• ,
  • - +

Artikel

Urgensi Layanan Publik Terstandar
• Kamis, 22/05/2025 •
 
Benny Sanjaya, Asisten Ombudsman.

Pelayanan publik yang harusnya cepat, murah, mudah. Menjadi lambat, mahal, berbelit-belit. Terlalu banyak loket, pelayanan yang harusnya sederhana ternyata praktiknya rumit. Terkadang masih ada anggapan, lebih baik hilang uang daripada hilang waktu, memilih menggunakan jasa Calo untuk mengurus layanan. Lambat laun hal ini membentuk apatisme publik terhadap berjalannnya pemerintahan. Hal ini salah satunya disebabkan pelayanan publik yang tidak terstandar.

Di dalam penyelenggaraan pelayanan publik diperlukan pedoman, standar yang wajib diterapkan agar akuntabilitas pelayanan terjamin, guna mencegah terjadinya potensi Maladministrasi dalam pelayanan publik. Praktiknya, Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik kebanyakan terjadi disebabkan pelayanan yang terselenggara tidak memiliki standar, tidak menerapkan standar pelayanan baik keseluruhan ataupun hanya sebagian, atau sudah memiliki standar tetapi tidak transparan mempublikasikannya.

Padahal, di sisi regulasi telah lama diatur bahwa penyelenggara layanan harus menyusun, menetapkan, serta menerapkan standar pelayanan paling lambat 6 (enam) bulan, apabila Peraturan Pemerintah tentang pedoman penyusunan standar pelayanan telah diundangkan, sebagaimana inti dalam Pasal 60 Ayat (5) UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Lalu pada 30 Oktober 2012, PP No. 96 Tahun 2012 tentang pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009 diterbitkan, yang mengatur pada saat PP tersebut mulai berlaku, maka bagi semua penyelenggara pelayanan publik yang belum memiliki standar pelayanan, wajib menyusun, menetapkan, dan menerapkan standar pelayanan paling lama 6 (enam) bulan sejak PP tersebut berlaku, dan bagi penyelenggara yang telah memiliki standar pelayanan, maka wajib menyesuaikan dengan standar pelayanan yang diatur dalam PP tersebut, sebagaimana inti dalam  Pasal 50 Ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut. Namun masih banyak penyelenggara yang tidak mematuhinya.

Kita perlu mengetahui, bahwa standar pelayanan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 PP tersebut, paling sedikit mesti memuat 14 komponen standar pelayanan. Membagi standar layanan dalam lingkup penyampaian kepada publik (service delivery) yang diantaranya adalah : persyaratan, sistem mekanisme dan prosedur, jangka waktu penyelesaian, biaya/tarif, informasi produk layanan, serta penanganan pengaduan saran dan masukan. Kemudian standar layanan dalam lingkup proses pengelolaan pelayanan internal penyelenggara (manufacturing) meliputi : dasar hukum, sarana prasarana atau fasilitas, kompetensi pelaksana, pengawasan internal, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan, jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan, dan terakhir evaluasi kinerja pelayanan.

Terdapat korelasi terjadinya Maladministrasi dalam pelayanan publik, dengan penyelenggaraan pelayanan publik tidak terstandar. Maladministrasi sendiri adalah suatu perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan, sehingga menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil bagi masyarakat pengakses layanan publik, sebagaimana inti dalam Pasal 1 Ayat (3) UU No. 27 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Menilik jenisnya, Ombudsman mengelompokan tindakan Maladministrasi sebanyak 12 jenis, diantaranya : perilaku/perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, kelalaian/pengabaian kewajiban hukum, penundaan berlarut, tidak memberikan pelayanan, tidak kompeten, penyimpangan prosedur, permintaan/penerimaan imbalan, tidak patut, berpihak, diskriminasi, dan konflik kepentingan.

