“Angin Segar dan Catatan Kritis PP 28 2025”

Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) merupakan perizinan berusaha yang menggunakan pendekatan berbasis risiko yang diperoleh dari hasil analisis risiko setiap kegiatan usaha.Tidak dapat dipungkiri, bahwa proses perizinan yang tumbuh dan berkembang dengan baik mampu memberikan Multiplier Effect bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yang pada muara akhirnya adalah untuk kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan.
Pertumbuhan dan perkembangan perizinan yang baik, dimulai dari proses perizinan yang menerapkan prinsip kecepatan, kemudahan, keterjangkauan, dan akuntabilitas, Oleh karena itu, penyederhanaan perizinan berusaha melalui penerapan PBBR perlu dilakukan reformasi kebijakan secara berkelanjutan untuk mewujudkan kemudahan dalam memulai dan menjalankan usaha guna mendukung cipta kerja.
Patut diapresiasi, lahirnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang diundangkan pada tanggal 5 Juni 2025, yang telah mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang merupakan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 I Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Kehadirannya merupakan penyempurna untuk semakin memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha terutama mengenai proses bisnis dan jaminan kualitas layanan, dan memberikan "angin segar" bagi seluruh pelaku usaha untuk mengembangkan ruang usahanya agar lebih progresif, dan menjawab tantangan zaman yang semakin maju, tinggi teknologi, dan terbuka.
Namun, selain menghadirikan sisi "Angin Segar", PP 28 Tahun 2025, juga memiliki beberapa tantangan tersendiri. Pertama, Penyelenggara Perizinan, harus maksimal melakukan sosialiasi beberapa pasal dan ayat yang "Urgen" dan berpotensi memunculkan banyak sekali pertanyaan bagi pelaku usaha yang mungkin belum "Ngeh" dengan regulasi baru, seperti Pasal 549 yang menyatakan "Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: ketentuan pelaksanaan PBBR yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dikecualikan bagi Pelaku Usaha yang persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU nya telah terbit, telah terverifikasi, atau telah disetujui dan masih berlaku sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, kecuali ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini lebih menguntungkan bagi Pelaku Usaha. Persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU yang memiliki nomenklatur berbeda sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan nomenklatur yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini".
Tantangan Kedua, yaitu pada Pasal 550 yang menyatakan "Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini". Pasal ini tentu akan memunculkan permasalahan baru yaitu yang terkait dengan kalimat "dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini". Seharusnya dipertegas saja pada bagian yang sudah tidak berlaku lagi dan bagian yang masih berlaku saat ini.
Tantangan Ketiga, yaitu pada Pasal 551 yang menyatakan "Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini wajib ditetapkan paling lama 4 (empat) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. Sistem OSS dan Sistem Indonesia National Single Window wajib disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lama 4 (empat) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan". Tentu, 4 (empat) bulan bukan waktu yang lama untuk masing-masing lembaga atau Kementerian melakukan perubahan dan penyesuaian regulasi. Karena jika tidak, maka akan terjadi sedikit kekacauan pada masa transisi pelaksanaan sebuah regulasi baru yang akan berdampak pada Standar Pelayanan dan Standar Operasional Prosedur pelayanan perizinan.
Tantangan Keempat, yaitu pada level Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, harus segera responsif dan adaptif dalam melakukan sosialisasi kepada para pelaku usaha dan/atau pengguna layanan, serta melakukan banyak sekali penyesuaian regulasi lama terhadap regulasi yang baru.
Selain itu, karena PBBR ini sangat erat hubungannya dengan digitalisasi, maka penting untuk segera melakukan singkronisasi data dan integrasi data serta membangun infrastruktur digital yang refresentatif agar tujuan dan prinsip kecepatan, kemudahan, keterjangkauan, dan akuntabilitas dapat terwujud. Dan agar Perizinan Berusaha Berbasis Resiko tidak berubah menjadi "Perizinan Berusaha Banyak Resiko".
Penulis:
Tariyah. S.Pd.I.,M.H
(Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Barat)








