• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Digitalisasi Pelayanan Publik: Tantangan Bagi Imigran Digital?
PERWAKILAN: KEPULAUAN BANGKA BELITUNG • Senin, 26/05/2025 •
 

Oleh Zennia Yulanda

Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Dewasa ini masyarakat semakin menuntut adanya ketersediaan layanan publik yang lebih cepat, mudah, transparan, dan responsif. Menjawab hal tersebut pelayanan publik berbasis elektronik (digital) hadir guna meningkatkan kualitas, efisiensi, dan aksesibilitas layanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat.

Di tengah berbagai manfaat yang ditawarkan, digitalisasi dalam pelayanan publik justru menjadi tantangan tersendiri bagi "imigran digital". Apa itu imigran digital dan kaitannya dengan pelayanan publik?


Digitalisasi Layanan

Digitalisasi pelayanan publik merupakan proses yang mengubah layanan konvensional berbasis manual menjadi layanan berbasis teknologi digital. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), didefinisikan pelayanan publik berbasis digital sebagai penyelenggaraan pelayanan publik yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.

Dimana memuat prinsip dasar pelayanan digital yang mudah diakses, terintegrasi, dan andal, serta aman. Saat ini jenis kategori pelayanan yang wajib didigitalkan adalah administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan, perizinan, dan sosial. Misalnya :

1. Aplikasi dukcapil online : untuk menerbitkan Akta Kelahiran, Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan dokumen penduduk lainnya;

2. Layanan perpajakan online (e-Filing) : untuk pelaporan dan pembayaran pajak secara daring;

3. Aplikasi mobile JKN : yang merupakan aplikasi resmi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk cek status kepesertaan, pembayaran iuran daring, cek riwayat pelayanan kesehatan, pencarian fasilitas kesehatan, dan akses fasilitas kesehatan lainnya.

Pada tahun 2024 menurut data dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) terdapat lebih dari 27.400 aplikasi pemerintahan yang telah dikembangkan baik di tingkat pusat maupun daerah. Di Indonesia berbagai kemudahan ini disasarkan kepada masyarakat pengguna layanan publik.

Dengan memanfaatkan teknologi yang memungkinkan masyarakat untuk mengakses layanan publik kapan saja dan dari mana saja, serta mengurangi biaya operasional.

Tapi, sadarkah kita kemajuan ini tidak serta-merta berjalan mulus bagi seluruh kalangan masyarakat? Justru, penerapannya membawa berbagai tantangan dan fenomena sosial yang menarik untuk dibahas bagi kelompok imigran digital, yakni individu yang lahir sebelum era digital dan tidak tumbuh bersama teknologi digital sejak dini.


Mengenal imigran digital

Istilah imigran digital dikenalkan oleh Marc Prensky untuk merujuk pada individu yang lahir sebelum berkembangnya teknologi digital secara masif. Imigran digital umumnya adalah mereka yang lahir sebelum tahun 1980-an. Mereka mengalami masa remaja dan dewasa awal dalam era analog, sebelum adanya kehadiran komputer pribadi, internet dan ponsel pintar.

Imigran digital mempunyai karakteristik yang mengalami kesulitan beradaptasi dengan teknologi baru, cenderung mengandalkan media konvensional dan tatap muka, serta memiliki keterbatasan dalam literasi digital dan kepercayaan terhadap sistem digital.

Banyak imigran digital yang tidak terbiasa dengan navigasi aplikasi atau situs web layanan publik atau memahami prosedur yang bersifat digital. Masih banyak platform layanan yang belum ramah bagi pengguna dengan keterbatasan teknologi. Ditambah lagi tidak semua imigran digital memiliki perangkat yang memadai atau koneksi internet yang stabil.

Hal ini memunculkan kecemasan teknologi bagi imigran digital penerima layanan, ada kekhawatiran untuk melakukan kesalahan, mengakibatkan mereka enggan mencoba layanan daring dan resisten terhadap perubahan karena ketakutan akan ketidakpastian serta minimnya pemahaman terhadap manfaat inovasi digitalisasi layanan tersebut.

Bisa kita lihat pemberitaan di media Suara.com, misalnya seorang warga lanjut usia (lansia) asal Pulo Gadung, Jakarta Timur mengeluhkan soal kesulitan mendaftar program pemeriksaan kesehatan gratis lewat aplikasi "Satu Sehat" sehingga dibantu oleh petugas untuk mengunduh hingga melakukan pendaftaran.

Selanjutnya, penelitian dari Universitas Muhamadiyah Sidoarjo juga mengungkapkan hal yang sama, banyak warga terutama lansia yang harus meminta bantuan perangkat desa untuk mengurus administrasi kependudukan melalui aplikasi Pelayanan Via Online (Plavon) Dukcapil Kabupaten Sidoarjo dikarenakan rendahnya literasi digital.

