Melirik Wisata Halal Sebagai Peluang Peningkatan Pelayanan Publik

PERKEMBANGAN pariwisata halal saat ini telah meningkat seiring dengan minat wisatawan yang berlibur ke negara yang memiliki objek pariwisata halal. Berdasarkan data Global Islamic Economy Report 2020/2021, pengeluaran konsumen muslim untuk makanan dan minuman halal, farmasi dan kosmetik halal, serta pariwisata ramah muslim dan gaya hidup halal pada 2019 mencapai nilai 2,2 triliun USD. Sementara itu, konsumsi produk halal Indonesia pada 2019 mencapai 144 miliar USD. Oleh karenanya, potensi business plan pariwisata halal di Indonesia sangat layak untuk dikembangkan karena diprediksi akan makin meningkat tiap tahunnya.
Indonesia sebagai salah satu negara muslim terbesar di dunia tampaknya tidak mau menyia-nyiakan 'julukan' tersebut, ditambah lagi, banyaknya potensi potensi di antaranya wisata alam yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Fokus pemerintah Indonesia telah mulai melirik dan memprioritaskan peluang menjanjikan sektor ini. Dengan demikian, setiap daerah di Indonesia berpotensi menjadi daerah tujuan wisata halal internasional, apalagi jika sebelumnya daerah tersebut sudah termasyhur sebagai daerah tujuan wisata.
Seperti Kepulauan Bangka Belitung, terkenal memiliki alam eksotik, adat dan budaya unik, keramahan masyarakat, kuliner, serta fasilitas ibadah yang cukup memadai. Hal tersebut merupakan unsur yang penting, akan tetapi apabila dikaitkan dengan konsep wisata halal maka unsur-unsur tersebut tidak cukup bagi suatu daerah jika ingin diakui sebagai daerah tujuan wisata halal.
Wisata halal ditinjau dari Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 ayat (2) merupakan wisata yang sesuai dengan prinsip syariah (syariat Islam). Hal ini berarti segala aktivitas dalam kegiatan wisata seperti ketentuan sistem transaksi keuangan, ketentuan hotel, destinasi wisata, pusat refleksi, biro perjalanan, maupun ketentuan mengenai pemandu wisata harus memenuhi kriteria syariat Islam, dan aktivitasnya juga harus menjauhi hal-hal yang diharamkan syariah.
Kemudian jika ditinjau lagi pada variabel destinasi wisata syariah, menurut Fatwa DSN MUI Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 ayat (5) menyebutkan definisinya sebagai kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas ibadah dan umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang sering terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Menilik definisi di atas maka destinasi wisata syariah atau daerah tujuan wisata halal dapat menjadi peluang lompatan dalam peningkatan pelayanan publik suatu daerah. Destinasi wisata syariah mesti memperhatikan pemenuhan unsur penting mengenai standar infrastruktur publik dan pengakuan terhadap suatu produk kehalalan itu sendiri melalui sertifikasi halal. Kedua hal tersebut merupakan bagian dari core business dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Jadi, sekaligus dapat kita pahami bahwa konteks pelayanan publik tidak hanya terbatas pada pelayanan yang ramah dengan jargon senyum, salam, sapa, sopan, dan santun seperti yang banyak dikenal selama ini. Namun, makna pelayanan publik memiliki spektrum yang sangat luas berkaitan dengan rangkaian kegiatan pemenuhan hak dan kebutuhan masyarakat.
Rujukan utama dari definisi pelayanan publik termuat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang menjelaskan bahwa pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang- undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Berdasarkan definisi tersebut ruang lingkup pelayanan publik meliputi barang publik, jasa publik, dan pelayanan administratif. Komponen dalam lingkup pelayanan publik tersebut harus prima agar Bangka Belitung mampu bersaing sebagai daerah tujuan wisata halal berkelas.
Pelayanan Barang dan Jasa sebagai Penunjang Utama Wisata Halal
Dalam pendekatan modifikasi model IMTI (Indonesia Muslim Travel Index), indikator atau kriteria penilaian dalam pariwisata halal di antaranya meliputi kemudahan akses (access) dan komponen komunikasi (communication). Kemudahan akses dalam rangka pemenuhan pelayanan publik barang dan komponen komunikasi dalam hal pemenuhan pelayanan publik jasa. Kemudahan akses udara, ketersediaan akses pelabuhan/perairan, kualitas jalan, penerangan jalan, fasilitas pendukung kamera keamanan, merupakan komponen pelayanan barang publik yang sangat dibutuhkan oleh wisatawan menuju destinasi pilihannya.
Selanjutnya, komponen komunikasi di antaranya kompetensi muslim visitor guide, kompetensi petugas bidang perhubungan, kompetensi bahasa asing, dan kompetensi digital marketing. Pelayanan publik jasa ini merupakan salah satu hal yang utama agar pariwisata halal suatu daerah memperoleh kesan profesional bagi wisatawan.
Percepatan Pelayanan Administratif Sertifikasi Halal
Pemerintah, pemerintah daerah, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan pelaku usaha harus sering melakukan sinergi untuk membahas strategi percepatan pelayanan administratif sertifikasi halal. Tentunya sinergisitas tersebut untuk mewujudkan sertifikasi halal yang mudah, murah, profesional, dan berintegritas.
Koordinasi lintas sektor ini mesti menghasilkan inovasi sebagai strategi memangkas birokrasi dan prinsip kegotongroyongan bersama pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, swasta, lembaga donor, dan pihak lainnya terkait membantu pembiayaan sertifikasi halal terutama bagi pelaku UMKM. Inovasi dan strategi pelayanan dalam akselerasi sertifikasi halal sangat penting dilakukan dalam membangun daerah wisata halal mengingat hal tersebut menjadi jaminan kehalalan suatu produk atau tempat yang dapat meningkatkan kepercayaan wisatawan untuk merasa aman dan nyaman.
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Jalan bagi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk menjadi pusat halal internasional bukan merupakan sesuatu hal yang mustahil, namun juga bukan sesuatu hal yang mudah. Banyak aspek yang perlu ditingkatkan bahkan dibangun oleh pemangku kepentingan di Bangka Belitung, di antaranya peningkatan sarana dan prasarana jalur perhubungan serta fasilitas tempat wisata, mindset pelaku usaha, dan banyak hal lainnya yang sesuai syariat Islam.
Sudut pandang utama untuk merealisasikan daerah tujuan wisata halal harus didahului dengan semangat meningkatkan penyelenggaraan pelayanan publik, baik pelayanan barang, jasa, dan administratif. Elemen pemerintah daerah baik pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di Kepulauan Bangka Belitung mesti bahu-membahu bekerja sama sesuai kewenangannya, melepaskan egosentris dan berbagai bentuk kepentingannya agar secara bersama-sama menjadikan konsep wisata halal sebagai batu loncatan dan momentum yang tepat dalam meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat luas. (*)