• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Dampak Viral-Based Policy Dalam Pelayanan Publik
PERWAKILAN: KEPULAUAN BANGKA BELITUNG • Rabu, 30/04/2025 •
 

Dewasa ini media sosial (medsos) bukan hanya menjadi platform komunikasi yang luas, tetapi juga telah menjadi sarana masyarakat menyuarakan aspirasi, keluhan, hingga kritik terhadap pemerintah dan seringkali kritik tersebut membentuk opini publik yang berpengaruh pada kebijakan. Fenomena ini mendorong lahirnya apa yang dikenal sebagai Viral-based policy, yaitu kebijakan publik yang lahir atau berubah karena adanya tekanan atau viralitas isu di medsos. Benar saja, menurut data dari komdigi.go.id, jumlah pengguna medsos aktif di Indonesia mencapai 143 juta pada januari 2025 yang mencakup 50,2% dari populasi nasional yang mencapai 285 juta jiwa. Tentunya, data tersebut menunjukkan betapa besarnya potensi penggunaan medsos sebagai wadah partisipasi publik.

Sebagai contoh, akhir-akhir ini masyarakat aktif menunjukkan kekuatannya lewat medsos dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Ketika, Presiden Prabowo meralat kebijakan yang sebelumnya diberlakukan mengenai distribusi gas elpiji 3 kg atau "gas melon". Sebelumnya gas melon hanya bisa dibeli lewat distributor resmi. Namun, dalam hitungan hari setelah keluhan masyarakat viral di medsos akibat adanya korban dan keresahan besar, gas melon kembali beredar melalui pengecer.

Contoh lainnya, ketika secara mendadak Menpan RB mengeluarkan surat edaran resmi pada 7 Maret 2025 yang tertulis pengangkatan CPNS bergeser ke 1 Oktober 2025, sedangkan pengangkatan PPPK baru dilakukan pada 1 Maret 2026. Sontak hal ini memicu kekecewaan masyarakat. Publik merespon dengan membuat petisi terbuka penolakkan penundaan pengangkatan CPNS dan PPPK dengan judul "Berikan Percepatan Pengangkatan CPNS Tahap 1". Selain itu, publik gencar memprotes dan membuat tagar #saveCASN2024 di medsos. Setelah viral dan menuai kontroversi, drama pengangkatan CPNS dan PPPK 2024 yang sempat mundur, pemerintah lalu mengumumkan pada 17 Maret 2025 bahwa CPNS akan diangkat paling lama Juni 2025 dan pengangkatan PPPK akan diselesaikan paling lama Oktober 2025.

Contoh diatas menunjukkan besarnya pengaruh medsos terhadap pola komunikasi dan keikutsertaan publik dalam proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik di era digital saat ini. Lalu lebih dalam lagi apa sebenarnya Viral-based policy?

Viral-based policy dan dampaknya

Pernakah kita melihat kebijakan yang tiba-tiba dibatalkan atau diubah setelah menuai protes dan tekanan publik di media sosial? Itulah sederhananya pengertian Viral-based policy. Pengertian lainnya Viral-based policy merupakan kebijakan yang dimodifikasi atau dibentuk karena adanya tekanan masyarakat yang masif di medsos.

Menurut Puspita, dkk 2024 menjelaskan bahwa Viral-based policy merupakan konsep keputusan kebijakan dipengaruhi oleh kemarahan masyarakat atau kampanye medsos yang viral. Pendekatan ini membuat pemerintah merenspons masalah yang telah menjadi pusat perhatian publik di medsos.

Selanjutnya, Magriasti dkk 2023 menyebutkan bahwa Viral-based policy membuka partisipasi publik yang lebih luas untuk mengakses informasi tentang kebijakan yang sedang dibahas, memberikan pendapat mereka, dan berpartisipasi dalam diskusi publik melalui medsos. Hal ini memungkinkan suara masyarakat yang tidak terdengar sebelumnya untuk didengarkan dan mempengaruhi kebijakan. Masyarakat dapat dengan mudah mengadakan demonstrasi, petisi, atau kampanye untuk mengubah kebijakan pemerintah yang dianggap tidak menguntungkan masyarakat berkat kecepatan informasi yang cepat melalui medsos. Gerakan sosial seperti ini dapat menimbulkan tekanan politik yang besar dan memaksa pemerintah untuk mengubah kebijakannya.

Namun, apakah Viral-based policy lebih banyak memberikan manfaat atau berbahaya bagi tata kelola pemerintah?

Harus diakui, Viral-based policy memiliki berbagai dampak terhadap terselenggaranya kebijakan pemerintahan. Kebijakan yang dimaksud merupakan kumpulan tindakan, sikap, rencana program, dan keputusan yang dilakukan oleh pihak terkait dalam upaya menyelesaikan persoalan. Dampak positifnya adalah pertama peningkatan responsivitas pemerintah, pemerintah lebih tanggap kepada permasalahan yang sebelumnya luput dari perhatian. Kedua, partisipasi publik yang luas dengan membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pelayanan publik. Ketiga, mempercepat reformasi birokrasi dengan memicu evaluasi pemerintah terhadap sistem yang dinilai lamban. Dampak tersebut sejalan dengan pendapat Puspita, dkk 2024 yang menjelaskan bahwa pendekatan Viral-based policy dapat memberikan ruang perbaikan kebijakan dan peluang partisipasi langsung publik dalam mengawal kebiijakan.

