Jaminan Negara dalam Menyampaikan Pengaduan

Penyediaan akses pengaduan dalam pelayanan publik adalah bukti nyata keseriusan pemerintah dalam mewujudkan good governance. Melalui UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, negara memberikan ruang yang luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan pengaduan jika menemukan pelayanan publik yang menyimpang. Selain itu, masyarakat sebagai pengawas eksternal memiliki hak untuk menyampaikan pengaduan atas kualitas layanan yang diterima.
Berbicara tentang pengaduan, tidak banyak masyarakat dan instansi penyelenggara yang memahami bahwa sejatinya penyampaian pengaduan oleh masyarakat adalah bagian dari hak asasi manusia. Hak asasi ini tertuang dalam Pasal 44 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa "setiap orang berhak sendiri maupun bersama-sama mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usaha kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Selain itu, dalam pasal 40 UU 25 Tahun 2009 masyarakat juga memiliki hak untuk mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik kepada penyelenggara, ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Perlu dipahami bahwa regulasi diatas adalah bentuk jaminan negara terhadap pengaduan pelayanan publik yang menjadi tolok ukur transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam melayani masyarakat. Namun, tak jarang masyarakat kurang memahami batasan-batasan dalam menyampaikan pengaduan hingga terperangkap dalam tindakan kriminal berupa pencemaran nama baik maupun ujaran kebencian. Oleh karena itu, penting untuk memahami batasan-batasan dalam menyampaikan pengaduan dan meninjau sejauh mana negara menjamin hak masyarakat dalam menyampaikan pengaduan.
Akhir-akhir ini seringkali kita melihat bahwa dalam menyampaikan pendapat, kritik maupun pengaduan atas pelayanan publik yang kurang memuaskan acapkali masyarakat bersikap lost control dan meluapkan segala kekecewaannya yang ditujukan secara personal menyerang oknum pada lembaga tertentu melalui berbagai platform di dunia maya. Kemudian setelah ter-blow up oleh media justru masyarakat yang dilaporkan oleh oknum tersebut atas dugaan pencemaran nama baik. Lantas, dimanakah letak kesalahan masyarakat sehingga terjerumus dalam tindak pidana?
Menurut Pasal 45 ayat (4) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dijelaskan bahwa " Setiap Orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya ha1 tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah)." Kemudian dalam pasal 310 KUHP juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik adalah sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal yang dimaksudkan agar diketahui umum. Kedua ketentuan pasal tersebut mengingatkan kita untuk senantiasa berhati-hati dan lebih arif dalam bersikap. Terlebih dalam penyampaian kritik dan saran, jangan sampai kritik atau saran maupun keluhan yang ingin disuarakan justru menjadi blunder karena dianggap menyerang pribadi seseorang. Namun, perlu juga digaris bawahi bahwa seseorang tidak dapat dikenai pasal pencemaran nama baik jika penyampaian informasi tersebut ditujukan untuk kepentingan umum, untuk membela diri dan untuk mengungkap kebenaran. Masyarakat akan diberikan hak untuk membuktikan kebenaran tujuan dari tindakannya. Apabila tidak dapat membuktikan kebenarannya maka tindakan tersebut digolongkan sebagai fitnah atau penistaan sehingga dapat dikenai hukum pidana. Lalu, bagaimana sebenarnya cara yang arif dan bijaksana dalam menyampaikan kritik, saran dan pengaduan dalam pelayanan publik agar bebas dari tuntutan pencemaran nama baik?
Terhadap hal diatas, dalam menyampaikan pengaduan sebaiknya masyarakat melaporkan kepada pihak atau lembaga yang tepat. Meskipun di era digitalisasi pengaduan melalui media sosial cenderung lebih cepat direspon tetapi sebagai pengguna layanan harus berhati-hati dalam menyampaikan pengaduan di media sosial. Penyampaian pengaduan harus menggunakan bahasa yang santun dan tidak menyerang secara personal nama baik oknum tertentu. Sehingga masyarakat tidak dapat dipersekusi karena masyarakat memiliki hak yang dilindungi oleh hukum dalam menyampaikan pengaduan terhadap pelayanan publik. Hak tersebut tertuang pada Pasal 18 Undang-Undang 25 Tahun 2009 yaitu masyarakat memiliki hak diantaranya adalah hak dalam mengetahui kebenaran isi standar pelayanan; mengawasi pelaksanaan standar pelayanan; mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan; mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan; memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman; mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan ombudsman; dan mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.
