Distorsi Fungsi Paguyuban Wali Murid dalam Satuan Pendidikan

Fenomena pungutan liar atau pungli dalam satuan pendidikan merupakan salah satu jenis laporan maladministrasi yang sering dilaporkan masyarakat kepada Ombudsman. Oknum yang sering dilaporkan masyarakat adalah pendidik, tenaga kependidikan maupun anggota komite sekolah. Modus yang digunakan juga bermacam-macam seperti pembayaran seragam sekolah, biaya operasional, upah tenaga kebersihan, uang kas, uang buku LKS dan lain sebagainya.
Bahkan, saat ini bentuk pungli dalam satuan pendidikan semakin berkembang dengan memanfaatkan paguyuban wali murid sebagai inisiatior dan koordinator pungutan. Lantas apakah pungutan yang dikoordinir oleh paguyuban diperbolehkan? Peraturan terkait pungutan liar dalam satuan pendidikan telah tertuang dalam Pasal 181 dan 198 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa baik pendidik, tenaga kependidikan maupun komite sekolah dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.
Selain itu, mereka juga dilarang melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang menciderai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik dan melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ironisnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pungutan tetap dilakukan dengan alasan telah mendapatkan persetujuan atas hasil musyawarah atau kesepakatan bersama dari wali murid. Dan yang menjadi koordinator pengumpulan uang pungutan tersebut bukan pendidik, tenaga kependidikan maupun komite sekolah melainkan paguyuban wali murid.
Dalam peraturan tersebut, memang tidak secara eksplisit melarang paguyuban wali murid untuk melakukan pungutan, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjawab permasalahan ini. Pertama, sekolah yang melaksanakan program wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar seperti Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat, akan dijamin oleh pemerintah dan pemerintah daerah sampai terpenuhinya Standar Nasional Pendidikan (SNP) tanpa memungut biaya investasi dan biaya operasi dari peserta didik, orang tua, atau walinya. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang wajib belajar dan Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 60 Tahun 2011 Tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan Pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.
Artinya, segala bentuk pungutan oleh siapapun termasuk paguyuban wali murid dalam jenjang pendidikan dasar tidak diperbolehkan. Kedua, pungutan dan sumbangan merupakan dua hal yang berbeda. Menurut Pasal 1 angka 2 dan 3 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012 Tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar, Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar. Sedangkan sumbangan bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya. Sehingga, segala bentuk permintaan dana kepada wali murid yang sifatnya mengikat, ditentukan jumlah dan jangka waktunya dikategorikan sebagai pungutan bukan sumbangan.
Ketiga, pada dasarnya sebagian anggota paguyuban wali murid merupakan anggota komite sekolah. Dan yang harus dipahami oleh semua pihak adalah komite sekolah hanya diperbolehkan untuk menggalang sumbangan bukan pungutan. Penggalangan dana dilakukan dengan cara komite sekolah mengajukan proposal yang diketahui oleh sekolah kemudian hasilnya dibukukan dalam rekening bersama dan harus dipertanggungjawabkan secara transparan. Sumbangan tersebut juga harus dilakukan melalui upaya yang kreatif dan inovatif. Hal ini dijelaskan pada Pasal 10 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 Tentang Komite Sekolah. Diluar hal tersebut, segala bentuk pungutan yang dilakukan oleh komite sekolah tidak dapat dibenarkan.
Keempat, paguyuban wali murid sejatinya dibentuk untuk melibatkan orang tua siswa dalam meningkatkan proses dan hasil belajar siswa serta membangun dan menciptakan sinergitas antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Bentuk pelibatannya pun telah diatur dalam Pasal 6 dan 16 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017 Tentang Pelibatan Keluarga Pada Penyelenggaraan Pendidikan yang pokoknya antara lain berperan aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan satuan pendidikan maupun komite sekolah, turut andil dalam pencegahan kekerasan, pornografi dan penyalahgunaan narkoba serta menjadi anggota komite sekolah dan berperan dalam penguatan pendidikan karakter anak.
Pembiayaan pelibatan keluarga dalam satuan pendidikan dapat bersumber dari APBN, APBD, sumbangan, bantuan atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai peraturan perundang-undangan. Maka bentuk pungutan yang diinisiasi oleh paguyuban wali murid bukan termasuk bentuk pelibatan orang tua dalam satuan pendidikan dan tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Kelima, jika alasan dibenarkannya pungutan terhadap wali murid karena adanya kesepakatan yang telah disetujui semua pihak, hal ini tetap tidak dapat menjadi dasar dibenarkannya pungutan tersebut karena menurut Pasal 1320 KUH Perdata syarat sah perjanjian terdiri dari empat hal yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang. Dalam hal ini, kesepakatan paguyuban wali murid untuk melakukan pungutan kepada wali murid dianggap batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat keempat dari syarat sah perjanjian karena pungutan dalam satuan pendidikan dilarang menurut peraturan perundang-undangan.
Dengan alasan lima hal ini, segala bentuk pungutan dalam satuan pendidikan baik yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, komite sekolah maupun paguyuban wali murid harus ditiadakan. Guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru harus menjadi tauladan bagi siswanya dan tidak menutup mata ketika mengetahui sesuatu yang salah dalam lingkup sekolah.
Begitupun dengan Kepala Sekolah, sebagai pengawas kegiatan pendidikan harus melakukan pemantauan, supervisi, serta evaluasi secara berkala dan berkesinambungan agar praktek pungli dalam bentuk apapun dapat ditiadakan. Selain itu, peran pemerintah daerah melalui dinas pendidikan dan kebudayaan daerah setempat juga turut mengoptimalkan peran pengawasan dan pembinaan ini.