• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Potret Alienasi Birokratis dalam Pelayanan Publik
PERWAKILAN: JAWA BARAT • Senin, 11/08/2025 •
 

Pelayanan publik adalah wajah negara di mata rakyat. Kualitas dan aksesibilitas layanan seperti pendidikan, kesehatan, administrasi, dan keamanan mencerminkan seberapa besar negara hadir dalam kehidupan warganya. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan pelayanan publik kerap menjadi sumber frustrasi, ketimpangan, dan ketidakpercayaan. Dalam kerangka teori alienasi dan birokrasi yang dikemukakan C. Wright Mills, fenomena ini dapat dibaca sebagai bentuk keterasingan manusia dalam sistem birokrasi modern.

Mills menggambarkan alienation (keterasingan) sebagai kondisi ketika individu kehilangan kendali atas proses sosial dan institusi yang seharusnya menjadi miliknya. Dalam pelayanan publik, keterasingan itu tampak dalam berbagai bentuk. Banyak warga tidak memahami prosedur birokrasi, merasa tidak berdaya mengakses haknya, dan dihadapkan pada pelayanan yang lamban, diskriminatif, bahkan koruptif. Akibatnya, muncul rasa tidak memiliki terhadap sistem negara. Di sisi lain, pegawai publik pun kerap terasing dari makna kerjanya. Tugas dijalankan secara mekanis dan kaku, sekadar "mengisi absen", tanpa kesadaran bahwa pekerjaannya berdampak langsung pada kehidupan rakyat. Profesionalisme melemah, digantikan kepatuhan struktural dan kepentingan politik. Pelayanan publik pun lebih sering dipandang sebagai rutinitas, bukan pengabdian. Dalam sistem yang tidak meritokratik, pelayanan publik diperlakukan sebagai beban struktural, bukan panggilan etis. Akibatnya, hubungan humanistik antara negara dan rakyat menghilang, dan ketidakefisienan birokrasi semakin parah.

Bagi Mills, birokrasi bukan sekadar struktur organisasi, melainkan alat kekuasaan elitis yang menjauhkan pengambilan keputusan dari rakyat. Dalam pelayanan publik, perumusan kebijakan masih dominan bersifat top-down, dikendalikan elit politik dan teknokrat, dengan minim partisipasi warga. Akibatnya, kebijakan kerap tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Dalam The Power Elite, Mills menegaskan bahwa kekuasaan dapat tersebar dan tersembunyi dalam jaringan pejabat, pengusaha, militer, hingga aktor lain seperti ormas dan partai politik. Layanan publik pun sering menjadi ajang kompromi elit. Alih-alih menjadi mesin kesejahteraan, birokrasi justru menjadi benteng status quo yang mempertahankan ketimpangan sosial. Reformasi birokrasi berjalan lambat, tersandera mentalitas feodal dan patronase politik.

Keterasingan ini berdampak luas. Menurunnya kepercayaan publik mendorong warga mencari jalan pintas ketimbang mengikuti prosedur resmi-mulai dari menggunakan jasa calo, menyuap, hingga mengandalkan relasi informal. Negara pun hadir hanya secara simbolik lewat lambang dan aturan, tetapi absen dalam esensi pelayanan seperti keadilan, kemudahan, dan empati. Ketimpangan akses layanan antarwilayah, kelompok sosial, dan strata ekonomi berpotensi memicu kecemburuan sosial hingga konflik antarwarga.

Mengacu pada semangat Mills, pelayanan publik harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Partisipasi warga dalam perumusan kebijakan, pengawasan, dan evaluasi perlu diperkuat secara institusional agar kebijakan benar-benar lahir dari kebutuhan masyarakat. Petugas pelayanan tidak hanya dituntut kompeten, tetapi juga beretika, empatik, d

an memahami dimensi sosial pekerjaannya. Pemanfaatan teknologi digital harus dioptimalkan untuk mempercepat layanan, mencegah korupsi, dan memperkuat sistem pengaduan publik yang efektif. Semua ini memerlukan kepemimpinan transformasional yang visioner, emansipatoris, mampu menggerakkan birokrasi dari dalam, dan berpihak pada rakyat kecil.

Teori alienasi dan birokrasi dari C. Wright Mills mengingatkan bahwa krisis pelayanan publik bukan sekadar persoalan teknis, melainkan krisis hubungan antara negara dan rakyat. Reformasi birokrasi harus menyentuh dimensi struktural dan kultural agar birokrasi tidak lagi menjadi mesin keterasingan, melainkan alat pembebasan dan kesejahteraan bersama.


Penulis : Marzuqo Septianto

Asisten Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...