• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

“Dak Kawa Nyusah” dalam Perspektif Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Bangka Belitung
PERWAKILAN: KEPULAUAN BANGKA BELITUNG • Jum'at, 25/04/2025 •
 


Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan wilayah kepulauan kecil yang terdiri dari dua pulau utama: Bangka dan Belitung. Meski tergolong kecil, provinsi ini memiliki ragam budaya dengan perpaduan unik antara tradisi budaya Melayu, pengaruh Tionghoa, dan elemen lokal yang khas. Dengan dua pulau inti yang dimiliki, provinsi ini memiliki kekayaan budaya yang tercermin dalam adat istiadat, seni, musik, tarian, kuliner, dan kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Di tengah kehidupan sehari - hari masyarakatnya, terdapat sebuah ungkapan yang sering terdengar: "dak kawa nyusah".

Secara harfiah, Dalam kamus bahasa melayu bangka-indonesia "Kawa" berarti mau dan "Kawa Nyusah" berarti mau diajak susah, sehingga "Dak Kawa Nyusah" merupakan kebalikan kalimat tersebut yang dapat diartikan sebagai ungkapan "tidak mau diajak susah" atau "tidak mau susah". Ungkapan ini tidak sekadar menjadi ekspresi kebahasaan, tetapi ungkapan ini dapat mencerminkan kecenderungan untuk menghindari kesulitan atau memilih jalan yang lebih mudah dalam menghadapi suatu masalah baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Dalam perspektif Pierre Bourdieu melalui teori habitus, bahasa yang diulang terus-menerus dapat membentuk pola pikir dan perilaku sosial. Maka, "dak kawa nyusah" sebagai habitus dapat berpengaruh besar terhadap dinamika pelayanan publik di Bangka Belitung.

Dalam studi yang dilakukan oleh komunitas Hopeeducation (Suntara dkk., 2023), ditemukan bahwa stereotipe "dak kawa nyusah" turut menjadi hambatan dalam pengembangan civic virtue pada generasi muda Bangka Belitung. Nilai ini, yang seharusnya dimaknai sebagai bentuk empati, justru sering berubah menjadi alasan untuk menghindari keterlibatan sosial dan tanggung jawab bersama. Penelitian ini mencatat bahwa rendahnya motivasi dan partisipasi beberapa anggota komunitas sosial disebabkan oleh mentalitas yang tidak ingin repot dan enggan menghadapi tantangan. Dalam konteks ini, "dak kawa nyusah" menjadi representasi sikap pasif yang menolak keluar dari zona nyaman dan ini bertolak belakang dengan semangat civic virtue yang menekankan tanggung jawab sosial, kesukarelaan, dan kepedulian.

Lantas apakah nilai ini dapat menjadi perekat yang memperkuat etika pelayanan, atau justru menjadi penghambat partisipasi aktif masyarakat dalam sistem penyelenggaraan pelayanan publik di Bangka Belitung?

Pelayanan publik merupakan hak dasar masyarakat dan kewajiban negara yang dijalankan melalui penyelenggaran layanan. Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2009, penyelenggaraan pelayanan publik harus memenuhi asas transparansi, akuntabilitas, partisipatif, dan berkeadilan. Namun, dalam praktiknya, konteks budaya lokal memegang peran penting dalam membentuk dinamika antara masyarakat sebagai pengguna layanan dan institusi sebagai penyedia. Dalam konteks "dak kawa nyusah" tentunya akan memiliki dampak yang signifikan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Dalam konteks peyelenggaraan pelayanan publik, nilai "dak kawa nyusah" ini dapat mempengaruhi dua aktor utama yaitu pengguna layanan dalam hal ini masyarakat sebagai penerima layanan, dan pelaksana layanan (penyelenggara layanan). Dari sisi masyarakat sebagai pengguna layanan nilai ini dapat memunculkan kecenderungan untuk tidak menyampaikan keluhan atau kritik terhadap layanan publik. Masyarakat yang menjunjung sikap "tidak mau susah" cenderung menahan diri meskipun mereka mengalami ketidakpuasan. Hal ini berpotensi melemahkan fungsi kontrol publik, padahal UU No. 25 Tahun 2009 telah menjamin hak masyarakat untuk memperoleh layanan yang transparan, akuntabel, dan dapat dikritisi dengan asas partisipatif.