Bila diuraikan lebih lanjut keterhubungan antara terjadinya Maladministrasi dengan impelementasi standar pelayanan service delivery. Maladministrasi penyimpangan prosedur dapat terjadi dikarenakan standar persyaratan dan sistem mekanisme prosedur tidak tersedia, SOP ada tapi hanya disimpan di dalam laci, tidak dipublikasikan secara transparan kepada masyarakat. Terjadi Maladministrasi penundaan berlarut dalam penyelesaian produk layanan, masyarakat bolak-balik hanya untuk mengetahui apakah izin atau permohonan yang diajukannya sudah selesai, hal itu disebabkan standar jangka waktu penyelesaian tidak dipublikasikan atau terinformasi dari awal.

Pelayanan yang seharusnya gratis, ternyata dipungut biaya oleh oknum yang melakukan pungli. Atau biaya yang dikeluarkan pemohon tidak sesuai jumlahnya dengan tarif retribusi, sehingga terjadi Maladministrasi permintaan/penerimaan imbalan dalam bentuk uang, disebabkan standar biaya/tarif tidak transparan diinformasikan. Meskipun layanan tidak dipungut biaya/gratis, tetap menjadi kewajiban penyelenggara mempublikasikan bahwa layanan tersebut gratis, menghindari pungutan "ongkos rokok/ seikhlasnya".

Informasi produk layanan juga penting, sebagai informasi daftar layanan/izin yang diberikan/diterbitkan, di ibaratkan seperti menu pada rumah makan, yang diperlukan untuk mengukur kesesuaian terhadap produk layanan, dengan yang diterima oleh pengguna layanan. Informasi produk layanan diperlukan untuk mencegah terjadinya Maladministrasi kelalaian/pengabaian kewajiban hukum.

Kemudian tersedianya penanganan pengaduan, saran dan masukan dalam penyelenggaraan pelayan, diperlukan sebagai evaluasi bagi penyelenggara layanan untuk memperbaiki atau meningkatkan pelayanan, sedangkan bagi pengguna layanan untuk mengakomodir hak sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang pada intinya mengatur bahwa masyarakat berhak memberitahukan atau mengadukan penyelenggara maupun pelaksana, yang  melakukan penyimpangan standar pelayanan atau tidak memperbaiki pelayanan.Pelayanan publik yang baik, adalah pelayanan yang tidak anti kritik. Pengaduan maupun saran yang disampaikan masyarakat, merupakan cermin kepedulian masyarakat kepada penyelenggara layanan untuk berbenah meningkatkan mutu pelayanan.

Saat ini pelayanan publik diarahkan untuk bertransformasi ke arah digitalisasi, untuk memangkas birokrasi serta memperluas keterjangkauan. Di sisi standar pelayanan manufacturing, ketersediaan sarana prasarana dan fasilitas dituntut ramah akses terhadap seluruh masyarakat, termasuk bagi kelompok rentan atau pengguna layanan berkebutuhan khusus dan disabilitas. Ruang pelayanan yang sebelumnya biasa, ditambah dengan tersedianya antrian khusus dan tempat/ruang tunggu khusus bagi lansia, ibu menyusui, dan penyandang disabilitas. Disediakan ruang laktasi bagi ibu menyusui, area bermain anak, toilet khusus, serta petugas khusus yang bisa berbahasa isyarat. Di sisi layanan digitalisasi, Penulis menemukan beberapa website instansi penyelenggara yang menyediakan fitur mode suara untuk memudahkan rekan disabilitas netra, mengetahui isi maupun prosedur layanan yang tersedia secara digital. Ketersediaan sarana prasarana tersebut untuk mencegah Maladministrasi diskriminasi dalam pelayanan publik.

Menyelenggarakan pelayanan publik dengan terstandar, penting untuk mencegah maladministrasi sedari awal. Serta untuk mengukur sejauhmana ketaatan penyelenggara layanan terhadap asas pelayanan publik, diantaranya kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, ketepatan waktu, kecepatan kemudahan keterjangkauan, dan persamaan perlakuan tanpa diskriminatif. Muaranya untuk memberikan pelayanan publik yang berkualitas, mensejahterakan masyarakat, memupuk kepercayaan publik atas berjalannya pemerintahan di negara kita. (SH/PC25)

 Oleh:

Benny Sanjaya, S.H., M.H

Asisten Ombudsman

 





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...