• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Potret Penegakan Disiplin ASN
PERWAKILAN: KALIMANTAN SELATAN • Kamis, 08/12/2022 •
 
Zayanti Mandasari SH., MH., Asisten Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan

"Bu, bagaimana tindak lanjut pengaduan saya?, tentang lambatnya penanganan dugaan pelanggaran disiplin suami saya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), dia nikah siri, tanpa sepengetahuan saya. Saya menyampaikan pengaduan ke tempatnya bekerja, sudah hampir satu tahun, namun belum ada hukuman yang dijatuhkan kepadanya." Begitulah kira-kira pertanyaan salah seorang pelapor kepada penulis. Substansi tentang kepegawaian, khususnya proses penanganan aduan terhadap dugaan pelanggaran disiplin ASN (menikah lagi tanpa izin), bukan kali pertama dilaporkan masyarakat ke Ombudsman, jumlahnya memang tak banyak, namun kebanyakan kisahnya menyayat hati.

Laporan terkait penundaan berlarut, proses tindaklanjut aduan dugaan pelanggaran disiplin ASN di instansi, yang masuk ke Ombudsman biasanya dilatarbelakangi beberapa faktor penting. Pertama, faktor sistem internal instansi, biasanya dikarenakan tidak adanya standar operasional prosedur, khusus untuk penanganan aduan pelanggaran disiplin ASN, sehingga berdampak pada tidak pastinya waktu penyelesaian, ketidakjelasan informasi, hingga proses tindak lanjut yang tak teratur dan terstruktur. 

Kedua, faktor person. Faktor ini terbagi lagi menjadi dua, person pertama yang dimaksud adalah atasan ASN yang cenderung ogah-ogahan menangani aduan tersebut, bisa jadi karena menganggap tidak penting (tidak terkait dengan tupoksi organisasi instansinya), atau bisa jadi karena faktor banyaknya pekerjaan utama, sehingga aduan terkait dugaan pelanggaran disiplin ASN, tidak terlalu mendapat perhatian. Atau bisa jadi ASN yang diadukan adalah salah satu orang 'kepercayaan', sehingga cenderung dilindungi. Person kedua, yang dimaksud adalah ASN yang diadukan melakukan pelanggran disiplin adalah atasannya, sehingga bidang yang menerima aduan, merasa sungkan untuk menindaklanjutinya, dan memilih untuk berdiam diri, hingga memakan waktu lebih satu tahun, untuk memproses laporan dugaan pelanggaran disiplin ASN tersebut. 

Hal tersebut menyebabkan munculnya anggapan dari pelapor (yang biasanya adalah istri sah), bahwa instansi tersebut cenderung "melindungi" ASN yang diduga melakukan pelanggaran tersebut, dan merasa sia-sia melaporkan kepada instansinya, sehingga membawa langkah pelapor untuk melaporkannya ke Ombudsman. Berdasarkantrack record penyelesaian laporan dugaan pelanggaran disiplin (nikah tanpa izin) tersebut, hampir semua laporan yang masuk, terbukti dan berakhir dengan penjatuhan hukuman disiplin pada ASN yang melakukan pelanggaran. Dalam konteks pelayanan publik, yang menjadi fokus adalah apakah terjadi maladministrasi dalam penanganan aduan dugaan pelanggaran disiplin ASN tersebut, baik menyangkut bagaimana proses laporan atas dugaan pelanggaran disiplin ASN tersebut ditindaklanjuti oleh atasan yang berada di instansi, apakah sudah sesuai dengan prosedur, jangka waktu, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Idealnya jika terdapat laporan dugaan pelanggaran disiplin ASN, maka atasan ASN tersebut harus cepat menindaklanjuti persoalan dimaksud, karena bisa jadi saat atasan memberikan perhatian terhadap aduan yang disampaikan, dan berupaya  menyelesaikanya dengan cepat, melibatkan pihak-pihak terkait, bahkan memberikan pandangan hingga gambaran serta alternatif penyelesaian masalah tersebut, bukan tidak mungkin aduan tersebut dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik, dan cenderung kekeluargaan, sehingga membuat para pihak nyaman dalam proses penyelesaiannya. Namun jika atasan instansi lambat menindaklanjutinya, maka  hal tersebut akan menjadi lebih rumit, karena bukan hanya menyangkut ASN yang telah melakukan hal-hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan seorang abdi negara, namun jika terbukti, maka ASN tersebut telah mengingkari sumpahnya sebagai ASN, 'mengangkangi' atasan pada instansinya, serta mengkhianati pasangan/keluarganya.

Pertama, dikatakan mengingkari sumpahnya sebagai ASN karena, pada saat pengangkatan sebagai ASN, ia telah bersumpah untuk menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat ASN. Namun pada kenyataannya dirinya telah melanggar beberapa peraturan undang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, karena ternyata tidak menjaga martabat ASN, tidak mematuhi ketentuan dan larangan bagi ASN, khususnya dalam proses menikah (lagi) tanpa izin.

Kedua, dikatakan 'mengangkangi' atasan pada instansinya, karena melakukan suatu perbuatan namun tidak meminta dan mendapatkan izin dari atasannya. Padahal  jika dilihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Pasal 4 ayat (1), disebutkan bahwa, Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat. Bahkan lebih lanjut dirincikan bahwa permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis, dan harus mencantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang. Sehingga tindakannya tidak meminta izin kepada atasan, tidak mengindahkan posisi atasannya dalam instansinya bekerja.

Ketiga, dikatakan mengkhianati pasangan/keluarganya, karena tindakan menikah lagi yang dilakukannya tidak mendapatkan izin dari pasangan/keluarganya, bahkan kebanyakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sehingga saat pasangan dan keluarga tahu, akan berdampak langsung kepada pasangan dan keluarga, terlebih jika dalam perkawianan sahnya, ASN tersebut memiliki anak, kesehatan psikologi anak dan pasangan/istri pasti sedikit banyak akan terganggu terhadap perilaku yang dilakukan ASN tersebut.

Lantas apa hukuman untuk seorang ASN yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran disiplin ASN, berupa menikah (lagi) tanpa izin tersebut. Jika dilihat dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, disebutkan bahwa PNS yang melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang lzin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, maka dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Lebih lanjut dirincikan pada Pasal 8 ayat 4, jenis hukuman disiplin berat yang dimaksud terdiri atas penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan, pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan;, dan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS. Sehingga dalam konteks seorang ASN (biasanya laki-laki) menikah lagi tanpa izin, maka harusnya dapat diproses sesuai mekanisme dan prosedur yang berlaku, dan jika terbukti maka dapat dijatuhi hukuman disiplin berat sebagaimana ketentuan tersebut.

Semoga ke depannya instansi yang mendapatkan laporan dugaan pelanggaran disiplin dapat lebih sigap dan peka terhadap permasalahan yang diadukan. Tujuannya bukan hanya untuk memastikan pelayanan publik, khususnya dalam bidang kepegawaian berjalan sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga ada kepastian terhadap laporan dugaan pelanggaran disiplin ASN yang dilaporkan. Juga sebagai bentuk pelaksanaan fungsi manajemen dan penyelesaian masalah dalam suatu roda organisasi pemerintahan, khususnya dalam lingkup kepegawaian.


Zayanti Mandasari SH., MH., Asisten Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...