Namun, tak dapat dipungkiri dampak buruk Viral-based policy adalah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Seolah-olah pemerintah tidak berkomitmen penuh menuangkan kebijakan yang pro rakyat. Sehingga, menyulut ketidakstabilan implementasi regulasi di lapangan. Bayangkan saja, sempat mencuat narasi "Kabur Aja Dulu" yang mengekspresikan kegelisahan publik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial, pendidikan dan keadilan dalam negeri pada publik.

Meskipun terdengar santai, "Kabur Aja Dulu" menyimpan kritik tajam, yang merefleksikan fenomena dimana pejabat publik atau pelaksana pemerintah menghindar dari tanggung jawab atau tidak akuntabel. Padahal, pelayanan publik idealnya menjadi jantung dari pemerintahan, tempat rakyat mendapatkan hak-hak dasarnya dengan cepat, adil, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, realita di lapangan kerap memperlihatkan wajah lain, yang bukan hanya sekadar menghindar dari masalah, sikap ini telah menjadi salah satu penyebab utama ketidakpuasan masyarakat terhadap birokrasi dan layanan pemerintahan.

Lihat saja Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, salah satu asas penyelenggaraan pelayanan publik adalah akuntabilitas. Secara sederhana, akuntabilitas berarti pertanggungjawaban yang mengharuskan setiap penyelenggara pelayanan publik baik instansi pemerintah maupun aparaturnya untuk : bertanggung jawab atas semua keputusan tindakan dan hasil layanan; memberikan penjelasan kepada publik tentang proses pelayanan yang diberikan; siap diawasi dan dievaluasi, serta bersedia menerima konsekuensi. Tanpa akuntabilitas pelayanan publik sangat rentan menjadi tidak transparan, tidak adil, dan jauh dari aspirasi rakyat.

Pelibatan mayarakat dalam kebijakan publik

Di satu sisi Viral-based policy membuat birokrasi lebih responsif, tetapi di sisi lain kebijakan yang terlalu reaktif berisiko tidak efektif dan tidak berkelanjutan, karena tidak melalui analisa yang mendalam sehingga berpotensi menimbulkan masalah baru tanpa alternatif solusi yang matang. Agar pelayanan publik tetap berkualitas, pemerintah perlu menyeimbangkan antara merespons isu viral dan memastikan kebijakan yang dibuat berbasis data, kajian mendalam, serta partisipasi publik yang konstruktif. Sehingga, Viral-based policy bisa menjadi instrumen perbaikan pelayanan publik, bukan reaksi sesaat yang bersifat simbolik.

Viral-based policy menunjukkan bahwa peran publik atau masyarakat sipil menjadi penting dalam mengawal kebijakan. Untuk menunjukkan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengidentifikasi, menilai, mengevaluasi masalah, dan menentukan apakah masalah tersebut memerlukan intervensi kebijakan, serta akhirnya mendukung kebijakan tersebut. Pemerintah harus melibatkan masyarakat sejak awal dalam menentukan, membuat, dan mengawasi implementasi kebijakan publik yang dilaksanakan. Peranan masyarakat pada proses ini menunjukkan adanya demokrasi dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat, serta meminimalisasi dampak buruknya. Peranan ini juga dikuatkan dalam peraturan perundang-undangan.

Regulasi kunci yang menunjukkan betapa pentingnya peranan masyarakat ini termuat dalam :

1. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

2. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; dan

3. Pasal 41 dan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Melihat poin diatas tampak jelas posisi strategis masyarakat guna mengawal kebijakan publik. Memang idealnya, masyarakat menyampaikan aspirasi melalui jalur formal, bukan hanya lewat viralitas. Tapi, penggunaan media sosial juga tidak dapat disalahkan sebagai jalur penyampaian aspirasi masyarakat. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Chanan, dalam Conflict and Communication Online, Vol.2, No. 1, 2002 : 2, yang menjelaskan bahwa media merupakan alat untuk mengekspresikan interpretasi dan ekspektasi dari entitas nonpemerintah dan juga alat untuk mengekspresikan dan menyebarkan suatu kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah.

Secara keseluruhan, partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik menjadi kunci peningkatan akuntabilitas pemerintah. Dimana pemerintah menjamin akuntabilitasnya dengan menerapkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang termuat pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, meliputi: kepastian hukum; kemanfaatan; ketidakberpihakan; kecermatan; tidak menyalahgunakan kewenangan; keterbukaan; kepentingan umum; dan pelayanan yang baik.

Dari Viral-based policy, pemerintah tidak anti kritik. Akan tetapi kedepannya, pemerintah harus mengutamakan analisa kebijakan mendalam sebelum di implementasikan, memperkuat sistem pengaduan resmi, mengedukasi publik tentang patisipasi konstruktif, sembari terus memantau dan mengevaluasi penerapan kebijakan yang dilaksanakan karena "Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang mensejahterakan rakyat". (ZN)


Oleh : Zennia Yulanda

Asisten Perwakilan Ombudsman RI

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...