Di sisi pelaksana layanan, nilai "dak kawa nyusah" juga memiliki dimensi kompleks. Ketika dimaknai secara pasif atau keliru nilai ini bisa berdampak rendahnya motivasi untuk memberikan pelayanan terbaik. Pelaksana layanan yang berpegang teguh pada kenyamanan pribadi dan enggan "bersusah payah" dapat menjadikan nilai ini sebagai dalih untuk mempertahankan pendekatan yang minim transparansi atau proaktifitas Akibatnya terbuka ruang bagi praktik maladministrasi seperti tidak memberikan pelayanan sesuai standar, menunda-nunda, atau pengabaian terhadap pengaduan.

Dalam praktiknya, aparatur yang terinternalisasi dengan mentalitas "dak kawa nyusah" cenderung memilih jalan pintas, bekerja secara minimalis, dan tidak memiliki dorongan untuk proaktif. Sikap ini berpotensi besar menyebabkan maladministrasi seperti penundaan berlarut, tidak memberikan pelayanan, penyimpangan prosedur, sampai permintaan imbalan. Jika tidak dikawal dengan sistem kontrol yang kuat, habitus ini bisa berkembang menjadi ketidakefesienan dalam pelaksana layanan. Ironisnya, dua pihak yakni penyenggara dan masyarakat bisa sama-sama terjebak dalam siklus saling membiarkan. Aparatur tidak merasa terdorong untuk memperbaiki sistem karena tidak ada dorongan internal maupun tekanan eksternal dari masyarakat yang pasif juga karena "dak kawa nyusah".

Menariknya, dalam studi yang dilakukan oleh komunitas Hopeeducation (Suntara dkk., 2023) juga menunjukkan jalan keluar dari tantangan ini. Melalui praktik nyata seperti kegiatan edukatif, kunjungan social, dan aksi sukarela, mereka menumbuhkan nilai-nilai kesukarelaan, altruistis, dan peduli social. Hal ini membuktikan bahwa nilai "dak kawa nyusah" bisa ditafsirkan ulang sebagai semangat untuk tidak menyusahkan orang lain melalui kontribusi nyata dan tanggung jawab social.

Dalam konteks penyelenggara layanan, nilai ini bisa ditransformasikan dari yang semula pasif menjadi aktif. Contoh nya "dak kawa nyusah" bukan berarti menghindar dari tugas sulit, tetapi justru menjadi prinsip bahwa pelaksana tidak ingin menyusahkan masyarakat. Maka lahirlah sikap professional yang cepat tanggap, ramah, dan solutif. Selanjutnya dengan pengartian positif "dak kawa nyusah" juga berarti menyiapkan SOP yang jelas, memberikan informasi yang lengkap, dan tidak mempersulit urusan administratif. Dengan kata lain, nilai ini dapat menjadi pondasi etika pelayanan berbasis empati dan kepentingan publik. Artinya pelaksana layanan publik tidak harus membuang nilai-nilai local, tetapi justru dapat mengintegrasikannya dalam kerangka kerja profesional modern. Transformasi makna ini harus menjadi bagian dari pelatihan, pengawasan, dan penilaian kinerja birokrasi secara menyeluruh.

Dalam kerangka Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pelayanan publik yang ideal adalah pelayanan yang terbuka terhadap kritik, mendorong partisipasi aktif masyarakat, dan menjunjung akuntabilitas. Oleh karena itu, diperlukan upaya membangun kesadaran kolektif agar masyarakat tidak ragu menyuarakan kritik sebagai bentuk partisipasi aktif. Di sisi lain penyelenggara perlu menjadikan nilai "dak kawa nyusah" sebagai semangat melayani, bukan alasan untuk menghindari tanggung jawab.

Pada akhirnya, fenomena "dak kawa nyusah" memperlihatkan budaya pragmatis masyarakat yang dapat menjadi penghambat maupun penguat kualitas penyelenggaraan pelayanan publik di Bangka Belitung, tergantung bagaimana nilai tersebut dimaknai dan dikelola. Dapat berdampak negatif jika tidak disikapi secara tepat karena sikap ini bisa melahirkan budaya pasif, menghindari tanggung jawab, atau bahkan mendorong praktik-praktik jalan pintas. Namun, bila ditafsirkan secara progresif, semangat ini justru dapat menjadi pemicu perbaikan layanan yang lebih empatik, efisien, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.


 "Dak Kawa Nyusah" dalam Perspektif Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Bangka Belitung

Oleh: Hapiz Jasman

(Calon Asisten Ombudsman RI)





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...