Selain itu penyelenggara pelayanan publik juga harus terbuka terhadap segala kritik dan saran dari masyarakat untuk kepentingan kemajuan layanan. Namun, tak jarang masih dapat ditemui penyelengara pelayanan publik yang anti kritik dan bersikap feodal. Ketika mendapat kritik dari masyarakat bukan berbenah melainkan menunjukkan resistensi yang kuat. Hal ini yang kemudian menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Penyelenggara negara yang seharusnya mengayomi dan menerima aspirasi dari masyarakat justru membentengi diri dari masyarakat. Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, penyelenggara pelayanan publik memiliki hak dalam melakukan pembelaan terhadap pengaduan atau tuntutan yang tidak benar. Artinya jika penyelenggara merasa bahwa kesalahan yang dituduhkan tidak benar maka penyelenggara juga dijamin oleh negara akan hak-hak dasar dan juga hak keadilannya. Sehingga penyelenggara tidak perlu bersikap resisten terhadap kritikan dari masyarakat. Apabila terbukti bersalah, tidak semua kesalahan dari penyelenggara pelayanan publik termasuk dalam ranah hukum pidana, terdapat beberapa alternatif penyelesaian seperti mematuhi saran perbaikan, tindakan korektif maupun rekomendasi dari Ombudsman sebagai bentuk penyelesaian.
Jangan sampai sikap penyelenggara yang resisten ketika mendapatkan kritikan dari masyarakat memunculkan stigma negatif bahwa pengaduan terhadap pelayanan publik merupakan hal yang buruk dan masyarakat yang menyampaikan pengaduan dianggap sebagai provokator dan tidak dapat diajak bekerja sama sehingga masyarakat memilih bersikap permisif terhadap pelayanan publik yang tidak sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku. Sebagai contoh misalnya, masyarakat yang mengadu terkait pungutan liar yang terjadi di sekolah justru mendapatkan tindakan diskriminatif baik oleh kepala sekolah, guru maupun wali murid lainnya. Hal ini terjadi karena bagi sebagian masyarakat pungutan liar tidak berpengaruh terlalu signifikan terhadap perekonomiannya. Namun, bagi masyarakat yang kurang mampu pungutan liar sangat memberatkan dan mereka berharap pungutan liar dilingkungan sekolah ditiadakan dengan membuat pengaduan kepada lembaga yang berwenang seperti Ombudsman. Setelah laporan tersebut ditangani dan diselesaikan justru masyarakat yang mengadukan hal tersebut dikucilkan karena dianggap tidak dapat diajak bekerja sama dan membuat program sekolah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga masyarakat memilih untuk bungkam ketika pungutan liar kembali terjadi di lingkungan sekolah agar tidak didiskriminasi.
Melihat uraian-uraian diatas, seyogianya masyarakat tidak perlu lagi khawatir ketika menyampaikan pengaduan karena hak-haknya telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang 25 Tahun 2009. Pemerintah juga telah memfasilitasi kanal pengaduan secara nasional bagi masyarakat yang disebut Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) - Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!) yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 3 Tahun 2015. Sistem ini dibentuk untuk membuka peluang seluas-luasnya kepada masyarakat Indonesia dalam menyampaikan keluh kesahnya terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia dan untuk mendorong No Wrong Door Policy sehingga pengaduan dari manapun dan jenis apapun dapat disalurkan kepada penyelenggara pelayanan publik yang berwenang. Kemudian bagi instansi penyelenggara sudah saatnya terus berbenah untuk memberikan pelayanan prima bagi masyarakat dengan bersikap dewasa dan terbuka dalam menerima pengaduan dari masyarakat. Dengan adanya kesadaran yang baik antara masyarakat dalam menyampaikan pengaduan dan penyelenggara yang terbuka dalam menerima kritik saran dan pengaduan, semoga dapat menciptakan iklim yang baik dalam percepatan pemenuhan pelayanan publik yang berkulitas. (LN)
Oleh: Leny Suviya Tantri
(Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Bangka Belitung)








