• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Potensi Maladministrasi JKN, Obat Tak Tersedia pada Faskes
PERWAKILAN: KEPULAUAN BANGKA BELITUNG • Selasa, 25/03/2025 •
 
Hapiz Jasman (Calon Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk ruang lingkup pelayanan jasa publik dasar yang krusial dan pelaksanaannya dijamin oleh negara. sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan yang berkualitas, transparan, dan tidak diskriminatif, termasuk dalam sektor kesehatan. Dalam implementasinya, salah satu pemegang peran penting agar terciptanya pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan program strategis pemerintah yang pada dasarnya bertujuan untuk memberikan akses pelayanan kesehatan yang merata dan berkualitas bagi seluruh masyarakat Indonesia sesuai dengan amanah Undang Undang Dasar Tahun 1945. Sebagai bentuk perwujudan hak atas kesehatan, program ini dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dengan prinsip gotong royong dimana peserta yang sehat dapat membantu yang sakit tujuannya agar setiap masyarakat dapat memperoleh layanan kesehatan sesuai dengan indikasi medis yang dialaminya. Untuk menjamin hal itu, salah satu ketentuan dasar yang penting ialah fasilitas kesehatan (faskes) yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan harus menyediakan pelayanan yang komprehensif, termasuk penyediaan obat-obatan yang diperlukan pasien sesuai dengan standar formularium nasional.

Namun, dalam praktiknya tidak jarang terjadi berbagai kendala dalam pemberian layanan, salah satunya ialah permasalahan ketersediaan obat. Hal ini menjadi salah satu fenomena yang dikeluhkan masyarakat kepada Perwakilan Ombudsman RI Perwakilan Bangka Belitung dimana diarahkannya peserta JKN untuk membeli obat di apotek luar dengan alasan obat tidak tersedia di faskes. Kondisi ini tentu menimbulkan beban tambahan bagi pasien, selain dari segi materi yang dikeluarkan tentu juga pasien merasa di "pingpong" terhadap layanan yang dibutuhkan. Belum lagi, terkadang obat yang diresepkan oleh dokter tidak tersedia juga di beberapa apotek sehingga peserta harus mengeluarkan usaha yang lebih untuk mendapatkan obat tersebut atau bahkan terpaksa membeli obat berbeda yang ditawarkan apotek meskipun dengan kandungan yang sama. Hal ini pada akhirnya tentu berpotensi menghambat efektivitas program JKN. Lantas bagaimana hakikatnya hal ini diatur peraturan perundangan?

Dalam laporan yang diterima oleh Perwakilan Ombudsman RI Bangka Belitung salah satu peserta mengadukan adanya faskes yang mengarahkan untuk membeli obat di apotek luar dengan alasan bahwa obat yang dibutuhkan tidak tersedia atau sedang kosong. Padahal, seharusnya dalam sistem JKN sendiri faskes diwajibkan untuk menjamin peserta untuk mendapatkan obat atas indikasi medis. Selain itu. Sebagaimana termaktub dalam janji layanan JKN bahwa faskes dilarang untuk membebankan peserta mencari obat jika terjadi kekosongan obat. Adapun berbagai alasan yang secara umum diberikan terhadap hai ini seperti keterbatasan stok obat, obat yang diresepkan di luar formalium nasional, sampai indikasi konflik kepentingan dengan pihak apotek. Namun semestinya kewajiban tetaplah menjadi kewajiban yang harus dijalankan agar terjaminnya hak-hak masyarakat.

Hakikatnya fenomena ini dapat dikategorikan sebagai bentuk maladministrasi dalam pelayanan publik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik bahwa setiap penyelenggara layanan wajib memberikan pelayanan yang berkualitas, transparan, dan tidak merugikan masyarakat. Selain itu, dalam Undang undang ini juga disebutkan bahwa penyelenggara layanan harus bertanggung jawab atas ketidaksesuaian layanan dengan standar yang telah ditetapkan. Jika peserta JKN harus membeli obat di luar karena ketidaksiapan faskes dalam menyediakan obat, maka hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip pelayanan publik yang baik karena pengabaian terhadap apa yang diwajibkan.

Selain itu, beberapa aturan teknis juga mengamanahkan untuk faskes sebagai penyelenggara layanan kesehatan agar dapat menjamin ketersediaan obat dan memastikan peserta menerima layanan termasuk layanan obat. Selain itu, sebagaimana tujuan dasarnya seyogianya sistem jaminan sosial ini harus memberikan perlindungan kesehatan mencakup pelayanan medis, obat-obatan, dan alat kesehatan sehingga peserta mendapatkan manfaat pemeliharaan kesehatan yang bersifat komprehensif sesuai dengan kebutuhan medis. Jika praktiknya faskes tidak menyediakan obat yang seharusnya dijamin, maka hal ini bertentangan dengan apa yang menjadi kewajiban faskes dan hak peserta.

Hal ini patut menjadi perhatian oleh semua stakeholder yang berperan dalam sistem JKN mengingat pentingnya layanan kesehatan yang merupakan layanan dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah sebagai penyelenggara harus dapat mengambil langkah strategis untuk mengatasi hal tersebut sehingga dapat menjamin ketersediaan obat di fasilitas kesehatan dan menjamin obat yang dijamin dapat diterima oleh peserta yang mengakses layanan kesehatan sesuai dengan indikasi medisnya. Selain itu, pemerintah dan BPJS Kesehatan perlu memperketat pengawasan terhadap fasilitas kesehatan yang bekerja sama dalam sistem JKN.

Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain bagi pemangku kepentingan perlu adanya sistem dalam ketersediaan obat dimulai dari distribusi, monitoring dan evaluasi dimana peran pemerintah harusnya melakukan pemantauan yang lebih ketat terhadap ketersediaan obat di faskes, termasuk dengan menerapkan sistem pelaporan real-time mengenai stok obat agar distribusi lebih terjamin. Faskes yang memiliki peran penting dengan melakukan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dimana faskes harus secara rutin memonitoring ketersediaan obat dan terbuka melaporkan ketersediaan obat. Selain itu, BPJS Kesehatan selaku penyelenggara sistem ini seyogianya dapat menegakkan sanksi terhadap fasilitas kesehatan yang mengarahkan peserta untuk membeli obat di luar. Dan masyarakat juga sebagai penerima layanan memiliki peran penting sebagai pengawas pelayanan publik, sehingga apabila mengalami kendala dalam mendapatkan obat dapat memberikan pengaduan sehingga dapat menjadi masukan perbaikan terhadap pelayanan kedepannya. Secara keseluruhan hal tersebut dapat dilakukan dengan mengoptimalkan teknologi informasi agar setiap tahapan dalam pengadaan obat dalam sistem JKN seperti distribusi, monitoring, dan evaluasi dapat berjalan secara baik dan terbuka.

Sehingga, apa yang menjadi harapan untuk sistem JKN dapat berjalan lebih efektif sesuai dengan prinsip pelayanan publik dan ketentuan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Perundangan. Untuk menjamin hal ini tentunya Pemerintah, BPJS Kesehatan, seluruh pemangku kepentingan hingga masyarakat secara luas harus bekerja sama secara aktif untuk memastikan setiap peserta JKN mendapatkan hak layanan kesehatan yang optimal tanpa adanya beban tambahan akibat terjadinya maladministrasi dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional.

Potensi Maladministrasi JKN, Pasien Membeli Obat di Luar Fasilitas Kesehatan

Oleh : Hapiz Jasman (Calon Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...