Contoh lainnya penelitian di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kota Pekanbaru menyebutkan bahwa masyarakat enggan menggunakan e-SPT atau surat pemberitahuan untuk melaporkan perhitungan atau pembayaran pajak secara online karena kurangnya pemahaman tentang sistem tersebut, sehingga masyarakat lebih memilih melaporkan SPT secara manual dengan datang ke kantor langsung.

Sejalan dengan contoh diatas, survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Katadata Insight Center (KIC) tahun 2021 menyebutkan bawa dari 10.000 responden yang tersebar di 34 Provinsi, mayoritasnya atau 72% responden tak pernah menggunakan internet untuk mengakses layanan publik.

Melihat contoh diatas, tentunya kita tidak dapat menutup mata bahwa masih ada tantangan yang dihadapi imigran digital dalam penerapan digitalisasi layanan publik. Jika tidak mampu mengadopsi atau beradaptasi imigran digital berisiko tertinggal dari akses layanan publik yang esensial.


Inklusi digital dalam pelayanan publik

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah memerlukan manajemen perubahan yang efektif, dimana mampu mengkomunikasikan manfaat inovasi secara jelas dan mendukung terhadap proses transisi bagi kelompok imigran digital melalui inklusi digital pelayanan publik. Inklusi digital pelayanan publik ini merupakan upaya untuk memastikan semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali dapat mengakses layanan publik berbasis digital. Lalu, apa saja yang bisa dilakukan?

Pertama, pendidikan literasi digital. Pemerintah perlu menginisiasi pelatihan literasi digital pada tingkat lokal melalui kerjasama dengan desa/ kelurahan, sekolah dan lembaga masyarakat. Materi pelatihan dikemas praktis dan kontekstual, seperti cara menggunakan gawai / smartphone dan cara mengakses layanan publik yang dibutuhkan.

Kemudian, membangun program "relawan digital" juga bisa menjadi solusi dengan melibatkan generasi muda untuk mendampingi digital imigran. Selain itu, pemerintah juga harus menyediakan modul pembelajaran yang mudah dipahami, disertai ilustrasi, video panduan, dan instruksi suara dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokal.

Kedua, desain aplikasi sederhana dan ramah pengguna.

Aplikasi pelayanan publik sebaiknya memiliki tampilan yang sederhana dengan panduan langkah yang jelas. Menyediakan layanan call center, chatbot dan vitur suara (voice assistant) untuk membantu pengguna yang kesulitan.

Ketiga, tetap menyediakan layanan manual. Penyelenggara pelayanan publik tetap menyediakan layanan manual bagi masyarakat yang belum bisa mengakses layanan digital. Membuka posko bantuan digital di kantor pemerintahan atau tempat umum guna membantu masyarakat mengakses layanan tersebut. Sehingga masyarakat bisa belajar teknologi secara bertahap. Selanjutnya bisa juga dibantu dengan pelaksana yang berkompeten guna memberikan edukasi akses layanan publik yang disediakan.

Keempat, pemerataan dan penunjang infrastruktur. Menurut data Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) tahun 2024, pilar infrastruktur berada pada nilai 52,7 yang menunjukkan adanya kesenjangan akses digital pada 40% wilayah nasional yang belum memiliki konektivitas internet yang memadai atau blankspot.

Menyikapi hal ini pemerintah harus berupaya membangun infrastruktur yang memadai di setiap daerah, sehingga dapat menurunkan tingkat ketergantungan terhadap layanan konvensional. Setiap desa/ kelurahan dapat memiliki "Pusat Digital" sebagai ruang pelatihan atau konsultasi digital yang menyediakan komputer, koneksi internet, serta pendamping.

Kelima, kebijakan yang mendukung. Kebijakan pelayanan publik harus mengakomodasi inklusi digital sebagai prinsip utama, melarang diskriminasi terhadap masyarakat yang belum melek digital. Setiap rencana pengembangan sistem layanan digital harus memasukkan starategi pelibatan kelompok imigran digital dalam perencanaannya. Penyelenggara pelayanan publik wajib melaporkan capaian inklusi digitalnya sebagai bagian dari akuntabilitas layanan, serta melaporkan capaian inklusi digital sebagai bagian dari akuntabilitas layanan.

Maka dari itu secara keseluruhan, jika dikelola dengan benar, pelayanan publik berbasis digital memiliki potensi besar untuk mempermudah kehidupan masyarakat. Namun, transformasi ini mungkin malah menyusahkan golongan tertentu dalam masyarakat jika tidak diperhatikan masalahnya. Oleh sebab itu, untuk memastikan bahwa inovasi teknologi dapat bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat, diperlukan komitmen dan strategi bersama antara pemerintah dan masyarakat.**





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...