Etika Pemanfaatan Fasilitas Sekolah oleh Guru: Antara Tugas dan Bisnis

DALAM konsiderans Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, telah dijelaskan bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Harapannya dalah mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut, figur seorang guru memiliki fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis sehingga perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat.
Namun dalam praktiknya, masih dijumpai beberapa perilaku oknum guru yang tidak mencerminkan sikap teladan dan terpuji.
Salah satunya adalah penggunaan fasilitas sekolah oleh guru untuk kegiatan les tambahan berbayar yang dilakukan di lingkungan satuan pendidikan. Praktik ini terlihat seolah lumrah, namun sejatinya memuat banyak persoalan baik dari sisi etika, keadilan, maupun kepatuhan terhadap regulasi. Fasilitas sekolah ruang kelas, kursi, papan tulis, hingga listrik dan pendingin ruangan merupakan aset negara yang dibangun dan dikelola dengan dana publik.
Aset ini seharusnya digunakan untuk kepentingan seluruh peserta didik, bukan dijadikan instrumen untuk menambah penghasilan secara pribadi. Ketika ruang kelas diubah menjadi tempat les berbayar, dan siswa dikenakan pungutan agar bisa ikut serta, maka terjadi pergeseran fungsi yang tidak sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.
Guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga pendidik, pembimbing, dan pengarah tumbuh kembang peserta didik. Dalam sistem pendidikan nasional, peran guru sangat strategis. Mereka menjadi ujung tombak dalam membentuk generasi yang cerdas secara intelektual, berkarakter secara moral, dan berdaya saing dalam kehidupan sosial.
Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Tugas tersebut bukan hal yang ringan. Dibutuhkan dedikasi, kesabaran, dan komitmen tinggi. Karena itulah profesi guru selalu ditempatkan dalam posisi mulia. Mereka tidak hanya menyampaikan materi, tapi juga menanamkan nilai, menumbuhkan karakter, dan membentuk masa depan peserta didik.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan, guru tentu memiliki hak untuk menggunakan sarana dan prasarana sekolah.
Penggunaan ini sah dan bahkan diperlukan selama digunakan untuk menunjang pelaksanaan tugas profesionalnya. Masih merujuk pada UU Nomor 14 Tahun 2005, disebutkan bahwa guru berhak memperoleh fasilitas untuk menunjang pelaksanaan tugas keprofesionalannya. Hal ini mencakup penggunaan ruang kelas, alat bantu ajar, media pembelajaran, dan perangkat teknologi pendidikan.
Namun penting digaris bawahi, bahwa hak tersebut bukan untuk mengambil keuntungan pribadi, melainkan untuk mendukung tugas mendidik secara efektif dan profesional.
Ketika sarana publik yang disediakan negara digunakan untuk kepentingan komersial pribadi seperti kegiatan les berbayar maka itu sudah menyimpang dari semangat undang-undang. Penggunaan fasilitas negara tidak boleh menimbulkan konflik kepentingan. Apalagi jika pelaksanaan les berbayar tersebut kemudian berdampak pada objektivitas penilaian, atau memunculkan diskriminasi di antara peserta didik. Dalam hal ini, etika profesi dan integritas moral guru kembali diuji.
Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, telah dijabarkan kewajiban guru dimana seorang guru wajib menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.
Dengan demikian dalam pemanfaatan setiap sarana dan prasarana pembelajaran, guru tidak boleh secara sesuka hati menggunakannya. Guru harus tetap mematuhi norma, etika bahkan regulasi terkait agar tidak dipandang melakukan maladministrasi dalam penyalahgunaan wewenang atau perbuatan yang tidak patut.
Ketidakpatutan yang Harus Dihindari
Selain fenomena pemanfaatan setiap sarana dan prasarana pembelajaran yang diluar ketentuan, muncul fenomena lain yang juga cukup mengkhawatirkan. Ruang-ruang kelas yang semestinya menjadi tempat pembelajaran formal justru digunakan untuk kegiatan bimbingan belajar (les) berbayar yang diselenggarakan oleh guru di lingkungan satuan pendidikan.
Kegiatan ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan etis, tetapi juga mengarah pada pelanggaran regulasi yang berlaku. Ironisnya, kegiatan les tersebut sering kali disertai dengan praktik-praktik yang tidak patut. Dalam praktiknya, tak jarang peserta didik yang mengikuti les di sekolah mendapatkan perlakuan istimewa, seperti pemberian kunci jawaban LKS, bocoran jawaban pekerjaan rumah, hingga bocoran soal-soal ujian.
Sementara itu, peserta didik yang tidak mengikuti les tidak memperoleh akses yang sama, sehingga menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan dalam proses evaluasi pembelajaran.
Dalam Pasal 181 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, disebutkan bahwa: "Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan."
Larangan les dalam satuan pendidikan bukanlah tanpa alasan. Salah satu alasan utama adalah potensi konflik kepentingan antara profesionalisme guru sebagai pendidik dan bisnis pribadi mereka. Guru yang mengadakan les di satuan pendidikan tempat mereka mengajar berpotensi memiliki kepentingan ganda.
Di satu sisi, guru memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa. Di sisi lain, mereka memiliki kepentingan pribadi untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari les yang mereka adakan.
Konflik kepentingan ini dapat memicu berbagai masalah. Misalnya, guru mungkin merasa tertekan untuk memberikan nilai yang lebih tinggi kepada siswa yang mengikuti les mereka, atau mungkin menggunakan posisi mereka sebagai guru untuk mempromosikan les mereka kepada siswa. Hal ini dapat menciptakan ketidakadilan dan merusak kepercayaan siswa dan orang tua terhadap sistem pendidikan.
Lebih jauh lagi, les di lingkup satuan pendidikan dapat memicu praktik "jual-beli" nilai, di mana siswa yang tidak mengikuti les merasa dirugikan karena tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan nilai yang baik.
Praktik ini dapat merusak integritas sistem pendidikan dan menghancurkan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Oleh karena itu, larangan les di lingkup satuan pendidikan adalah langkah yang tepat untuk mencegah konflik kepentingan dan memastikan bahwa pendidikan diberikan secara adil dan profesional.
Penyelenggaraan les sebaiknya dilakukan di luar satuan pendidikan guna menjaga marwah profesi guru, menghindari benturan kepentingan, dan mencegah terjadinya praktik-praktik tidak etis yang dapat mencederai keadilan bagi peserta didik.
Ketika kegiatan les diselenggarakan secara terpisah dari institusi formal, maka profesionalisme guru tetap terjaga, integritas sistem pendidikan tidak tercemar, dan setiap siswa memiliki kesempatan belajar yang setara tanpa tekanan ekonomi maupun diskriminasi perlakuan.
Sudah saatnya seluruh pihak kembali menempatkan sekolah sebagai ruang belajar yang bersih dari kepentingan pribadi, demi menjamin terciptanya pendidikan yang adil, berintegritas, dan berpihak kepada semua anak bangsa.
Tak berhenti disitu, sebagai profesi yang bermartabat sudah seharusnya guru dapat berusaha maksimal menjadi tauladan yang baik. Dengan demikian diharapkan prinsip-prinsip "ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani" dapat benar-benar terimplentasi dengan maksimal.