakat.

Dalam regulasi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang merupakan payung hukum utama pelayanan publik di indonesia mengamanatkan setiap warga negara berhak atas pelayanan publik yang baik, mudah diakses, adil, dan sesuai standar. Kemudian sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik harus dilaksanakan atas asas kepentingan umum, efisiensi dan efektivitas. Namun, efisiensi yang mengorbankan aksesibilitas bagi sebagian besar masyarakat, terutama di pelosok, bukanlah demi kepentingan umum yang sebenarnya.

Selain itu, dalam regulasi, penyelenggara dalam hal ini pemerintah berkewajiban menyediakan sarana, prasarana, dan aksesibilitas bagi kelompok rentan serta meningkatkan kemudahan pelayanan dan juga mengutamakan kepentingan masyarakat. Dalam hal ini, kebijakan pencabutan layanan KTP di kecamatan tentunya berpotensi melanggar kewajiban penyelenggara dan pengabaian terhadap hak masyarakat selaku penerima layanan.

Penting untuk dipahami bahwa pelayanan administrasi kependudukan di tingkat kecamatan dan desa bukanlah hal yang asing. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, pemerintah daerah dapat mendistribusikan sebagian fungsi layanan kependudukan kepada camat dan kepala desa. Semangat undang-undang ini adalah mendekatkan layanan kepada masyarakat sehingga dengan adanya pencabutan layanan KTP di kecamatan merupakan langkah mundur dari semangat ini.

Selain dari hal yang diuraikan, kebijakan ini juga memiliki dampak sosial yang tentu tidak bisa diabaikan. Ketika layanan menjadi jauh dari jangkauan masyarakat, potensi keterlambatan pencatatan kependudukan meningkat: banyak warga menjadi tidak terdata, tidak memiliki identitas resmi, atau kesulitan mengakses bantuan sosial dan layanan publik lainnya sehingga situasi ini dapat memperbesar potensi ketimpangan sosial dan ketidakadilan.

Dengan demikian, pencabutan layanan KTP di kecamatan dengan dalih efisiensi berpotensi abai terhadap kompleksitas realitas sosial dan hukum. Selain itu, kebijakan ini mengorbankan hak dasar warga negara atas akses pelayanan publik yang mudah, murah, dan adil.

Tentunya secara terbuka pemerintah menghadapi tantangan efisiensi anggaran karena hakikatnya mengejar efisiensi itu penting, tetapi tidak boleh mengabaikan hak dasar masyarakat dan mandat hukum. Ketika layanan yang dahulunya mudah dijangkau oleh masyarakat dicabut, maka negara harus hadir dengan mengganti layanan tersebut dengan layanan yang setara.

Beberapa solusi yang sejalan dengan keadilan sosial perlu dipertimbangkan terhadap kebijakan ini seperti pemetaan kebutuhan dan alternatif layanan, layanan keliling (mobile service) secara intens, optimalisasi sistem layanan digital, dan kemitraan dengan pemerintah desa atau stakeholder lain. Dengan demikian, efisiensi tetap dapat dicapai tanpa mengorbankan hak masyarakat sebagai penerima layanan.

Bagaimanapun, mengelola anggaran secara efisien adalah tanggung jawab pemerintah yang tidak bisa dihindari. Namun, pelayanan publik bukan hanya tentang hitung-hitungan anggaran. Ia adalah cermin sejauh mana negara hadir dan peduli terhadap warganya.

Mengurangi akses terhadap layanan administrasi dasar seperti KTP sama saja dengan menjauhkan negara dari rakyatnya. Dengan demikian, pemerintah harus mempertimbangkan solusi terhadap kebijakan pencabutan layanan KTP di kecamatan.

Kebijakan publik yang baik harus berdasarkan evidence-based policy, mempertimbangkan kondisi masyarakat lokal, dan disusun secara partisipatif. Jika tidak maka efisiensi akan berubah menjadi ekslusi dan hak publik menjadi korban dari sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Juga, efisiensi anggaran pemerintah tentu tidak boleh dibangun di atas penderitaan dan pengorbanan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil dan kelompok rentan. Bukan sentralisasi buta, melainkan pemerintah harus segera mengevaluasi kebijakan ini dan memberikan solusi strategis dan konkret dengan menerapkan inovasi dalam pendekatan pelayanan yang memadukan teknologi, layanan keliling, pendampingan, dan optimalisasi penempatan petugas, dengan prinsip utama: mendekatkan layanan kepada masyarakat.

Dengan cara itulah efisiensi yang sejati yakni efisiensi yang berkeadilan, berpihak pada rakyat, dan taat hukum dapat terwujud. Hak masyarakat dalam pelayanan dasar yang mudah diakses adalah harga mati dalam negara hukum dan demokrasi, bukan komoditas yang bisa ditukar dengan anggaran yang lebih ringan di belakang meja birokrasi. (*)


Oleh: Hapiz Jasman - Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Bangka Belitung





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...