IPP SMA/SMK Negeri, Pungutan Yang (In) Konstitusional?

Sejak dilantik pada 17 April 2025 yang lalu, gebrakan demi gebrakan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung semakin menarik untuk diikuti. Satu per satu kebijakan yang disampaikan ke publik ramai menuai respons masyarakat.
Sejauh ini respons masyarakat masih terpantau cukup baik. Coba lihat kebijakannya, mulai dari pemutihan pajak, berjanji akan menyederhanakan birokrasi, berkomitmen akan menyelesaikan permasalah sedimentasi alur Muara Pangkalbalam dan Jelitik, bahkan yang terbaru kebijakan menghentikan IPP (Iuran Pendanaan Pendidikan) pada SMA/SMK Negeri se Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Terkhusus untuk kebijakan penghentian IPP, banyak yang menyambut baik tapi juga tak sedikit yang kontra. Bahkan DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung meminta untuk dilakukan evaluasi terlebih dahulu sebelum kebijakan tersebut dijalankan. Usut punya usut, ternyata ada dampak lain yang akan terjadi jika IPP tersebut benar-benar dihentikan. Akan ada sekitar 300 Tenaga Kependidikan yang terancam akan dirumahkan karena sumber pembiayaan belanja pegawainya sepenuhnya bergantung dari IPP.
Lantas, bagaimana sebenarnya publik harus bersikap? Bagi masyarakat yang saat ini mengalami perekonomian yang sulit, kebijakan ini jelas akan sangat membantu. Tapi kan ada lagi yang harus diperhatikan, nasib Tenaga Kependidikan yang terancam dirumahkan itu juga tanggung jawab pemerintah. Bagaimana sesungguhnya konstruksi hukum dalam memotret IPP di Bangka Belitung? Apakah IPP adalah bagian dari pungutan yang konstitusional atau malah sebaliknya?
Mengenal IPP
Memang lazim diketahui bahwa untuk pendidikan dasar (SD/SMP Negeri), haram hukumnya ada pungutan pendidikan kepada wali murid. Hal tersebut dikarenakan pendidikan dasar tersebut termasuk ke dalam program wajib belajar yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun pada pendidikan menengah (SMA/SMK Negeri), pendanaan pendidikan dapat juga dibebankan kepada wali murid melalui pungutan atau yang juga sering disebut dengan IPP. Secara sederhana IPP merupakan bentuk peran serta masyarakat dalam pendanaan pendidikan, hal ini memang sudah diatur dalam PP Nomor 48 Tahun 2008 juncto Perda Kepulauan Bangka Belitung Nomor 2 Tahun 2018.
Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, praktik pembebanan iuran pada jenjang SMA/SMK Negeri sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam definisinya, IPP (pungutan) adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan menengah yang berasal dari peserta didik atau orang tua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan menengah.
Pengaturan IPP ini dapat dilihat pada Pergub Kepulauan Bangka Belitung 78/2017 dan Kepgub Kepulauan Bangka Belitung No.188.4/13/DISDIK/2018 yang mengatur batasan besaran pungutan maksimal Rp75.000,00/peserta didik/bulan. Namun ada beberapa hal yang menarik dalam praktik pemberlakuan IPP tersebut. Masih belum ditemukan dasar regulasi yang mengatur detail teknis pengelolaan IPP yang telah dikumpulkan dan pertanggungjawabannya.
Apakah dikelola secara terpadu melalui Dinas Pendidikan, atau dikelola oleh Komite Sekolah ataukah dikelola langsung oleh satuan pendidikan. Begitu juga dengan pertanggungjawaban penggunaan dana IPP tersebut, apakah sudah dilakukan pertanggungjawaban yang memenuhi kaidah-kaidah yang akuntabel dan transparan?
//Dialektika Konstitusionalitas Pungutan IPP
Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum". Ini berarti bahwa semua tindakan negara harus berdasarkan hukum yang berlaku, dan tidak ada kekuasaan yang dapat bertindak sewenang-wenang. Tak berhenti di situ, dalam UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, kembali menegaskan bahwa terdapat kewajiban pemenuhan asas kepastian hukum dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan.
Dalam UU tersebut telah menjabarkan bahwa yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum†adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajekan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Sekali lagi, harus mengutamakan landasan sesuai peraturan perundang-undangan.
Kembali ke dalam pengaturan “pungutan†IPP di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, secara regulasi sekurang-kurangnya diatur dalam a. PP Nomor 48 Tahun 2008, b. Perda Kepulauan Bangka Belitung Nomor 2 Tahun, c. Pergub Kepulauan Bangka Belitung 78/2017 dan d. Kepgub Kepulauan Bangka Belitung No.188.4/13/DISDIK/2018. Namun pernahkah terlintas, apakah regulasi pungutan IPP tersebut sudah konstitusional?
Harus dipahami suatu regulasi dinyatakan konstitusional ketika peraturan tersebut memenuhi kriteria kesesuaian dengan prinsip-prinsip yang ada dalam konstitusi (UUD 1945). Ini berarti setiap regulasi yang telah ditetapkan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, baik dalam rumusan maupun dalam penerapannya.
Selanjutnya, merujuk pada Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, hierarki peraturan perundang-undangan terdiri dari a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, d. Peraturan Pemerintah, e. Peraturan Presiden, f. Peraturan Daerah Provinsi dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Yang dimaksud dengan “hierarki†dalam UU tersebut yakni setiap jenis Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jadi secara substantif muatan rumusan berkaitan dengan pungutan IPP haruslah sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika memang bertentangan, idealnya regulasi tersebut dapat batal demi hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagaimana pengaturan hierarki diatas (lex superior derogat legi inferiori). Lalu, bagaimana konstitusi mengatur tentang pendidikan dan pungutan?
Sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) dan (2) UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapat dan mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa pendidikan bukan hanya hak dasar yang harus diperoleh oleh setiap individu, tetapi juga menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
Namun faktanya, penyediaan Pendidikan yang gratis untuk jenjang Pendidikan Menengah (SMA/SMK) masih belum bisa terpenuhi karena masih harus menyesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Oleh karena itu dalam UU Nomor 20 Tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan masih membuka ruang pendanaan yang bersumber dari pungutan untuk jenjang Pendidikan menengah. Sekali lagi, untuk Pendidikan menengah bukan untuk Pendidikan Dasar (SD/SMP Negeri).
Namun ada beberapa hal yang sepertinya luput diperhatikan pembuat regulasi pungutan IPP. Jika memperhatikan definisi dari pungutan, terdapat unsur-unsur memaksa dalam pungutan IPP karena bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan menengah.
Sekali lagi, dipertegas bahwa pungutan IPP bersifat memaksa. Padahal dalam konstitusi, sesungguhnya sudah mengatur jelas tentang pungutan. Lihat saja dalam Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undangâ€. Diulangi lagi, pungutan yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. Tapi faktanya, setiap regulasi yang mengatur pungutan IPP tidak diatur dalam Undang-Undang. Pengaturan pungutan IPP di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung justru diatur dalam level PP, Perda, Pergub dan Kepgub.
Jika dikembalikan kepada hierarki peraturan perundang-undangan, tampak jelas bahwa pengaturan pungutan IPP tersebut sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan konstitusi. Karena secara factual tidak pernah terdapat Undang-Undang yang secara spesifik mengatur pungutan IPP di Indonesia.
Pertentangannya tampak pada jenis regulasi yang mengatur pungutan IPP di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Harusnya pengaturan pungutan diatur melalui Undang-Undang, bukan melalui aturan yang lebih rendah. Belum lagi jika berbicara tentang pengaturan tentang tata kelola keuangan dan pertanggungjawabannya. Jelas masih banyak regulasi pungutan IPP yang mungkin saja akan bertentangan dengan tata kelola good governance.
Karena menurut United Nation Development Programme (UNDP) sebagaimana yang dimuat dalam A. Ubaedillah, Pancasila Demokrasi dan Pencegahan Korupsi, hal. 210-214, ada 8 karakteristik dari good governance yang harus dipenuhi yakni pertama participation (partisipasi), kedua rule of law (berbasis hukum), ketiga transparency (terbuka), keempat responsiveness (responsif), kelima consensus orientation (orientasi konsensus), keenam equity (kesetaraan), ketujuh effectiveness and efficiency (efektif dan efisien) dan kedelapan accountability(akuntabel).
Quo vadis kepastian hukum?
Memang selalu menarik jika membahas tentang tata kelola pemerintahan yang berbasis pada kepastian hukum. Walau seringkali dijumpai praktik-praktik pemerintahan yang tampak benar diluar, namun kerangka pikiran yang kritis harus terus ditumbuh kembangkan agar tercipta kesimbangan. Pengaturan pungutan IPP misalnya.
Publik harus juga bisa mengkritisi pemberlakuan Pergub Kepulauan Bangka Belitung 78/2017 dan Kepgub Kepulauan Bangka Belitung No.188.4/13/DISDIK/2018 yang secara kasat mata sangat berpotensi bertentangan dengan konstitusi. Karena yang namanya pungutan harus diatur melalui undang-undang bukan melalui aturan yang lebih rendah hierarkinya.
Kemudian merujuk pada kebijakan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung yang akan menghentikan pungutan IPP, secara pribadi penulis sangat mendukung kebijakan tersebut. Walau harus juga diakui akan ada dampak lainnya seperti akan ada sekitar 300 Tenaga Kependidikan yang terancam akan dirumahkan, idealnya Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus bisa mencari solusi bagi tenaga kependidikan yang terdampak.
Bahkan bila perlu, inilah momentum yang paling pas untuk melakukan pembahasan secara mendalam dan menyeluruh tentang pemberlakuan pungutan IPP. Dan syukurnya, akhir-akhir ini DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sangat responsif dan fokus dalam pengawasan implementasi penghentian pungutan IPP ini. Evaluasi pemberlakuan pungutan IPP sudah wajib dilakukan.
Terlepas nantinya kebijakan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung akan dilanjutkan secara serius dengan mencabut Pergub Kepulauan Bangka Belitung 78/2017 tentang Pendanaan Pendidikan dan Keputusan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung No.188.4/13/DISDIK/2018 tentang Batasan Maksimal Pungutan Yang Dilakukan Oleh SMA, SMK, SLB Dari Peserta Didik atau Orang Tua/Wali Peserta Didik atau tidak, menarik untuk kita tunggu bagaimana arah, tujuan dan kepastian hukum dalam pemberlakuan pungutan IPP.
Yah kalaupun masih tetap berlaku dan dipertahankan, semoga nantinya ada civil society yang berani mengajukan permohonan uji materi regulasi ini ke mahkamah konsitusi. Karena memang harus diakui, hanya Mahkamah Konsitusi yang berhak memutuskan apakah IPP SMA/SMK Negeri, termasuk pungutan yang konstitusional atau sebaliknya. **
Oleh Kgs. Chris Fither
Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung