• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

SEAOF dan Upaya Penguatan Pelayanan Publik di Asia Tenggara
PERWAKILAN: SULAWESI SELATAN • Selasa, 21/02/2023 •
 
Hasrul Eka Putra - Asisten Muda Ombudsman RI Perwakilan Sulsel

Gerbang tahun 2023 baru saja kita lewati. Setelah berhasil memegang tanggung jawab global dalam Presidensi G20, tahun ini Indonesia kembali mendapatkan kesempatan untuk memperkuat pengaruh dan kontribusi di tingkat regional melalui Keketuaan (Chairmanship) ASEAN. Dalam sambutannya di Phnom Penh, Presiden Jokowi menyatakan misi Indonesia dalam keketuaan ini bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai titik sentrum pertumbuhan ekonomi dunia, sebagai Epicentrum of Growth.

Semangat ini seiring sejalan dengan momentum South East Asian Ombudsman Forum (SEAOF). Tahun ini, Ombudsman RI juga mendapat tugas sebagai Ketua SEAOF mulai tanggal 8 Desember 2022 hingga 7 Desember 2024 nanti. Sebuah kesempatan yang strategis untuk semakin memperkuat institusi dan mempromosikan nilai-nilai ke-Ombudsman-an di tingkat kawasan.

Tulisan ini akan mengekplorasi kondisi kawasan dan organisasi ASEAN secara umum serta bagaimana SEAOF dapat menjadi salah satu langkah strategis untuk memperkuat jaringan pengawasan pelayanan publik di kawasan, yang pada akhirnya memperkuat cetak biru ASEAN Sosial-Cultural Community.

Kondisi Sosial-Ekonomi Kawasan

Sejarah menunjukan bagaimana pola kepemimpinan Indonesia di ASEAN berubah dan beradaptasi seiring waktu. Di era Soeharto, Indonesia mendudukkan dirinya sebagai salah satu inisiator utama terbentuknya ASEAN. Meski kondisi politik domestik yang bercorak otoriter di masa ini, Indonesia menanam banyak kontribusi yang membangun peta jalan dan cetak biru organisasi ASEAN yang masih seumur jagung.

Peran itu berlanjut di era Presiden Megawati. Indonesia menginisiasi terbentuknya tiga pilar ASEAN melalui Bali Concord II. Di masa ini kita mulai mengenal pilar politik-keamanan, ekonomi dan sosial budaya.

Saat masa kepemimpinan Presiden SBY, konsep "thousand friends, zero enemy" mewarnai kebijakan luar negeri SBY di kawasan. Konsep ini mewujud dalam Bali Concord III yang mencitakan terbentuknya Komunitas ASEAN 2015.

Kini, 15 tahun setelah deklarasi Bali Concord III, Presiden Jokowi dihadapkan dengan kondisi global dan kawasan yang dibayang-bayangi krisis politik dan ekonomi. Dari rivalitas AS-Tiongkok, Perang Rusia-Ukrania, sengketa Laut Tiongkok Selatan, hingga krisis kemanusiaan di Myanmar.

Sampai di usia "remaja" ini, sebagai organisasi kawasan, banyak pakar melihat efektivitas ASEAN masih jauh panggang dari api.  Secara sederhana, kita dapat melihat setidaknya terdapat beberapa kondisi yang menjadi tantangan dan kendala regionalisme di Asia Tenggara.

Pertama, kekuatan ekonomi yang berbeda. Negara-negara ASEAN memiliki tingkat kemajuan ekonomi cenderung tidak merata, yang dapat menyulitkan dalam mencapai kesepakatan ekonomi yang dapat diterima oleh semua anggota.

Kedua, keragaman budaya dan politik. ASEAN terdiri dari negara-negara dengan keragaman budaya dan sistem politik yang beragam, apalagi belum ada upaya masif dan strategis untuk mengakselerasi identitas ke-ASEAN-an.

Ketiga, ketidakmampuan untuk mengambil tindakan kolektif. ASEAN berdiri sebagai organisasi yang didasarkan pada prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri. Prinsip ini berarti negara-negara anggota ASEAN tidak boleh ikut campur dalam urusan dalam negeri negara anggota lainnya. Juga, tidak boleh menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dalam hubungan antarnegara anggota ASEAN. Meski awalnya prinsip ini mendorong kerja sama dan hubungan damai antarnegara anggota ASEAN, namun dalam banyak kasus prinsip ini dapat menyulitkan dalam mengambil tindakan kolektif untuk mengatasi masalah regional.

Selanjutnya, ketidakmampuan untuk mengatasi konflik. ASEAN, sebagai organisasi, menghadapi kesulitan dalam mengatasi konflik di kawasan. Sebut saja misalnya konflik di Laut Tiongkok Selatan, Junta Militer dan diskriminasi etnis Rohingya di Myanmar, serta pemberontakan di Filipina Selatan.

Secara keseluruhan, kita dapat mengatakan bahwa ASEAN masih menghadapi berbagai kendala dalam mencapai efektivitas yang diharapkan dalam kerja sama regional.

Jika kita lihat dari lensa yang lebih makro, ketidakmampuan ASEAN ini juga berakar dari kondisi domestik negara-negara anggota yang sangat heterogen. Dalam hal pelayanan publik tercermin bagaimana disparitas sosial-ekonomi kawasan Asia Tenggara yang masih memiliki banyak persoalan-persoalan elementer.

Laporan-laporan Asia Foundation, UNDP, dan Amnesty International misalnya, memberikan gambaran kepada kita bagaimana kondisi secara umum pelayanan publik di Asia Tenggara. Terdapat beberapa masalah mendasar yang terus membayang-bayangi masyarakat dan pemerintah negara-negara di ASEAN. Antara lain, misalnya kurangnya akses dan kualitas infrastruktur dasar, seperti jalan, air bersih, dan sanitasi. Keterbatasan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, termasuk kurangnya fasilitas kesehatan, obat-obatan, dan tenaga medis yang berkualitas.

Bagitu pula ketidakadilan dalam sistem pendidikan, termasuk kesenjangan antara pendidikan di perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok sosial ekonomi yang berbeda. Serta perlakuan yang tidak adil terhadap kelompok minoritas, seperti diskriminasi rasial atau agama, yang dapat membatasi hak-hak mereka dan mengakibatkan ketidakadilan dalam pelayanan publik.

Hal ini kemudian diperparah dengan praktik korupsi dan maladministrasi oleh birokrasi negara yang mengakibatkan penurunan kualitas pelayanan publik dan merugikan masyarakat. Apalagi, di banyak negara ASEAN belum terdapat institusi penanganan pengaduan yang independen dan kuat. Sehingga kepercayaan publik kepada otoritas semakin jatuh dan tidak terkontrol.

Ombudsmanship di Asia Tenggara

Di antara kelindan tantangan yang dihadapi ASEAN, pada tahun 2020, melalui sebuah pembicaraan panjang, Ombudsman Republik Indonesia bersama Ombudsman Republik Filipina, dan Ombudsman Thailand mendeklarasikan sebuah Memorandum of Intent. MoI ini lahir dari kerisauan yang sama, yakni interaksi antarnegara dan masyarakat ASEAN yang makin kompleks karena berasal dari kondisi dan budaya hukum yang berbeda.

Sebelumnya, pada tahun 2015, Ombudsman Thailand menandatangani Nota Kesepahaman dengan Ombudsman RI. Dari sana pembicaraan bilateral berkembang menjadi sebuah kerjasama multilateral yang termanifes dalam sebuah platform regional bagi lembaga Ombudsman di negara-negara Asia Tenggara, yang kemudian dikenal sebagai South East Asian Ombudsman Forum (SEAOF).

MoI 2020 juga mencitakan sebuah badan independen yang mempromosikan nilai-nilai Ombudsmanship di kawasan Asia Tenggara. Nilai yang lahir untuk memperkuat layanan publik dan mempromosikan supremasi hukum, tata kelola yang baik, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Meng-ASEAN-kan nilai ini dapat mendorong pengadopsian oleh negara-negara lain di kawasan.

Jika berkaca di banyak kawasan lain, organisasi pengawas pelayanan publik sudah lebih dulu berdiri dan aktif mengadvokasi isu-isu pelayanan publik. Sebutlah misalnya, the Asian Ombudsman Association (AOA), Caribbean Ombudsman Association (CAROA), Association of Ombudsman and Mediators of the Francophonie (AOMF), the South East Asia Parties Against Corruption (SEAPAC), danForum of Canadian Ombudsman (FCO).

Lahirnya SEAOF dapat menjadi institusi yang secara aktif mendorong peran serta masyarakat dan terbentuknya penanganan keluhan di setiap negara.

Dalam demokrasi yang sehat, penanganan pengaduan menjadi sangat krusial. Sebab, ketika warga merasa bahwa pengaduan mereka diterima dan ditangani dengan baik, maka mereka akan merasa dihargai dan diakui oleh pihak yang bertanggung jawab atas pelayanan publik. Hal ini, pada akhirnya, dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan institusi publik yang bertanggung jawab serta membuat warga cenderung lebih aktif dalam memperbaiki pelayanan publik.

Dari sisi pemerintah, penanganan pengaduan yang baik dan efektif juga dapat "memaksa"  pemerintah dan institusi publik untuk lebih akuntabel dan transparan dalam melakukan tugas dan tanggung jawab mereka.

