Dugaan Pungli PPDB 11 Miliar, MaTA: Praktik Tahunan Merugikan Siswa Miskin Wajib Dihentikan

BANDA ACEH - Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menyebutkan temuan Ombusman terhadap dugaan pungutan liar (pungli) senilai lebih dari Rp 11 miliar dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru Madrasah (PPDBM) 2025 di Banda Aceh, memang kerap terjadi setiap tahunnya. Menurutnya praktik seperti ini menyalahi ketentuan dan wajib dihentikan karena berdampak kepada siswa dan siswi kurang mampu.
"MaTA mendukung langkah yang dilakukan oleh Ombudsman, walaupun kita menemukan bahwa ada framing, ada buzzer yang memang sengaja dikerahkan untuk menyudutkan Ombudsman, akan tetapi pengutipan ini jelas menyalahi terhadap ketentuan. Artinya kalau misalnya pihak sekolah mengatakan bahwa ini adalah kesepakatan, nah kesepakatan itu sifatnya sukarela, tidak ada pemaksaan, tidak dipatok harus sekian juta," Kata Alfian, Ahad, 17 Agustus 2025.
Alfian mengatakan di Banda Aceh masih terdapat masyarakat miskin. Ia menilai, jika ada anggapan bahwa sekolah-sekolah di Banda Aceh hanya untuk orang-orang yang memiliki ekonomi lumayan, sama saja dengan menutup akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin.
Menurutnya, hal itu tidak adil dan tidak mungkin diterapkan.
"Saya pikir kalau memang asumsi ataupun narasi itu yang dibangun, berarti orang-orang miskin, anak-anak siswa miskin yang ada di kota Banda Aceh mereka harus sekolah di Lamtamot. Itu enggak mungkin, jadi praktik-praktik tidak baik ini wajib harus dihentikan apapun alasannya," ucapnya.
Alfian menegaskan, bagi MATA setiap bentuk pengutipan yang sifatnya tidak sukarela adalah ilegal dan masuk kategori pungutan liar. Ia menilai, praktik tersebut tidak boleh ditoleransi karena dana yang dikumpulkan justru digunakan untuk kepentingan tertentu. Karena terjadi setiap tahun, menurutnya Ombudsman mengambil langkah tepat dalam hal ini.
"Saya pikir madrasah harus membangun formulasi yang baru. Jadi ketika misalnya itu ada pengutipan, itu harus sukarela. Kalau sukarela saya pikir itu beda ya, tetapi kalau ini kan memang ada dipatok, jadi ada agen yang mencari keuntungan. Ketika momentum-momentum siswa baru masuk," ucapnya.
Alfian menjelaskan, praktik pungli muncul dalam berbagai modus baru. Misalnya, dengan dalih pembelian pakaian sekolah atau tambahan program pembelajaran. Menurutnya, pola-pola semacam itu tetap termasuk pungli karena bersifat memaksa dan tidak sukarela. Ia menyebutkan perlu ada formulasi baru yang disusun bersama agar wali murid dari kalangan ekonomi lemah tidak terbebani.
"Kita mendukung proses perbaikan. Proses dalam arti ke depan ini harus ada semacam formulasi yang tidak hanya dibangun di internal sekolah, karena yang selama ini terjadi, sekolah A membuat aturan begini, sekolah B membuat aturan seperti itu. Saya pikir tidak bisa seperti itu. Berbicara dalam konteks Banda Aceh harus membangun formulasi, dilibatkan semua pihak untuk menentukan sehingga masyarakat-masyarakat yang memang kelas menengah anaknya juga bisa mendapatkan akses pendidikan," jelasnya.
Terkait kemungkinan pidana, Alfian menilai hal itu jelas lebih mudah dibuktikan. Menurutnya ketika tidak memiliki dasar hukum, itu adalah pungli.
Ia menambahkan, praktik serupa juga pernah terjadi di Jakarta dengan modus pengadaan perlengkapan sekolah. Pungli, kata dia, bukan hanya soal permintaan uang 100 atau 200 ribu rupiah, melainkan bisa berbentuk berbagai modus.
"Makanya saya bilang kalau memang tidak punya dasar aturan, makanya dibangun formulasi. Nah oke, misalnya, ini ada kebutuhan sekolah apa, jadi ada formulasi yang dibangun dari itu bersama-sama tidak beda-beda. Ini kan sekolah A beda, sekolah B beda. Jadi kesannya kan enggak ada aturan," tutupnya.***