Pengaduan masyarakat ini juga efektif untuk secara akseleratif memperbaiki kualitas pelayanan serta mencegah masalah sistemik yang mungkin terjadi. Misalnya, dengan menangani beberapa pengaduan masyarakat tentang pendataan dan penebusan pupuk bersubsidi, Ombudsman RI dapat segera melakukan rapid assessment terkait tata kelola pupuk bersubsidi.

Demokrasi akhirnya berkembang dari dua arah, yakni warga yang berdaya dan negara yang akuntabel.

Dengan adanya jaringan pengawasan melalui SEAOF, lembaga-lembaga pengawas pelayanan publik dapat berbagi praktik baik, informasi, serta tukar kompetensi dalam menyelesaikan masalah-masalah layanan publik di negara masing-masing. Kesempatan ini secara langsung dapat memperluas solidaritas masyarakat ASEAN sebagai satu identitas regional.

Peran Indonesia

Lalu, dalam kesempatan menjadi Ketua SEAOF, apa yang dapat kita lakukan?

Dalam pidatonya di acara 1st Official Southeast Asian Ombudsman Forum Meeting and SEAOF + Meeting  pada awal November lalu, Ketua Ombudsman RI menyampaikan tiga fokus utama Keketuaan yang akan dipegang dalam dua tahun ini, yakni mempromosikan SEAOF, memperluas keanggotaan SEAOF, serta meningkatkan kapasitas staf anggota SEAOF dalam menangani keluhan warga.

Mempromosikan SEAOF ke beberapa negara ASEAN lain memiliki tantangannya sendiri. Kondisi politik dan pelayanan publik yang sangat berbeda membuat hal ini tidak mudah. Data dari GovData360 Bank Dunia menunjukan disparitas itu. Jika kita lihat dari beberapa indikator kinerja pemerintah (termasuk efektivitas pemerintah, transparansi, kemudahan berbisnis, serta kualitas dan kerangka regulasi), maka kinerja dari sepuluh negara anggota ASEAN dalam empat indikator tersebut dapat dibagi menjadi tiga kategori, yakni kinerja sangat tinggi yang diwakili oleh Singapura, kinerja tinggi seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam, serta kinerja kurang tinggi yang terdiri dari Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Kondisi ini sinkron dengan laporan bertajuk "Assessment Report on Public Service Delivery Systems in ASEAN Member States" (2021) yang diterbitkan oleh ASEAN Secretariat. Dalam kesimpulannya, laporan itu menjelaskan bahwa terkait model administrasi publik, belum ada satu pun negara anggota ASEAN yang menerapkan New Public Service (NPS). Negara-negara anggota masih terlibat dalam Old Public Administration dengan menekankan peran birokrasi hierarkis.

Beberapa negara seperti Singapura dan Malaysia masih dominan menggunakan New Public Management dan sedikit beralih ke NPS. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa negara-negara ASEAN belum sepenuhnya menerapkan indikator transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam proses pelayanan publik.

Di titik ini, Ombudsman RI seharusnya mengambil peran strategis untuk mendorong negara-negara ASEAN lain untuk membentuk dan/atau memperkuat mekanisme pengaduan internal. Seperti telah dijelaskan di atas, banyak studi menunjukan bahwa penanganan pengaduan merupakan pintu masuk yang efektif untuk mendorong transparansi dan partisipasi.

Dari sana kemudian, keanggotaan SEAOF dapat diperluas. Mengingat ASEAN belum memiliki mekanisme yang mewajibkan negara anggota memiliki Ombudsman, seperti Uni Eropa.

Di beberapa negara ASEAN, mekanisme penanganan pengaduan disediakan melalui beberapa cara seperti layanan pelanggan, unit pengaduan, dan Ombudsman. Sedangkan di negara lain seperti Myanmar dan Laos, jumlah lembaga yang menangani pengaduan sangat terbatas (untuk tidak mengatakan belum ada).

Sampai di sini, kita dapat mengatakan bahwa Keketuaan Ombudsman RI dan Indonesia memiliki banyak tantangan baik dilihat dari kondisi ASEAN sebagai kawasan, sebagai organisasi, maupun sebagai sebuah gerakan politik masyarakat. Nilai-nilai Ombudsmanship dapat menjadi salah satu nilai ASEAN, sebagai sebuah konsepsi dan praktik dalam mempromosikan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi melalui penanganan pengaduan.

Kita berharap agar momentum Keketuan ASEAN dan Keketuaan SEAOF ini pada akhirnya dapat berkontribusi positif untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih transparan, partisipatif, dan inklusif. (*)

 

Oleh: Hasrul Eka Putra

Asisten Muda Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan,  AlumniYoung Southeast Asian Leaders Initiative Workshop on Guardian of Good Governance 2022.





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...